Penjual Kenangan

Friday, May 29, 2015

Menulis Berantai #TimMoveON #LoveCycle: Lifted Up #6 [Bagian Akhir]



c e r i t a   s e b e l u m n y a:

Abduraafi Andrian (@raafi) di blog Raafirmation (LIFTED UP Part 1)
Bimo Rafandha (@bimorafandha) di blog Embertumpah (LIFTED UP Part 2)
Andhika Citra Handayani (@andhkctra) di blog chaznologic (LIFTED UP Part 3)
Mandewi (@mandewi) di blog Mandewi (LIFTED UP Part 4)



sumber gambar



***


ORANG PATAH HATI dilarang keluyuran sendirian. Hatinya bisa komplikasi kena udara malam,” sambut Luna. Ia sudah duduk di teras rumah indekosku.

Telepon darinya mengembalikan langkahku yang tadi hilang arah setelah bertemu Tiffany dan Gilang. Aku duduk di sampingnya, tetapi tidak menyahuti kelakar yang ia lontarkan. Benakku masih dipenuhi suara-suara.


Apakah cinta adalah tentang waktu bersama ataukah tentang kerelaan berkorban untuk hari depan? Mengapa ketika diam-diam aku meninggikan tembok rumah impian Tiffany, pelan-pelan aku juga justru merobohkan cinta kami?

“Fi, kamu nggak cocok dengan muka murung begitu,” ujar Luna. “Yang berlalu, biarkan berlalu. Kesedihan tak akan pernah kedaluwarsa. Kita tertawakan saja.”

Aku tak menemukan kata yang tepat untuk menjawabnya.


Memangnya, kamu mau melewatinya dengan apa? Menangisinya?

“Bagaimana kalau dengan nggak membicarakannya?” sahutku.

Kami terdiam beberapa jeda. “Kalau begitu, sampai bertemu lagi. Titip berkas ini buat di kantor.” Luna menepuk bundelan di sampingnya.

“Eh, kamu mau ke mana?”

“Cuti, liburan ke Dufan. Hehe.” Luna sudah berdiri. “Aku mau ke makam ibuku, di Malang,” ungkapnya. “Aku balik, ya. Nggak enak mencuri panggung kesedihanmu.” Ia masih sempat meledekku.

"Luna," kejarku, meraih tangannya.

“Terima kasih sudah menolakku.” Kata-kata itu terlontar begitu saja. “Saat sudah jatuh cinta kepadaku, kamu mau mengakuinya?” Entah bagaimana, bersama wanita ini, aku jadi mudah berterus terang.

Luna malah tertawa. “Fi, cinta bukan untuk diberitakan. Tapi, bukan juga untuk dirahasiakan,” ucapnya. Ia menatapku dengan tatapan yang kelak baru kumengerti.

“Saat sudah bisa melepasnya, kamu mau mengakuinya kepadaku?”

Pertanyaan itu membuatku kelu.

“Tidur, Fi. Besok pagi kamu kerja. Aku juga harus mengejar kereta pukul 10 pagi,” imbuh Luna. “Tapi, kalau Raafi-si-gila-kerja-ini mau bolos dan ikut aku, kabari saja. Hidup ini singkat, jangan habiskan dengan muka masam begitu. Sudah berapa lama kamu nggak liburan?"

Luna kemudian menjauh. Tak menunggu jawabanku.



***




AKU rebah di tempat tidur, dengan seprai biru pilihan Tiffany. Bayang wanita yang kusayang itu melintas. Ia tadi tampak begitu sedih. Apakah aku telah menyerap kebahagiaannya?

Aku meraih ponsel. Nama Tiffany masih di sana, dengan foto favoritku. Senyum bahagianya abadi dalam foto itu, di bawah cahaya sore saat aku wisuda. Hatiku berdebar. Rasa sayang ini begitu luas untuknya hingga tak menyisakan untuk yang lain. Bahkan, mungkin untuk diriku sendiri.

Fan, aku memikirkanmu. Draf pesan itu tersimpan di ponselku, sejak hari pernikahan Tiffany dan Gilang.

Hidup ini singkat, ucapan Luna mengiang.

Aku menghela napas. Hari ini, lima menit berdiam diri bersama Tiffany dan Gilang terasa begitu panjang. Lalu, saat bersama Luna tadi, waktu tiba-tiba berlalu begitu cepat.

Fan, aku memikirkanmu,

tetapi aku harus melepasmu....

Agar kau bahagia.

Aku pun bahagia.


Aku menghapus pesan itu. Lalu, mengetik pesan baru.

Tidak panjang, tidak pendek.


Sent.

Pesan itu terkirim.

Kepada Luna.

Semoga ia tersenyum ketika membacanya.

Sesekali, aku harus berani keras terhadap diriku sendiri—dan kini adalah saatnya. Kesedihan tak akan pernah kedaluwarsa jika kita tidak menentukan batas waktunya.

Agar hidup singkat ini tak habis sia-sia.

Aku menutup mata. Melapangkan dada; memberi tempat untuk maaf dari Tiffany, juga maaf dari diriku sendiri. Berharap esok terjaga dengan rasa berbeda.

Fan, I think of you. But I have to let you go.
Karena akhir bahagia adalah milik orang-orang yang berani melangkah ke muka dan memperjuangkannya.


—FIN—








_________________________________________________

PS.

Psst, ini adalah bagian terakhir dari menulis berantai “Lifted Up” #TimMoveOn.
Kamu—sebagai pembaca—bisa ikut serta di tulisan ini. Caranya?

1.      Tuliskan isi pesan Raafi kepada Luna. Pesan apa, sih, yang dikirimkan Raafi?
2.      Twitpic pesan Raafi untuk Luna versimu itu, mention @widya_oktavia @GagasMedia
3.      Gunakan tagar #TimMoveOn #LiftedUp #LoveCycle

Jadilah bagian dari kisah Raafi dan Luna. Juga #TimMoveOn, pastinya.

Satu orang beruntung akan mendapatkan sebuah buku Penjual Kenangan bertanda tangan dari saya.

Good luck! ;)

Salam,

@widya_oktavia
#TimMoveOn


 ________________________________________________



No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin