Penjual Kenangan

Friday, February 17, 2017

Bang Kumis


gambar dari sini


"Bang, ini 'Bakso si Kembar' sama ya sama ini?" tanya saya malam ini kepada abang bakso dekat rumah kakak saya di Jakbar, saat memesannya untuk dibawa pulang ke Jaksel. Saya merujuk ke plang nama sederhana yang dipasang di gang sebelah gerobak dan tadi melihat si abang keluar dari gang itu.

"Iya, sama, Wied. Kalau makan di sini, bisa di belakang," sahut si abang yang memang sudah kenal saya. Dulu, dia biasanya mangkal beberapa saat di depan rumah kakak saya sebelum berkeliling dengan gerobaknya. Rasa baksonya enak, salah satu favorit orang sekitar, ditambah si abang ramah sama pembeli.

"Oh, kirain beda. Kirain dinamainnya 'Bakso si Kumis', Bang?" Si abang yang sekarang sudah mangkal di satu tempat ini memang dikenal dengan sebutan Bang Kumis atau si Kumis, merujuk ke kumis khasnya yang masih sama hingga sekarang.

"Iya, kan anak saya kembar." Jika kau juga berada di sana, kau akan tahu bahwa ada kebanggaan dalam suara Bang Kumis.

"Ho, kembar, Bang. Alhamdulillah. Udah kelas berapa?" tanya saya.

"Kelas 3," jawabnya sambil membuka tutup panci besar di sebelah kirinya; seketika uap dan aroma kaldu langsung menguar.

"SD, Bang?" tanya saya pede.

"Bukan, SMA," katanya yang membuat saya ber-oh kaget sambil menertawakan diri sendiri karena tebakan saya tertinggal jauh banget. "Saya udah punya cucu juga, lho, Wied." Dia melanjutkan sambil sekilas menengok ke arah saya di antara kesibukannya menuangkan bakso ke plastik untuk dibungkus. Wajahnya gembira.

"Hoo, iya, ya, Bang. Alhamdulillah...." Saya mengangguk-angguk, ikut bahagia.

Setelah obrolan ringan tentang rumahnya di semarang hanya satu jam dari tempat kuliah salah satu keponakan saya, saya tinggal di mana sekarang, dan beberapa hal lainnya, saya berterima kasih dan meninggalkan Bang Kumis sambil menenteng plastik berisi bakso telur seharga 12 ribu rupiah.

Lalu, saya mengingat-ingat lagi bahwa saya memang sudah mengenal Bang Kumis ini sejak keponakan saya masih bayi, yang kini juga sudah SMA. Memang sudah selama itu, ternyata. Ah, sering kali, waktu terasa baru sebentar saja.

Gerimis merintik lagi saat saya menyalakan motor. Sebelum memacu motor, sekali lagi saya menengok ke gerobak Bang Kumis yang memilih mengabadikan perihal anaknya yang kembar--ketimbang sebutannya yang sudah dikenal banyak orang--untuk nama usaha yang ia jalankan selama bertahun-tahun. Orangtua itu tampak berbinar ketika berbicara tentang anaknya.

Ah, orangtua, bukankah memang selalu tentang anaknya yang ada di benaknya dan selalu bersemangat akan hal itu?

Dan, waktu, seakan tak mampu menggilas ingatan dan semangat itu.

Saya teringat ibu saya, yang ternyata selalu khawatir akan hal-hal yang saya pikir sepele, seperti pulang malam dari kantor ataupun naik motor malam-malam.

Ah, ia pasti akan khawatir kalau tahu saya mengendarai motor selama satu jam di antara rintik kecil hujan malam ini. Namun, mungkin ia akan memaafkan karena saya berkendara jauh malam ini akibat terjebak hujan setelah tadi siang menunaikan hak dan kewajiban--memilih seorang pemimpin yang saya yakini amanah untuk kota yang selalu menjadi tempat saya kembali, yang ternyata saya cintai dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Ibu saya pasti mau mengerti, apalagi tadi saya disuguhi banyak tawa oleh bocah-bocah yang saya sayang. Juga bertemu wujud orangtua yang masih dengan semangat yang sama seperti yang saya tahu, berjuang untuk keluarganya.

Semoga Allah membalas jasa dan pengorbanan orangtua kita, juga memberikan yang terbaik untuk kota yang kita cinta. Insya Allah. Amin.

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin