kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Thursday, September 10, 2009
2
“Masih jadi favoritmu, kan?” tanyamu lagi, sebelah tanganmu menarik turun selimut perca tua hingga menutupi kakimu yang telanjang. Bersandar pada kursi kayu yang warnanya sudah memudar, melapuk—ah, terlalu lamakah aku pergi. Waktu kutinggalkan, warnanya belum sepudar ini, bukan? Kau menyesap minumanmu dengan santai. Kenapa aku tak bisa relaks sepertimu. Atau, kau semakin lihai menyembunyikan emosimu.
“Masih,” sahutku, lagi-lagi tersenyum, mencoba membuat kau tak menyadari perasaan tidak nyaman yang bersarang sejak aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahmu ini, rumah kita—dahulu. Bahkan, aku merasakan jari-jariku kaku, tiba-tiba tak nyaman dalam bentuknya.
Dalam diam, aku ikut menyesap pelan cokelat hangat itu, takut-takut. Dan, aku tahu aku akan merasakan kembali sensasi yang sama—jika tidak, aku tidak akan pernah membuat diriku fobia pada minuman ini. Memaksa diri fobia, tepatnya. Kau tahu, aku suka cokelat hangat seperti ini. Terlalu suka. Cokelat hangat yang kau buatkan dalam mug besar yang selalu kita beli dua, dengan warna yang sama. Untukmu dan untukku. Dan, kau ingat, kita selalu bertengkar, merasa mug kita selalu tertukar. Ya, aku tahu, saat kita telah lama memiliki sesuatu, bahkan, hanya dengan melihat kelebatannya, kita akan menyadari ikatan tak terlihat di antara kita dan sesuatu itu.
Dalam diam, aku menelan pelan manis sempurna yang kau racik. Tetes-tetes cokelat hangat yang membasahi kerongkonganku mengusik tumpukan kenangan yang kupurukkan di sudut hati, semua mendesak begitu saja, mencecerkan kembali percakapan kita sebelum aku memutuskan pergi. Menjauh. Darimu.
“Mau memberiku kesempatan untuk itu?” Kala itu, kau meraih kedua tanganku, menyembunyikannya di genggaman tanganmu yang lebar, yang hampir bisa menghilangkan seluruh jemariku di sana. Aku hanya diam, menghindari tatapanmu yang entah kenapa terlihat begitu jauh, ke masa lalu. Jangan rangkaikan keping-keping kenangan itu di matamu. Kau tahu, aku orang yang terlalu mudah menyerah pada apa saja yang bisa membuatku terharu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment