Penjual Kenangan

Sunday, October 27, 2013

Menikah

gambar pinjam di sini!



Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk memutuskan dengan pasti bahwa kau akan menikah dengan seseorang? Tampaknya, ini bukan perkara yang sama dalam memilih kau mau es teh manis atau es lemon tea. Ini tentang orang yang akan mengikat janji atas nama Tuhan dan berjanji menjagamu sampai mati (plus dalam kenangan sampai akhir hayatnya pula).

Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita bahwa meski “tidak suka-suka banget”, ia akhirnya memutuskan menikah karena sang laki-laki pendiam yang kini jadi suaminya itu ngotot. Namun, ia baik dan bertanggung jawab. Cinta, biarlah nanti disemai dan disuburkan seiring detak-detak waktu yang berjatuhan. Begitu katanya, yang malah saya tambahkan pula, “Iya, sih, susah pula laki-laki baik sekarang.” (Soalnya, baru tahu ceritanya setelah dia nikah :p). Namun, hal itu tidak terlalu mengganggu benak saya karena mereka pun memang berpacaran.

Lalu, hari ini, seorang teman membawakan kue dan tiba-tiba saja mengabarkan bahwa ia telah menikah beberapa hari yang lalu di tempat kelahirannya. Kabar yang sempat bikin mata terbelalak dan mulut menganga karena ia mengatakan itu seperti sekadar bilang, “Saya tadi sudah minum teh manis.” Seakan bukan tentang “berjanji sehidup-semati dengan seseorang yang akan kau temui ada di sisimu ketika kau terbangun pada pagi hari”. 

Ia bilang, alasannya ibunya “seneng” kepada laki-laki itu. Alasan yang saya pikir sungguh sederhana. Orangnya memang telah dikenal keluarganya, tetapi ia bahkan hanya beberapa kali bertemu dengan laki-laki itu dan tidak terlalu “kenal”. Dalam hitungan tiga minggu dari pertemuan kembali (setelah bertahun-tahun), akhirnya mereka menikah. Kemarinnya masih ragu, esoknya perempuan itu sudah mengiyakan kepada sang Ibu. Laki-laki itu pun memutuskan hanya dalam tiga hari. Waktu yang begitu singkat.

Saya pikir, hal itu hanya terjadi dalam cerita-cerita lampau ataupun cerita fiksi, tetapi hari ini saya menemukan tokoh nyatanya. Binar mata perempuan itu begitu tulus. Saya belum terlalu lama kenal teman saya ini, tetapi dari sikap dan gaya tuturnya, saya percaya ia tidak mereka-reka ketika bilang belum “ada rasa” saat memutuskan mau menikah dengan laki-laki itu. Satu alasan kuat yang membuat ia yakin adalah ibunya “seneng” dengan laki-laki itu. Ia begitu memercayakan pilihan kepada ibunya.

Ia menerima pinangan laki-laki itu meski tanpa rasa yang kita sebut cinta. Hanya berbekal ikhlas atas pilihan perempuan yang ia sebut Ibu, yang dari rahimnya pernah ia “sesap” hidup.

Ah, benar-benar masih ada tokoh itu. Jika dia berada dalam novel romance yang saya edit, saya akan meminta penulisnya menambahkan alasan lain bagi sang perempuan, apa punlah—diam-diam ia menyimpan cinta pula kepada sang laki-laki sejak lama, mungkin. Atau ada “momen manis” dengan laki-laki itu. Atau apalah yang lebih logis dan lebih dalam lagi buat tambahan alasan “ibunya seneng dengan laki-laki itu”. Toh, ia termasuk perempuan modern, menempuh pendidikan di kota metropolitan. Orang bilang, cinta saja tidak cukup, apalagi jika tanpa cinta, ya, kan?

Namun, hidup terkadang memang tak perlu alasan logis. Atau, mungkin saya—kita—yang terkadang hanya menelusuri arti “logis” dalam kehidupan itu hanya sekulit ari. Ikhlas yang ia persembahkan untuk sang Ibu—yang ia simpan di senyum dan matanya—tampaknya telah menghancurkan berbagai teori kelogisan yang ingin saya pertanyakan.

Malam ini, terkirim doa untuknya, semoga melimpah bahagia dalam keluarganya sepanjang perjalanan. :')

Begitulah cerita hari ini. Nah, kau, berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk memastikan hatimu dan mengatakan “iya” untuk seseorang yang akan jadi teman perjalananmu sepanjang masa nanti?

3 comments:

KiRaidesu said...

Gw pernah nanya pertanyaan itu ke temen masa kecil gw. Dan dia bilang, "Karena kedua orangtua udah setuju." Dalam hati gw bertanya, "Orangtua setuju, terus loe gimana?" (karena gw sedikit tahu ttg perjalanan kisah cinta dia sama calon suaminya waktu itu). Dan sekarang gw lihat dia tampak bahagia sama suami dan anaknya. Semoga gak cuma tampak luarnya aja. Dan gw juga masih terus nyari jawaban yang memuaskan gw untuk pertanyaan itu. Jangan-jangan..gak ada jawabannya ya? :D

De said...

Baru beberapa jam lalu saya baru mempertanyakan itu kepada diri saya, mbak. Saya berharap bisa menemukan waktu lebih cepat agar keluarga tidak lagi khawatir. Tapi entahlah, ini soal jawaban "iya" atau ketakutan yang tak berasalasan.
Membaca ceritamu, membuatku berharap bisa menjadi salah satu tokoh itu. Tapi bukankah kita mempunyai alur masing2?

Hengki said...

abis baca bukunya... wah keren!! nice book :D

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin