Beberapa malam lalu, saya memutuskan kembali ke masa lalu. Lorong waktu itu ada di sana sejak lama, dibawakan seorang teman. Ada hal yang harus membuat saya memutuskan kembali ke masa lalu. Ada yang mengancam masa sekarang saya —dan mungkin juga masa mendatang saya—karena hal kecil yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu.
Saya hampir menyelesaikan susunan puzzle kekinian—meminjam istilah Mas Ia—saya. Namun, tiba-tiba, ada goresan kecil pada pinggiran sketsa yang saya susun. Padahal, potongan puzzle yang saya susun telah ada di tempatnya masing-masing. Bahkan, saya sedang bersiap dengan potongan untuk bagian yang lain.
Sebuah goresan. Itu membuat sketsa kekinian saya tidak seperti yang seharusnya. Bahkan, saya takut, di masa mendatang saya, goresan itu akan melebar dan akhirnya merusak tampilan sketsa saya.
Karena itu, saya putuskan untuk masuk ke lorong waktu itu. Saya pikir, ada kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Ada peluang untuk mengembalikan semua seperti semula. Kembali pada titik saat sesuatu itu belum menjejak di masa sekarang saya. Lalu, saya putuskanlah untuk menggunakan lorong waktu itu—ia ada memang untuk menyelesaikan apa yang tidak kau inginkan, itulah anggapan saya.
Kembali ke masa lalu. Tentu saja hal yang ada masa kini tidak akan sama lagi, saya tahu tentang itu. Tapi, ada cara untuk mengecoh masa. Simpanlah baik-baik apa yang ingin kau pertahankan di tempat lain, di luar bagian semesta yang akan dikembalikan ke waktu sebelum sesuatu—goresan—menjejak dan menjadi mimpi buruk. Itulah yang saya ketahui sebagai cara untuk mempertahankan apa yang tidak ingin kita usik. Yang bisa kita masukkan kembali nanti, saat kita telah mencapai titik—yang kita pikir—aman.
Saya telah tahu itu. Karena itu, saya dengan cepat memutuskan untuk kembali ke masa lalu ketika ada goresan kecil yang saya rasa mengusik kekinian saya itu. Jika dibiarkan, goresan kecil itu akan menjadi besar dan mungkin akan membahayakan masa mendatang saya—yang belum dapat saya intip sedikit pun. Namun, ada bahaya yang mengancamnya dan tentu saja hal itu membuat saya waswas. Kekinian dan masa mendatang saya harus diselamatkan, bukan.
Lalu, mulailah saya masuk lorong waktu—kembali ke titik sebelum sesuatu yang membahayakan kekinian dan masa mendatang saya. Sebelumnya, tentu saja hal yang ingin saya pertahankan telah saya simpan di luar semesta saya yang akan kembali ke masa lalu. Nanti, saat atmosfer saya aman, akan saya pasangkan kembali hal yang saya pertahankan itu—potongan puzzle yang telah saya ketahui di mana letaknya. Potongan puzzle itu telah saya tandai dan dengan mudah semua akan terpasang—tidak perlu lagi membuang waktu. Tentu saja, sketsanya sudah saya hafal dan saya akrabi.
Mulailah perjalanan waktu ke masa lalu itu. Tidak ada yang akan berubah pada sketsa saya, tidak ada yang akan bergeser. Potongan-potongan puzzle telah saya rekatkan erat-erat dalam kotak rahasia, sisi teraman benak saya. Lalu, sampailah saya di masa belum ada goresan pada sketsa. Di sana, potongan puzzle memang belum terpasang. Tidak apa-apa, toh, saya sudah merekamnya lekat-lekat dan hanya tinggal menaruhnya kembali.
Namun, saat kotak rahasia itu terbuka, saya mendapatkan kejutan, yang tidak saya harapkan. Dan, saya memang terkejut. Potongan-potongan puzzle dalam kotak rahasia itu belum ditandai. Masih seperti semua saat pertama kali saya menerimanya di titik awal. Dari-Nya.
Dan, saya sudah kembali ke masa lalu. Di masa lalu itu, ingin kembali lagi ke saat saya belum kembali ke masa lalu. Ke tempat hampir semua potongan puzzle telah terpasang di sketsa. Di tempatnya masing-masing.
Sekarang, saya sudah berada di masa lalu. Kemudian, saya ingin kembali ke masa saat saat saya belum kembali ke masa lalu. Jadi, bukankah itu masa depan?
Ah, adakah lorong untuk ke masa depan? Saya begitu memikirkannya. Namun, bukankah saya telah tahu dan telah begitu menyadari bahwa semua akan berubah saat kembali ke masa lalu. Harus ada yang hilang jika saya tidak menyimpannya baik-baik, merekamnya lekat-lekat, menutupnya erat-erat dalam kotak rahasia.
Jadi, sekarang, kekinian saya adalah masa lalu yang saya datangi dari masa depan. Saat ini, masa lalu ini bukanlah masa lalu. Ia kekinian saya. Dan, ada lagi masa lalu dari masa lalu—kekinian—saya ini.
Lalu, apakah saya masih ingin sibuk mencari jalan ke masa depan agar saya tidak berusah-susah lagi memilah-milah potongan puzzle yang pas untuk sketsa masa lalu—kekinian—saya ini? Berapa lama waktu yang saya perlukan? Berapa banyak goresan lagi yang akan saya buat dalam sketsa ini?
Lalu, mengapa tidak saya terima saja masa lalu—kekinian—saya ini sebagai kekinian saya—tanpa tambahan kata “masa lalu”. Hanya kekinian. Inilah kekinian saya. Yang harus saya jejaki agar saya sampai ke masa mendatang saya—yang sempat saya jejak.
Bukankah saya memang telah memutuskan untuk kembali ke masa lalu?
Segala sesuatu memang mempunyai ceritanya sendiri. Sekarang, saya harus menjalani cerita masa lalu ini. Sekarang, ia bukanlah masa lalu itu. Inilah kekinian saya.
1 comment:
iwiedyawati, tulisan-tulisanlo ternyata sangat dewasa ya? cie iwied..kayanya bentar lagi bisa berkahwin nih dengan syah bandar
Post a Comment