Penjual Kenangan

Monday, October 27, 2008

Perompak




Dia pikir, kematian suaminya dapat membuatnya tenang. Bahkan, bisa dibilang, dia mengharapkan kematian suaminya itu. Mungkin, telah bertumpuk-tumpuk doa agar kematian itu segera tiba.

Ah, mengingat saat suaminya pulang, ia selalu seperti melihat seorang perompak pulang, dengan sekeranjang luka, buatnya.

Dan, sekarang, kematian itu menjelma. Namun, entah kenapa, rindu pun ikut menjelma.
Usianya semakin akrab dengan senja, saling menyapa dan menitip salam. Dan, tiba-tiba saja, dia rindu pada wajah perompak itu, pada dekapnya yang mengguratkan banyak luka di setiap sudut tubuhnya.

Dia tidak hanya sekadar rindu. Dia ingin perompak itu ada di sini. Dia dalam ketakutan sekarang. Di antara deru hujan yang terdengar lebih menakutkan daripada gemuruh suara perompak itu, suaminya yang telah menjelma kematian.

Benarkah, ia kehilangan? Kehilangan sekeranjang luka itu? Entahlah.
Dia tidak dapat jernih berpikir. Di sudut kamarnya, onggokan batu hitam meninggi. Tembok batu hitam yang dibangunnya--antara dirinya dan diri perompak itu--luluh lantak. Membuka ruang yang ada di balik tembok itu.

Kemarin, baru saja kemarin, semua onggokan batu itu berjatuhan--entah siapa yang menjatuhkannya. Ia begitu ketakutan. Akan sesuatu yang ada di balik tembok itu. Yang selama ini ia takuti. Tapi, nyatanya, tidak ada apa-apa di balik tembok batu itu.

Tidak ada apa-apa di sana. Jadi, apa yang ia takuti selama ini?
Ia hanya menemukan dirinya. Sendirian.
Perompak itu sudah menjelma kematian.
Sekeranjang luka pun tak pernah ia bawakan lagi. Atau, memang tidak pernah ia bawakan?

1 comment:

Anonymous said...

sesuatu yang ditakuti terkadang tidaklah seperti apa yang dipikirkan, begitu pula dengan sesuatu yang di anggap tidak baik, belum tentu segalanya baik. ketika hal itu sudah tidak ada lagi disekitar kita, rasa membutuhkan itu baru timbul....

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin