Penjual Kenangan

Wednesday, September 02, 2009

"hari masih hujan," katamu




"siapa kau?" tanyamu.

aku terdiam. jangan bertanya lagi, tak bisakah kau cukup mempersilakanku duduk di teras rumahmu ini, hanya sekadar berteduh.

"siapa kau?" tanyamu lagi, mengulang dengan diksi yang sama.

aku menggigit bibirku, menahan cairan hangat yang menggantung begitu saja--sial!
dan, tiba-tiba, pikiran itu datang begitu saja. aku berbalik badan, berjalan.

"hei, hari masih hujan," katamu.

aku tetap melangkah. mempercepat langkah, bergegas meninggalkan kau dan teras rumahmu yang hangat--yang aromanya begitu kukenal. entah karena apa. mungkin, aroma itu yang kita pilin jadi tali ikat di kelingking kita. yang akan mengembalikan langkah pada mula. mungkin saja.

"hei, kau, kau...." suaramu hilang di antara hujan. "siapa kau?" samar masih kudengar.

ah, cairan hangat itu jatuh, berbaur di antara hujan. untunglah. jadi, kau tak tahu siapa aku dan tak akan menjulukiku lelaki yang menangis dalam hujan.

"hei, siapa kau?" suaramu dibawakan hujan ke telingaku. ah, itu lagi yang kau tanya.

jangan tanyakan lagi. aku pun tak mengenali siapa yang menjelma diriku kali ini. yang kutahu, dia selalu tak bisa menahan air matanya. dan memilih bergegas jauh, menghilang, berharap air matanya juga menjelma hujan--yang hanya turun, tanpa jutaan sesak yang memburu dalam helaan napas. ia berharap air matanya seperti hujan.

dan sekarang, tiba-tiba saja aku berharap menjelma hujan. dan menghilang.

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin