Penjual Kenangan

Tuesday, December 28, 2010

aku dan ketergesaan


pagi tadi, saat aku terbangun, hujan sedang duduk manis di luar kamar.
tidak mengetuk pintu, hanya duduk saja, 
dan, tak membawa kabar. juga darimu. 
lalu, kau tahu, apa yang kulakukan? (pasti kau tahu)
aku tidur kembali :p, dan memaki saat terbangun mendapati pagi telah mengkhianatiku.
meninggalkanku, bersama ketergesaan

hei, ini sudah hampir januari,
masihkah aku harus akrab dengan ketergesaan?
dalam kebersamaan kami, kedekatan kami itu, diam-diam aku membencinya.
dan, berencana meninggalkannya. diam-diam pula, tentunya.
aku tahu, aku sudah menuliskannya dalam agendaku--yang lebih banyak kosongnya. aku sudah menuliskan waktunya.
dan, saat itu, aku akan meninggalkannya.
semoga aku tak menemukan ada genangan air mata di pelupuk matanya--yah, mungkin saja ia akan merindukan berlari bersamaku, bersama-sama mengejar waktu yang juga berlari dengan cepatnya.

dan, menurutmu, apakah aku harus meninggalkan selembar Post-it di mejanya? 
mungkin, bertuliskan, "selamat tinggal," sebuah kata yang tak memperlihatkan emosi apa-apa. hanya sebuah ucapan perpisahan. 
atau, aku menuliskan hal yang mungkin membuatnya tak merasa ditinggalkan (begitu saja), "jaga dirimu. aku menyukai kebersamaan kita,"  tapi tanpa kata "semoga kita bertemu lagi", tentunya--aku tak berharap kami bertemu lagi.

atau yang agak sedikit sengit, "hei, ketergesaan, jangan genggam erat tanganku lagi. aku sering kehilangan pagi karena menunggumu."
atau, hanya satu kata itu saja, "bye," atau yang sedikit sopan, "farewell, my-lovely-friend"? 

yang manakah yang harus aku tuliskan? aku tahu, aku pasti menghabiskan berlembar-lembar Post-it untuk menuliskan itu, entah mencari kata-kata yang tepat ataupun mengulang-ulang kalimat yang sama agar tulisanku bisa ia baca dengan jelas (uh, aku sebal kemampuan menulis dengan tanganku menurun drastis sejak jemariku lebih memilih mengakrabkan diri dengan keyboard QWERTY itu).

atau, aku tak perlu menuliskan apa-apa? cukup menghilang pada suatu pagi. 
meninggalkannya, tercenung. 
dan semoga ia tak menungguku di depan pintu kamarku itu, duduk manis di sana, seperti hujan yang jatuh pagi ini.

psst, jangan ceritakan padanya kalau aku berniat meninggalkannya, pada suatu pagi.
sebenarnya, aku tak pandai menyembunyikan keinginan--yang sering menguar dengan tiba-tiba ketika aku duduk diam. tapi, kalaupun kau kelepasan bicara, dan dia tahu, katakan, aku selalu mengenangnya. dan mengirimkan doa lewat sujud-sujud yang panjang.
berdoa, semoga kami baik-baik saja. 
berdoa, agar aku dan ketergesaan bisa saling meninggalkan. dan mengenang yang baik-baik saja, tentunya. 
tahun sudah akan berganti. matahari memang masih yang itu-itu saja. tapi, kau tahu, aku bosan berlari mengejar pagi, bosan digamit ketergesaan. 

aku ingin memulai pagi dan tak melihat ketergesaan lebih dulu merebut ranselku, ataupun lebih dulu meletakkan sepatuku di depan pintu. ataupun, lebih dulu mengunci pintu kamarku, sementara helm-ku masih di dalam--tergeletak di bawah jendela kaca, di atas tumpukan buku.

:) kau tahu, ini semacam harapan untuk bersiap-siap membentangkan spanduk ucapan selamat datang kepada tahun yang baru. 
kalau sang ketergesaan tahu, ia pasti akan mengerti. tapi, semoga ia tak bilang, "dulu, kau juga bilang seperti itu, tapi kita tetap berada dalam langkah keterburu-buruan yang sama."
haha, biarlah ia berpikir seperti itu--agar semua (seakan-akan) baik-baik saja.

hanya Dia yang tahu, yang sebenarnya. kita tahu, bukan? :)




#@montong57, tiga hari sebelum sebuah tahun menghilang. gambarnya di sini!#







2 comments:

Enno said...

kata2 yg sama, perasaan yg sama,,

yg kepingin aku ungkapkan.
tapi pada seseorang...

:)

penjual kenangan said...

mungkin, penghujung tahun memang membawa nuansa yang sama, mbak. :)

mbak enno..., maaf belum mengucapkan belasungkawa secara langsung. turut berdukacita untuk almarhumah ibumu, mbak. semoga beliau ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya. sabar ya, mbak... smoga cintanya selalu menguatkanmu. :)

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin