Penjual Kenangan

Friday, September 11, 2009

Suatu Malam [kau tahu, aku orang yang juga takut kehilangan. sangat]



Ramadhan kali ini, aku terlalu sibuk dengan pikiranku saat seorang perempuan mengetuk pintu membawa kabar,

“Seorang gadis telah hilang,” katanya, “hampir setahun lalu.”

Aku mengeryit spontan. “Siapa?” Pertanyaan untuk gadis dalam ceritanya dan untuk dirinya juga—siapa perempuan ini, tiba-tiba saja datang.

“Ia begitu marah pada dirinya sendiri kala itu dan pergi, mencoba menghilang dari siapa saja. Ia marah karena tak menepati janjinya kepada seseorang yang begitu ia sayangi. Ada yang bilang orang itu sahabatnya, ada yang bilang orang itu kerabatnya.”

Aku masih berdiri kaku, bingung.

“Kau tahu, ia berjanji untuk selalu memberi orang itu tawa setiap hari, tapi malah sebaliknya. Tawa semakin mengikis. Dan, hanya ada sekarung tawa yang tersisa kala itu. Ia pun membenci dirinya. Akhirnya, diam-diam, ia pergi, berjalan dengan sekarung tawa di pundaknya, yang ia pikir akan cukup sebagai bekal di perjalanan. Niat hatinya, ia akan menemukan cara untuk membuat berkarung-karung tawa lagi setiap hari. Akan ia bawakan kembali untuk seseorang itu, setiap hari. Sayang, sekarung tawa itu telah tercecer di sepanjang jalan dalam pelariannya. Tak menyisakan satu pun. Ia semakin membenci dirinya. Dan, gadis hilang itu hanya menemukan kesedihan dalam pelariannya selanjutnya. Bahkan, setiap helai daun yang ia raih menjelma tangis. Gadis hilang sempat jatuh cinta, dan seharusnya bahagia. Namun, tetap saja tangis yang menjelma, juga dalam tawa yang ia coba semburkan dari bibirnya.” Perempuan yang berdiri di depan pintu rumahku yang setengah terbuka tiba-tiba saja bercerita panjang.

“Kenapa kau kabarkan padaku?” Aku bertanya dengan kepala penuh tanya, meski mungkin saja terdengar menarik, aku tak berminat pada cerita itu. Aku sedang sibuk dengan pikiranku. Ini dan itu sedang tidak berada tepat di benakku.

“Katanya, ada tumpukan tawa yang kau simpan di kamarmu,” sahut si perempuan. “Mungkin bisa kau bagi dengannya.”

Aku mendengus dalam diam. Perempuan ini menghina? Aku tak menyembunyikan apa-apa di rumahku, di sudut mana pun. Tawa, apalagi.

“Ini Ramadhan,” kata perempuan itu lagi, “berbagi akan semakin membuatmu berbahagia.”

Aku memejamkan mata. Meredakan amarahku sendiri. Aku harus bicara baik-baik pada perempuan ini, mungkin ia salah alamat. Ya, aku tahu ini Ramadhan. Aku tahu…. Sial, sesak itu lagi! Jangan biarkan sesak itu mengaburkan mataku lagi dan membuatnya harus menjatuhkan air yang membuat perih itu. Ya, ini Ramadhan, bulan penuh ampunan, aku tahu. Tapi..., apakah masih ada ampunan buatku?

“A-aku... tidak menyembunyikan apa-apa,” kataku, benar-benar tak mengerti apa yang bisa kubagi untuk si gadis hilang. Aku menggeleng pelan, menyingkirkan amarah yang sering bersarang dalam benakku. “Kalau kau mau, masuklah, cari sendiri apa yang bisa aku bagikan untuk gadis hilang itu.” Aku membuka pintu lebih lebar.

Si perempuan masuk, melonggokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan tidak sungkan.

“Silakan.” Aku mencoba sopan. Entah apa yang bisa ia dapatkan di ruang rumahku ini. Hanya ada tiang kayu penyangga atap, sebuah dipan kayu tua, meja kusam tempatku menulis—ah, entah apa yang kutulis. Dan, di sana, di sudut, hanya ada kotak-kotak yang semakin berdebu. Tak pernah kubuka lagi sejak setahun yang lalu. Sejak.....

“Aku boleh melihat-lihat sekeliling?” tanya si perempuan.

Ah, aku tahu matanya berkata, “Rumahmu kosong sekali.” Terserahlah dia mau bilang apa. “Silakan,” sahutku dan untungnya tidak sempat menambahkan, “Kau tidak akan menemukan apa-apa.”

Aku merasa sungkan dalam rumahku sendiri dan akhirnya, aku duduk di dipan kayu milikku. Duduk di atasnya dengan menggenggam tangan yang rasanya juga sungkan menjadi bagian dari tubuhku.

“Memangnya, gadis hilang itu sudah kau temukan?” Tiba-tiba saja aku bertanya, padahal aku tak ingin ikut campur urusan perempuan ini. Apa peduliku, aku sudah terlalu banyak masalah dengan hidupku.

“Hmm....” Perempuan itu tidak segera menjawab. Ia malah berdiri kaku di depan tumpukan kotak-kotak berdebu.

“Maaf, aku tidak sempat membersihkannya.” Entah kenapa, aku merasa wajib minta maaf. Ah, apa pedulinya kalau kotak-kotak itu berdebu, toh itu milikku dan aku saja tidak peduli.

“Apa isinya?” tanya si perempuan sambil berjongkok dan meraihnya salah satu tutup dari kotak itu.

Aku mengedikkan bahu. Entahlah. Aku sudah lupa. Aku terlalu banyak masalah, tak sempat memikirkan apa yang ada di sana. Lagi pula, aku tidak peduli.

Perempuan itu terdiam cukup lama di sana. Ia tidak mengajakku bicara lagi. Untunglah. Semoga saja ia bisa cepat pergi. Ada pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Ada masalah yang harus segera kuatasi. Dan, ah, sial, ada kesedihan yang harus kutangisi lagi malam ini. Aku duduk dan mencoba mengatur napas, mencoba memilah permasalahan hidupku satu per satu. Mendahulukan ini. Melanjutkan dengan itu. Ya, aku pasti bisa.

“Ini siapa?” tanya si perempuan bersuara lagi.

Aku diam saja.

“Dia mirip kau,” lanjutnya sambil mendongakkan kepala ke arahku, tepat ke mataku.

Aku berusaha keras menaikkan ujung bibirku, mencoba bersikap baik. Tapi, aku tidak peduli apa yang ia bicarakan.

“Benarkah ini kau?” katanya sambil berdiri dan berjalan ke arahku, membawa sesuatu yang yang cukup tebal, berwarna putih, seperti buku. Aku lupa apa benda itu. Buku harianku?

Lalu, ia duduk di sampingku. “Hei, gadis dalam foto ini mirip sekali dengan kau,” ulangnya, mencoba membawa benda putih itu ke depan mataku. Album foto. Aku baru menyadarinya.

“Kau tak mau melihatnya?” kata perempuan itu lagi.

Aku hanya menelan ludah, terasa pahit di tenggorakanku.

“Aku tidak melihat apa-apa dari album yang kau tunjukkan ini,” kataku. Kenapa pula aku jujur pada perempuan yang tiba-tiba saja mengetuk rumahku ini. Ya, aku tidak bisa melihat apa pun dari sana. Kosong.

Ia tersenyum. Sial, dia mengejekku lagi. Aku memejamkan mata, meredakan amarahku kembali.

“Lihatlah, di sini, kau terlihat berbe—“

“Apa pun yang kau lihat, itu bukan aku!” Aku memotong ucapannya seketika.

Perempuan di depanku tidak tampak kaget, hanya menoleh cepat ke arahku.

“Kau terlihat berbeda.” Ia menyelesaikan ucapannya.

Aku menghela napas.

“Ini Ramadhan,” lanjutnya.

Aku memejamkan mata.

“Saat yang tepat berbagi—”

“Aku tak mengenalmu.” Aku memotong lagi ucapannya.

“Saat yang paling tepat juga untuk memaafkan,” ia masih saja berbicara tanpa kuminta, sambil menyerahkan album foto itu ke pangkuanku.

“Kau tahu,” katanya lagi sambil berdiri, “orang yang di dalam foto itu juga mirip dengan si gadis hilang, yang tak menyisakan lagi tawa di pundaknya, juga untuk dirinya sendiri.” Ia beranjak. “Ya, aku sudah menemukannya.” Ia berjalan menjauh, yang telihat hanya punggungnya.

Aku nanar.

“Gadis hilang itu sudah capek menangis, asal kau tahu.” Ia mendekati pintu.

“Tapi—“

“Ia tak perlu menyesali sekarung tawa yang terserak itu, yang ia hilangkan itu. Sudah terjadi.” Suara si perempuan masih bisa kudengar. Mataku mengabur. Sial, aku menangis lagi.

“Ini Ramadhan,” kata si perempuan, yang telah mencapai daun pintu, “saat yang tepat untuk memaafkan, juga memaafkan dirimu sendiri.”

Aku terdiam. Air mataku jatuh. Bergulir pelan di atas album foto yang terbuka. Aku menelan ludah. Menyadari air mata tak membuat penglihatanku kabur. Mendapati foto empat orang perempuan sedang berebut tempat di frame lensa kamera. Ah, benarkah itu aku yang sedang tertawa, merangkul akrab, hangat, lengan seseorang di sebelahku.

Aku membalik album foto itu lagi. Masih ada aku. Teman. Sahabat. Tawa. Aku. Tawa. Sahabat. Tawa. Aku. Sahabat. Tawa. Aku. Keluarga. Tawa. Tawa. Aku. Sahabat. Keluarga. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Sahabat. Cinta.

“Gadis hilang telah kau temukan, bukan?” Suara perempuan itu lagi. “Ia tak pernah hilang.”

Aku kelu. Lidahku seakan-akan bisa patah saking kakunya.

Ya, ia selalu bahagia, tak pernah kehilangan tawa, seharusnya. Ah, ia hanya terjebak dalam pelarian, yang semakin jauh jika ia tak mencoba kembali.

“Kau tahu, tawa tak akan pernah habis meski kau cecerkan berkarung-karung. Pun jika kau buang ke samudra sekalipun,” suara perempuan itu menggema di telingaku, seperti berasal dari tempat yang sangat-sangat jauh. “Tawa tak akan habis,” katanya lagi, “karena kau punya cinta. Di sini, di tempatku. Di hatimu.”

5 comments:

De said...

Kereeennn.....ceritanya menyentuh, penuh kenangan. so, sweet. andai aku bisa nulis kayak mbak iwid. hm...kayaknya bisa belajar dari mbak iwid nih...

nie said...

jika dibuang ke samudera sekalipun..tawa tak akan habis ==> suka sekali bagian ini :)

itaita said...

baguuuss banget mba... aku lagi bosen jd mampir deh ke toko kenangannya mba iwied ini, abis baca ini jadi sadar sama sesuatu (awal'a gak sadar) kalau tawa takkan pernah habis, bukan begitu? :)

Anonymous said...

mba izin copas bwt d fb ya... ihihi... abis aku suka bgd dh sama note'a ^_^

Gloria Putri said...

bagus mbaaaaa....
aniwei ngomongin soal Ramadhan, met puasaa y mba.....

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin