Penjual Kenangan

Saturday, October 27, 2007

26/10/07

aku menemukan persimpangan.
silakan. lanjutkan ke arahmu.
aku berbelok di sini.


"kau tak mengerti arah juga ternyata. hanya pandai menerka."




--Margonda, saat purnama telah habis separuh--

hei!

musim bunga

Anak SMP?


Masih cerita seputar si Ani juga.
Saya dan Gita heran kenapa si Ani rajin sekali ikut dengan ayahnya ke tempat latihan bulu tangkis. Padahal, latihan diadakan pada malam hari. Pukul 10 hingga pukul 12. Ani ngotot buat ikut. Yah, karena libur, sang ayah membolehkan si Ani ikut.
Namun, saya masih heran. Pernah sekali, saya sedang pergi ke rumah Cipa di Ciledug, dengan Ani. Ani berisik, “Ante Wied, pulang yuk. Ntar Ayah keburu pegi.”

Saat sampai di rumah, dari pintu pagar, Ani langsung teriak-teriak, “Ayah! Ayah!”
Saat melihat ayahnya masih duduk nonton TV, Ani mengelus-elus dada, “Untung, untung,” ujarnya.

Kenapa sih, Dek?” tanya saya.
Ani mau ikut ayah main bulu tangkis. Untung ayah belum pegi,” jelasnya.

Saat malam takbiran, Ani masih bertanya kepada ayahnya, apakah malam itu ayahnya main bulu tangkis. Saya dan Gita sampai heran, “Malam takbiran, gitu, Dek!”

Kenapa sih, Ni, pengen banget maen bulu tangkis?” tanya saya dan Gita.
Ada gebetannya, ya?” kami becanda ala kami-kami. Cuma buat melampiaskan keheranan dengan keranjingannya si Ani.

Iya,” jawab si Ani, “anak SMP,” lanjutnya, tanpa Gita harapkan. Apalagi, saya harapkan.

Hah!” kami cuma terperangah, dengan tawa yang tidak rela di ujung bibir.

Ani suka sama dia?”

He-eh,” Ani mengangguk-angguk dengan mata bulatnya. Tersipu-sipu.

UHEI%&DGuBXixOYD&RAHB@$$YY&g99d9a0+Z##j9j ….. Wuah ….! Saya tidak ingat saya bilang apa pada Ani saat itu. Mungkin, saya marah-marah konyol. Tidak rela, tentu saja. Anak seusia itu? Oalah, saya tidak ketinggalan zaman, kan? Pun iya, bodo, deh. Pokoknya, saya tidak rela.

Di kamar, Ani curhat pada Gita. Nama anak itu Andri.
Gita : Kok Ani tau nama dia?
Ani : Ani denger bapaknya manggil-manggil, “Ndri, Ndri!”
Gita : Oh …. (menahan tawa).
Ani : Tapi, dia enggak tau nama Ani (mulai desperado).
Gita : Ayo, Dek! Semangat! Jangan putus asa! Ani deketin dia aja. Trus, ajakin ngobrol (Gita mulai gila).
Ani : (tersenyum-senyum tali temali).

Lalu, cerita sampai pada saya. Saya cuma bisa tertawa. Menangis di dalam hati, hiks.
Tuh, kan, dibeber-beberin,” kata Ani marah. Malu. Despret.

Gita : Ni, Andri gak bakalan mau ama Ani. Kurus. Ompong. Jarang sikat gigi, lagi. Dia aja gak kenal Ani. Gak tau nama Ani. Ngomong aja gak pernah.
Ani : Pernah. Dia pernah becanda …. Tapi, ama temen Ani. Temen Ani juga kurus. Ompong.
Ani semakin parah. Gita juga.

Ice : Emang Andri ganteng, Dek?
Ani : Buat orang sih, dia mungkin gak ganteng. Tapi, buat Ani, dia paling ganteng.
Ice : %$%????

Cerita sampai pada saya. Saya cuma bisa ketawa lagi. Sambil marah-marah enggak rela. Lagi. Jadilah Ani bahan banyolan. Duh, Dek, kosakatamu itu!
Tuh, kan, dibeber-beberin,” kata Ani marah. Malu. Despret. (LAGI)

Huhuhu, Pak A.T. Mahmud, Pak Kasur, dan Bu Kasur, tolong saya. Keponakan saya jadi korban SINETRON!

Saya jadi ngaco. Nyari-nyari kambing hitam. Coba mulai berhitung sampai sepuluh, ah. (Tarik napas) … Satu … Dua … Tiga ….

Monday, October 22, 2007

cipa, cipa

Kapan Kau Jatuh Cinta Lagi?



: nlr


Kau masih saja berlari bersama si kelinci yang selalu berkata, “Aku terlambat! Aku terlambat!”

Kau ikut berlari, tapi tak tahu terlambat untuk apa.

Kau masih berlari-lari bersama kelinci yang selalu akan merasa terlambat itu.

Masihkah kau di sana?” tanyaku suatu hari, saat usia mampir sekali lagi ke dalam catatan pengingat.

Tidakkah kau ingin pulang, ke tempat kisah cinta selalu kubacakan—roman-roman picisan. Jangan terus berlari bersama kelinci yang selalu merasa terlambat itu. Kau tak tahu dia terlambat untuk apa, bukan? Lagi pula, tidakkah negeri itu terlalu ajaib? Atau tidakkah negeri itu terlalu menyeramkan. Di sana, jejak, jalan, dan persimpangan bukanlah milikmu. “Milikku,” kata sang Ratu.

Duduklah bersamaku di sini. Menikmati teh sore. Aku memang belum menyelesaikan satu kisah cinta lagi—cinta tak terlalu picisan, sekarang. Terlalu sulit untuk diselesaikan. Namun, di sore ini, aku tidak ingin berbincang tentang itu.

Kapan kau jatuh cinta lagi?”, akan kubuka percakapan sore dengannya.

Teh sore tampak tak menguap lagi. “Kapan kau akan datang?”

Lebaran Kemarin


Setiap saya pulang ke rumah, selalu ada kejutan dari keponakan saya, terutama dari Ani. Sekarang, Ani sudah kelas dua SD. Masih suka membaca, dan menjadi semakin terlalu (cepat) dewasa.

Saat pulang menjelang dua hari Lebaran kemarin, saya disibukkan berberes di rumah, seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa hari sebelumnya, Ani sempat menelepon. “Ante Wied, kapan pulang? Ani sekarang sudah bisa nyuci piring. Ani juga bisa nyapu.” Ani melaporkan dari Slipi.

Sebenarnya, kalimat itu untuk mempercepat saya pulang, berhubung, Mbak Was yang biasanya membantu berberes sudah pulang kampung dan tidak akan kembali lagi—belakangan, anaknya usia 10 tahun, yang ikut bersamanya, menyalami saya di tempat salat Ied. Entah kenapa harus pakai acara bohong segala itu si Mbak—kalau dibuat dugaannya, cerita jadi terlalu panjang, perlu ada postingan sendiri. Jadi, lewat aja, deh, ya.

Balik lagi kepada si Ani yang pamer sudah bisa ini dan itu. Saya cuma bisa komentar, “Wah, Ani hebat! Ante Wied pulang besok, ya.” Nyatanya, besok saya itu tertunda beberapa hari. Editan saya mengejar deadline—saya telah menjadi Penjelajah Deadline hampir setahun belakangan ini. Dan, tentu saja, saya menikmati setiap petualangannya.

Akhirnya, saya pulang juga. Saya pulang bersama Gita dan Ice. Pekerjaan berberes menunggu. Saat berberes, HP saya tergeletak begitu saja. Dan, jadilah si Ani menggantikan kebiasaan saya dan juga Gita—dan juga mungkin banyak perempuan di dunia ini—menjadi Penjelajah Inbox. Parah. Bahkan “hobi” ini sudah merambah anak usia si Ani.

Sibuklah dia bertanya ini siapa dan itu siapa. Saat membacakan isi inbox saya itu, dia belibet dengan segala singkatan yang dibuat oleh pengirim SMS dengan aturan “sama rasa”. Ani semakin sibuk dengan pertanyaan. “Apaan sih bacaaannya, Kak Gita?” Siapa sih ini?” tanyanya penasaran. Gita, kotak rahasia saya, usil pada Ani. “Itu tuh, Dek. Yang empat huruf,” pancing Gita. Tanya Ante Wid, deh,” Gita semakin usil.

Deg! Jantung saya sempat berdegup—ya iyalah, ya, masa enggak? Hehe. Saya sempat sedikit kaget, gitu. Aduh, jangan tanya. Jangan tanya, kata saya dalam hati. Sempat-sempatnya berdoa untuk hal yang tidak begitu penting, sebenarnya.


Nte Wied, siapa sih __ ___ __ __?”

Haha, saya tergelak. Doa saya yang serabutan sampai. Tuhan memang selalu mendengar setiap doa. Bukan orang yang saya maksud, ternyata. Ani menyebutkan nama-orang-yang-jauh-dari-saya-duga. Ani sibuk lagi menjelajahi inbox saya, bahkan sampai ke pesan yang tersimpan. Parah.

Kemudian, saya berjalan dengan Ani menjemput Cipa—keponakan saya satu lagi—di rumah kakak saya yang tidak begitu jauh. Saat itu, si Ani bergumam plus dengan deheman atau sejenis itulah.


Heh! Aak Garda,” ujarnya sambil lalu. Saya mendengar sekilas. Dan, langsung menangkap nada gumaman dan dehemannya.

Oh, itu temen Ante Wied. Namanya Aak. Dia anak Garda,” saya menjelaskan cepat—entah karena apa. Saya mengidentifikasi nama si Aak dengan nama belakang Garda—Garda Hijau, sebuah organisasi pecinta lingkungan di FIB UI.


Bukan! Namanya Garda,” ujar Ani cepat.

Heh? Bukan, namanya Aak,” saya menjelaskan lagi. Sambil tertawa, tentu saja. Jelas-jelas namanya Aak, bukan Garda. Ani sotoy, dey!

Bukan!” Ani melakukan pengingkaran lagi. Alah-alah, ngotot amat, yak.

Namanya Aak, Ani! Dia anak Garda. Garda Hijau,” seakan-akan, saya takut Ani menduga ada apa-apa. Saya ingat, ada beberapa SMS si-Aak dalam HP saya, berhubung dia mau nitip sesuatu di kosan.


Heh!” sahut Ani. Ada nada keyakinan bahwa “Gue gak bisa dibohongin!” dalam sahutan Ani itu.

Jadi, Garda itu … bla bla bla ….” Saya menjelaskan secara akedemis. Dan, tentu saja tidak dimengerti oleh Ani yang masih “belekan” itu. Dia sudah punya keyakinan, nama orang itu adalah Garda, dan tentu nama Aak di depannya itu dikira panggilan “sayang” dari saya. Duh!

Pulang-pulang, Ani langsung bisik-bisik sama Gita. Saya memergokinya. Gita langsung tertawa ngakak.

Kenapa, Git?” tanya saya.

Masa Ani nanya ….”

Aak Garda, ya?” potong saya yakin. Dan, ikut tertawa. Mendengar intermeso di jalan dengan Ani tadi, Gita semakin ngakak.


Parah, lo, Wied! Masa ponakan lo yang umur segitu menginterogasi lo. Waktu dia masih bayi, lo udah kuliah, kan,” sahut Gita di sela tawanya.

Eh, gue enggak setua itu kali, Git!” Masa waktu bayi saya sudah kuliah? Ya enggaklah!—terkadang, masalah usia, orang sering cepat sewot. Terkadang, banyak hal konyol lain yang bikin kita buru-buru emosi. Kalau begitu, yuk, berhitung dari satu sampai sepuluh. Katanya, itu dapat mengendalikan emosi, loh ^_^

Saya dan Gita masih tertawa. Saat Ice, adik Gita, datang dan mendengar siaran langsung ulangan, dia ikut tertawa. Tawa yang enak sekali—salah satu jenis tawa untuk menertawakan anak kecil.

Sementara itu, si Ani tersipu-sipu. Malu. “Tuh, kan …. Tuh, kan … dibeber-beberin …,” ujarnya semakin dekat ke pojokan.

Tuesday, October 09, 2007

PEJALAN

pejalan itu masuk. ia memesan secangkir kopi hitam, seperti kemarin. duduk dekat jendela kaca. jalan masih lengang. masih terlalu pagi. kopinya dibiarkan mengepul. pejalan itu memulai cerita. bercerita pada perempuan yang tadi menakarkan tiga sendok harapan dan sesendok senyum dalam cangkir kopi pejalan itu.

"aku akan ke negeri seruni pada musim ini. kau, apa yang kau lakukan pada musim ini?" tanya pejalan kepada perempuan itu.

perempuan itu menakar segelas kopi lagi. mencoba mencari kesibukan.

"aku sedang mengumpulkan kebencian, untukmu. dan nyatanya, belum juga cukup. pun hingga musim berganti."

haruskah itu yang kukatakan kepadanya? perempuan itu terlalu lama menakar hati.


Margonda, 09/10/2007

03/10

Hujan. Hujan. Hujan.
Suaranya masih terdengar.
Masih adakah jendela yang tersingkap?
Hujan. Hujan. Hujan.
Suaranya samar.
Masih inginkah kau dengar?

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin