gambar dipinjam di sini! |
Aku memejamkan mata, menahan sakit seolah-olah seribu jarum menusuk-nusuk gusiku. Namun, hal itu
tidak mengurangi rasa sakitnya. Gusi bagian atas, sebelah kanan, tempat
gerahamku tumbuh terasa semakin berdenyut-denyut. Aku membayangkan seribu jarum
itu ditusukkan melalui celah-celah gerahamku yang berlubang.
Aku benci sakit gigi! teriakku dalam hati.
Di luar, hujan masih mengguyur
tanah dengan deras sehingga aku tidak dapat
pergi ke mana-mana dan hanya dapat meringkuk di tempat tidurku. Obat sakit
gigi yang sejak tadi sudah aku telan belum juga terasa khasiatnya. Aku
membenamkan kepalaku di bantal sambil merapatkan geraham kanan bagian atas dan
bawah dengan keras. Dengan demikian, rasa sakit tersebut agak berkurang. Aku
tetap memejamkan mata dan berdoa semoga rasa sakit ini segera hilang.
Entah beberapa lama
kemudian, udara dingin menerpa tubuhku dan aku segera membuka mataku. Aku
sangat kaget mendapati diriku sedang duduk di dalam ruangan yang bukan kamar
kosku. Kamarku yang sempit telah berubah menjadi ruangan luas bercat putih
dengan lampu terang-berderang. Bau alkohol yang menyengat menyusup ke hidungku.
Bau khas rumah sakit, otakku langsung
mengenalinya.
Di hadapanku, sederetan
kursi plastik berwarna biru yang melekat satu sama lain terletak merapat ke
dinding dan memanjang ke kanan. Kursi itu serupa dengan kursi yang aku duduki.
Saat aku sadari, ternyata aku duduk di bagian ujung kursi yang juga meman-jang
ke kanan ke arah pintu masuk. Tulisan “Loket Pendaftaran Pasien” tergantung di ujung ruangan dekat pintu masuk, sejajar denganku. Di
sebelah kiri kursi di hadapanku, terdapat sebuah pintu dengan tulisan “Ruang Periksa”.
Ruangan itu mirip dengan
ruang tunggu di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) UI, tetapi lebih luas dan
lebih terang. Lalu, aku ingat bahwa aku sakit gigi. Namun, sekarang sakit itu
tidak terasa lagi. Jadi, kenapa aku di
sini?
Tiba-tiba hawa menjadi
lebih dingin dan tiba-tiba pula aku merinding.
Aku hanya sendirian di sini, pikirku.
Ketika aku hendak berdiri
untuk segera pergi dari ruangan ini, tiga orang masuk beriringan. Tanpa
berkompromi lebih dulu, jantungku mempercepat detaknya dan tak bisa kukendalikan.
Saat mencoba beranjak, tubuhku seperti dipakukan ke kursi. Aku tidak bisa
bergerak.
Orang-orang itu masuk,
kemudian berhenti dan antre di depan loket pendaftaran. Namun, aku tidak tahu apakah mereka yang
sedang antre itu layak
disebut orang atau tidak. Laki-laki muda dengan rambut gondrong yang berdiri di
bagian depan mulai menulis di loket itu. Tiba-tiba, dia menengok ke arahku dan memperlihatkan kedua matanya
yang pecah. Darah kering mengumpal-gumpal di sekitar matanya. Bajunya penuh
darah. Aku merasakan perutku mual.
Namun, aku tidak tahu kenapa
aku masih juga duduk dan melihat lagi orang yang di belakangnya, yaitu laki-laki
tua yang seluruh kulit keriputnya berjuntai-juntai. Laki-laki itu menyeringai
terlalu lebar kepadaku sehingga kedua ujung bibirnya robek. Akan tetapi, tidak
ada darah yang keluar. Aku benar-benar ketakutan. Aku tidak pernah mengalami
hal seperti ini sebelumnya.
Aku memaki mataku yang
kemudian mengalihkan pandangan ke orang berikutnya. Ia adalah seorang perempuan
muda yang sedang hamil. Lingkaran hitam mengeli-lingi matanya yang cekung, seperti
mata orang yang sudah lama mati. Namun, hal yang lebih mengerikan adalah darah
yang mengalir dari balik dasternya. Darah itu menuruni kedua kakinya perlahan
dan menggenang di tempatnya berdiri dan kemudian genangan itu semakin lama
semakin melebar.
Tuhan, tolong aku! Kenapa aku tiba-tiba lupa semua bacaan ayat suci? Aku
memejamkan mata dan berteriak dalam hati.
Saat kubuka kembali
mataku, ketiga orang itu sudah duduk berdampingan di kursi di hadapanku. Namun,
mereka tidak memedulikanku. Mereka menatap lurus ke depan. Darah perempuan
hamil itu masih mengalir dan membentuk garis panjang dari arah loket sampai
tempat ia duduk saat ini. Keringat dingin sudah sejak tadi membasahi bajuku.
Tak lama kemudian, seorang
laki-laki berbaju putih dan berkaca mata yang tam-pak seperti dokter keluar
dari pintu ruang periksa di depanku. Ketiga orang itu langsung berdiri dan
masuk ke dalam. Sebelumnya masuk ke dalam ruangan yang ternyata sangat gelap
itu, mereka sempat menatapku dengan senyum yang semakin membuatku ketakutan.
Aku sedikit lega karena
mereka telah masuk. Namun, tiba-tiba saja dokter yang tadi berjalan ke arahku.
Ia menarikku dengan kasar. Aku berteriak-teriak berharap ada orang menolongku. Saat
ia menyeretku ke dalam ruang tempat tiga orang menakutkan tadi masuk, tangan
kiriku bertahan di senderan kursi dekat pintu. Namun, tenaga dokter itu lebih
kuat dan peganganku lepas. Aku masuk ke dalam ruangan yang gelap itu. Ruangan itu
berguncang-guncang. Aku semakin berteriak sekuat tenagaku. Keringat semakin
membasahi bajuku.
***
“Wid, Wid, bangun!”
Aku merasakan guncangan semakin
keras.
“Wid, bangun, dong!”
Aku membuka mataku dan ternyata ruangan masih
gelap.
“Lo ada lilin nggak? Mati lampu nih!” Suara Gita terdengar dalam gelap.
Aku menarik napas lega dalam gelap. Ternyata, Gita
yang mengguncang-guncang badanku.
“Woi! Lo dah bangun belum, sih? Ada lilin nggak?”
“Tadi gue mimpi serem banget, Git. Sumpah! Serem
banget!” Aku tak berani membayangkan wajah-wajah menakutkan yang ada dalam
mimpiku tadi.
“Lagian, sih lo, magrib-magrib tidur. Gimana nggak mimpi serem. Udah gitu, lo tidur lama banget
tau nggak.”
“Iya, tadi kan gue sakit gigi.” Aku
memegang-megang pipiku kananku untuk memastikan denyut di gusiku. Ternyata, gusiku
itu tidak terasa sakit lagi. Akhirnya, obat sakit gigi yang tadi kutelan bereaksi.
“Wid, Lo punya lilin nggak, sih?” Gita sudah bosan karena pertanyaannya tidak
kugubris.
“Eh, mati lampu, ya? Pantesan gelap banget. Aduh! Kipasnya mati
juga lagi, gue gerah banget nih.”
“Ya elah! Kan
udah gue bilang dari tadi.”
“Tolong cariin lilinnya, Git, di laci nomor dua. Gue
masih syok, nih!” ujarku sambil mengibas-ngibaskan bajuku yang dibasahi
keringat.
___________________
Widyawati Oktavia
Tugas IV Penulisan Populer I (yang diajar oleh seorang dosen kondang, Almarhum Ismail Marahimin)
Kelompok Rabu, Pkl. 10.30 WIB, 2004
No comments:
Post a Comment