aku bertemu seekor kupu-kupu.
ah, betapa cantik ia. tak habis-habis aku memujinya.
dan, entah bagaimana, kami jadi bicara panjang.
"kau tahu tentang sebuah fase?" tanya kupu-kupu itu, lalu terbang memutar-mutar di atas kelopak bunga.
ah, bahagia sekali hidupnya, pikirku. mataku tak lepas dari kepak sayapnya yang mencampurkan berbagai warna yang disebut indah.
aku baru menyadari bahwa aku tak menjawab pertanyaannya itu ketika ia bersuara lagi, "fase seperti sebuah undakan batu menuju puncak gunung. yang perlu kau pijak hati-hati. dan harus kau jajaki--jika ingin kau sampai di puncak gunung itu."
ah, benarkah ada senyum tipis di bibirku, senyum tak percaya. "bagaimana kau tahu rasanya memijak sebuah batu, sementara kau punya sayap indah itu." aku bergunjing dengan hatiku sendiri.
"langkahmu pun harus pasti di sana. jika tidak, kau akan tergelincir, sayang," ucapnya lagi. masih melayang-layang di udara hangat itu--yang seakan-akan telah lama menyerap kenangan-kenangan.
"atau kau mau berdiri saja di salah satu undakan itu?" ia bertanya.
ah, kenapa pula ia bertanya kepadaku, bukankah ia yang membuka wacana?
"jika kau berdiri saja di sana. itu namanya kau hilang dalam fase, bukan kehilangan fase. ingat, kau hilang dalam fase." ia seakan-akan mendelik kepadaku. sial, matanya sangat indah.
"undakan batu itu akan tetap ada di sana. seperti halnya fase. ia akan selalu ada di tempatnya. ia tak pernah hilang. jadi, jika kau berdiri saja di sana. kau akan hilang di sana. melebur menjadi fase itu sendiri."
"uh, aku sedang tak ingin membicarakan apa-apa," ucapku. ah, maaf, terdengar kesal, mungkin.
aku tak lagi memperhatikan ia terbang. aku juga tak memikirkan undakan batu yang, tentu saja, tak perlu ia pijak dengan hati-hati.
"hup!" kau cuma butuh itu. sebuah lompatan--yang tentu saja, bukan asal-asalan, ya."
duh, kau terlalu banyak persyaratan, kupu-kupu.
"kau mudah saja bicara tentang semua ini. tak pernah kau tahu bagaimana seseorang begitu berat menjejakkan, hanya, satu langkah ke pijakan batu selanjutnya. kau tahu kenapa, karena jika menengok ke belakang, fase-fase juga yang ada di sana." aku melemparkan sebuah kerikil ke udara hangat itu. ia seperti melayang pelan. ah, sepertinya, udara ini memang terlalu banyak mengedapkan kenangan, hingga ia tidak membiarkan semua lewat dengan cepat.
"jangan anggap semua hal itu fase. berat sendiri nanti hidupmu," katanya. "lain-lainnya itu, hmm, kita sebut saja benang-benang fase. yang menjalin hingga akhirnya kita sampai pada sebuah fase." ia hinggap di lenganku.
benar-benar seekor kupu-kupu yang cantik.
"ah, pembicaraan kita semakin tidak jelas," sahutku. "matahari sudah terlalu tinggi. aku harus pulang. dia menungguku." aku tersenyum. "kau terlalu cantik, kupu-kupu," aku menatapnya. "kau membiarkan aku membencimu karena kesempurnaanmu. kau selalu bahagia, terbang ke sana kemari sesukamu.
kebahagiaanmu yang kau kumpulkan dalam sayapmu itu. ah. dan, kau tak tahu fase apa yang dihadapi manusia itu." aku menatapnya, ah, maaf, menghakiminya.
"aku berkawan dengan fase yang ada. aku tak melewatinya. aku dan fase itu melewatinya. kami bersama. mungkin, bahagia juga tak ingin ketinggalan dan ingin bersama. ah, mungkin, ia iri melihat aku dan fase begitu riangnya," katanya, tersenyum lagi.
"kau?" lanjutnya, "sudah sampai undakan batu keberapa? sudah lelah?" ia benar-benar bertanya, bukan mengejekku, aku tahu.
"ah, entahlah," kataku. "aku belum mengenali fase. aku masih asing dengannya, dan kadang, aku terkilir, entah di fase keberapa." aku kembali memperhatikan udara. mulai mendingin. benarkah? apa ia melepaskan ikatan-ikatan kenangan jika matahari sudah tak lagi tepat di atas kepala?
"kalau begitu, pulanglah dulu," kata si kupu-kupu. "jangan berburuk sangka pada fase. mungkin, bukan dia yang menyebabkanmu terkilir," katanya pelan, seakan-akan merahasia pada udara.
kupu-kupu itu mengepak, lalu menguap bersama udara.
menjelma hangat.
menjelma rahasia.
* i owe the pic!
No comments:
Post a Comment