kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Wednesday, October 18, 2006
Friday, October 13, 2006
Sehabis Magrib di Margonda (2)
jangan pagi yang hujan, jangan pula petang yang memburu kelam
setiap hari pergi
perempuan yang selalu menyapa lila di jalan itu
sibuk menyembunyikan lagi matahari ke dalam sakunya
takut lila datang dan mengambil matahari yang dicarinya itu
hari pergi semakin jauh. dan jauh
dan perempuan itu semakin takut lila tahu
ada matahari di sakunya
lila, gadis kecil yang kemarin mencari matahari di jalan itu
tak pernah kembali lagi
jangan pagi yang hujan, jangan pula petang yang memburu kelam
setiap kau lewati rumah batu itu
kau akan selalu mendengar senandung dari belakang rumah
lila, gadis kecil yang kemarin mencari matahari
sedang bernyanyi. riang
tangannya erat memegang tali ayunan kayu
ia tak lagi mencari matahari
ia terbang. tinggi.
setiap hari pergi
perempuan yang selalu menyapa lila di jalan itu
sibuk menyembunyikan lagi matahari ke dalam sakunya
takut lila datang dan mengambil matahari yang dicarinya itu
hari pergi semakin jauh. dan jauh
dan perempuan itu semakin takut lila tahu
ada matahari di sakunya
lila, gadis kecil yang kemarin mencari matahari di jalan itu
tak pernah kembali lagi
jangan pagi yang hujan, jangan pula petang yang memburu kelam
setiap kau lewati rumah batu itu
kau akan selalu mendengar senandung dari belakang rumah
lila, gadis kecil yang kemarin mencari matahari
sedang bernyanyi. riang
tangannya erat memegang tali ayunan kayu
ia tak lagi mencari matahari
ia terbang. tinggi.
Wednesday, October 11, 2006
Niat Baik pada Suatu Hari di Bulan Oktober
saat bintang jatuh
Malam itu, satu bintang jatuh.
"Semoga Ibu sehat kembali," doa bocah berkuncir dua itu. Ia telah lama rindu senyum ibunya. Senyum yang menenteramkan saat ia begitu takut pada gelap.
"Semoga bocahku ini tak takut lagi pada gelap," doa perempuan yang merasa bisik-bisik itu semakin jelas di telinganya, Sebentar lagi, sebentar lagi, pagi pamit kepadamu dan hari tak lagi menyapamu.
Saat bintang jatuh, hanya satu harapan yang terkabul.
"Semoga Ibu sehat kembali," doa bocah berkuncir dua itu. Ia telah lama rindu senyum ibunya. Senyum yang menenteramkan saat ia begitu takut pada gelap.
"Semoga bocahku ini tak takut lagi pada gelap," doa perempuan yang merasa bisik-bisik itu semakin jelas di telinganya, Sebentar lagi, sebentar lagi, pagi pamit kepadamu dan hari tak lagi menyapamu.
Saat bintang jatuh, hanya satu harapan yang terkabul.
Jangan Menangis, Gadis Kecil
Tuesday, October 10, 2006
Telepati
telepati (n): daya seseorang untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain yang jauh jaraknya, atau dapat menangkap apa yang ada di benak orang lain tanpa mempergunakan alat-alat yang dapat dilihat. (KBBI, 2001: 1162)
Gw abis ngedit buku yang di dalamnya ada cara telepati gitu. Kalau menurut buku itu sih, caranya gampang. Gw jadi pengen belajar nih. Katanya, kita bisa ngirim pesan ke pikiran orang lain. Gw dari dulu suka banget ama yang begituan tuh. Apalagi bisa baca pikiran orang. Hati apalagi! Haha. Yang gampangnya, di situ dicontohin, misalnya kita ngirim telepati ama orang yang ada di pinggir jalan. Konsentrasi, trus bilang, "Nengok, nengok, nengok". Nah, kalo tuh telepati berhasil, tu orang akan nengok. Trus, kalau udah nengok? Ya udah biarin aja (iseng aja kali, hehe). Tapi, itu cuma yang ecek-ecekan. Itu juga sering gw n temen2 gw lakuin. G pengen yang beneran. Katanya, yang beneran kita bisa nyuruh orang dateng ke tempat kita (wah, asyik tuh, apalagi kalau lagi ga ada pulsa). Oh ya, sebenernya, itu ada mantranya juga lho. Mantra yang bisa bikin orang yang kita ehem-ehem jadi ehem-ehem, semacam guna-guna gitu dey (kasih depannya aja ya, Kok lalok ...., nah itu dari bahasa minangkabau). Guna-guna yang berguna, haha. Itu kayaknya termasuk telepati juga deh. Gw mau belajar telepati, ah. Ntar kalau udah berhasil, gw kabarin deh.
Gw abis ngedit buku yang di dalamnya ada cara telepati gitu. Kalau menurut buku itu sih, caranya gampang. Gw jadi pengen belajar nih. Katanya, kita bisa ngirim pesan ke pikiran orang lain. Gw dari dulu suka banget ama yang begituan tuh. Apalagi bisa baca pikiran orang. Hati apalagi! Haha. Yang gampangnya, di situ dicontohin, misalnya kita ngirim telepati ama orang yang ada di pinggir jalan. Konsentrasi, trus bilang, "Nengok, nengok, nengok". Nah, kalo tuh telepati berhasil, tu orang akan nengok. Trus, kalau udah nengok? Ya udah biarin aja (iseng aja kali, hehe). Tapi, itu cuma yang ecek-ecekan. Itu juga sering gw n temen2 gw lakuin. G pengen yang beneran. Katanya, yang beneran kita bisa nyuruh orang dateng ke tempat kita (wah, asyik tuh, apalagi kalau lagi ga ada pulsa). Oh ya, sebenernya, itu ada mantranya juga lho. Mantra yang bisa bikin orang yang kita ehem-ehem jadi ehem-ehem, semacam guna-guna gitu dey (kasih depannya aja ya, Kok lalok ...., nah itu dari bahasa minangkabau). Guna-guna yang berguna, haha. Itu kayaknya termasuk telepati juga deh. Gw mau belajar telepati, ah. Ntar kalau udah berhasil, gw kabarin deh.
Monday, October 09, 2006
Fragmen
***
Tapi, aku tak pernah mencintai hujan lagi, hatiku bersikeras. Meskipun saat hujan jatuh, aku diam-diam menyimpan senyum dan diam-diam bersenandung di antara rintiknya.
***
Sehabis magrib, aku menemukan daun jatuh di jalan kota kami. Dan, aku memulai kebiasaan baru. Menunggu daun jatuh sehabis magrib. Dan, sore itu, laki-laki itu—Biru, namanya—duduk di bawah pohon itu. Lelaki baik-baik. Dari matanya, aku merasa ia juga mencintai daun jatuh. “Ya, aku mencintai daun jatuh,” katanya suatu hari. “Tapi, aku tidak pernah suka pada hujan,” katanya.
“Aku juga,” kataku. Aku (tidak) mencintai hujan. Biru mencintai daun jatuh. Aku juga. Namun, terkadang, dari jendela kamarku, aku masih mengintip hujan jatuh.
***
Bulan hampir Juni. Hujan sering jatuh. Daun-daun hanya jatuh satu per satu. Aku mengajak Biru mencintai hujan. “Aku tak suka hujan. Aku lebih suka duduk minum cokelat hangat dalam rumah,” kata Biru.
“Bukankah hujan itu indah, Biru. Hujan itu membawa banyak cerita dalam rintiknya,” kataku. “Coba kau dengarkan.”
Biru menggeleng. “Aku tak mendengar apa-apa,” katanya.
Kidung telah banyak menceritakan kisah yang dibawa hujan padaku. Hampir Juni. Belakangan ini, aku berlama-lama duduk di bawah hujan yang jatuh. Aku menjadi begitu rindu pada hujan.
***
Tapi, aku tak pernah mencintai hujan lagi, hatiku bersikeras. Meskipun saat hujan jatuh, aku diam-diam menyimpan senyum dan diam-diam bersenandung di antara rintiknya.
***
Sehabis magrib, aku menemukan daun jatuh di jalan kota kami. Dan, aku memulai kebiasaan baru. Menunggu daun jatuh sehabis magrib. Dan, sore itu, laki-laki itu—Biru, namanya—duduk di bawah pohon itu. Lelaki baik-baik. Dari matanya, aku merasa ia juga mencintai daun jatuh. “Ya, aku mencintai daun jatuh,” katanya suatu hari. “Tapi, aku tidak pernah suka pada hujan,” katanya.
“Aku juga,” kataku. Aku (tidak) mencintai hujan. Biru mencintai daun jatuh. Aku juga. Namun, terkadang, dari jendela kamarku, aku masih mengintip hujan jatuh.
***
Bulan hampir Juni. Hujan sering jatuh. Daun-daun hanya jatuh satu per satu. Aku mengajak Biru mencintai hujan. “Aku tak suka hujan. Aku lebih suka duduk minum cokelat hangat dalam rumah,” kata Biru.
“Bukankah hujan itu indah, Biru. Hujan itu membawa banyak cerita dalam rintiknya,” kataku. “Coba kau dengarkan.”
Biru menggeleng. “Aku tak mendengar apa-apa,” katanya.
Kidung telah banyak menceritakan kisah yang dibawa hujan padaku. Hampir Juni. Belakangan ini, aku berlama-lama duduk di bawah hujan yang jatuh. Aku menjadi begitu rindu pada hujan.
***
Lambat-Lambat
Lambat-lambat waktu berjalan.
Cepatlah, kataku.
Aku hanya mengikuti garis takdir, katanya.
Aku resah. Kalau ia lambat seperti itu, aku tidak akan bisa mengejar kereta magrib kali ini. Cepatlah, aku harus bergegas—jika tak dapat kusebut bahwa aku begitu bosan duduk dan duduk menunggu. Ada takdir yang menunggu di depan sana.
Lambat-lambat waktu berjalan.
Aku juga mengikuti garis takdirku, katanya.
Ah, cepatlah. Suaraku hilang bersama angin lalu, yang juga berjalan mengikuti garis takdirnya.
erlangga, 18 september 2006—“dan kebosanan ini tak juga menjauh”
Cepatlah, kataku.
Aku hanya mengikuti garis takdir, katanya.
Aku resah. Kalau ia lambat seperti itu, aku tidak akan bisa mengejar kereta magrib kali ini. Cepatlah, aku harus bergegas—jika tak dapat kusebut bahwa aku begitu bosan duduk dan duduk menunggu. Ada takdir yang menunggu di depan sana.
Lambat-lambat waktu berjalan.
Aku juga mengikuti garis takdirku, katanya.
Ah, cepatlah. Suaraku hilang bersama angin lalu, yang juga berjalan mengikuti garis takdirnya.
erlangga, 18 september 2006—“dan kebosanan ini tak juga menjauh”
Tuesday, October 03, 2006
Suatu Hari yang Sedang Tak Jelas Musimnya
hanya sepenggal lirik lagu itu yang selalu kau ulang,
"Stop complaining!" said the farmer.*
masih saja?
* "Donna Donna Donna", Joan Baez
"Stop complaining!" said the farmer.*
masih saja?
* "Donna Donna Donna", Joan Baez
Subscribe to:
Posts (Atom)