Penjual Kenangan

Tuesday, October 01, 2013

TIGA ORANG DI RUANG TUNGGU


gambar dipinjam di sini!


            Aku memejamkan mata, menahan sakit seolah-olah seribu jarum menusuk-nusuk gusiku. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa sakitnya. Gusi bagian atas, sebelah kanan, tempat gerahamku tumbuh terasa semakin berdenyut-denyut. Aku membayangkan seribu jarum itu ditusukkan melalui celah-celah gerahamku yang berlubang.
            Aku benci sakit gigi! teriakku dalam hati.
            Di luar, hujan masih mengguyur tanah dengan deras sehingga aku tidak dapat
pergi ke mana-mana dan hanya dapat meringkuk di tempat tidurku. Obat sakit gigi yang sejak tadi sudah aku telan belum juga terasa khasiatnya. Aku membenamkan kepalaku di bantal sambil merapatkan geraham kanan bagian atas dan bawah dengan keras. Dengan demikian, rasa sakit tersebut agak berkurang. Aku tetap memejamkan mata dan berdoa semoga rasa sakit ini segera hilang.
            Entah beberapa lama kemudian, udara dingin menerpa tubuhku dan aku segera membuka mataku. Aku sangat kaget mendapati diriku sedang duduk di dalam ruangan yang bukan kamar kosku. Kamarku yang sempit telah berubah menjadi ruangan luas bercat putih dengan lampu terang-berderang. Bau alkohol yang menyengat menyusup ke hidungku. Bau khas rumah sakit, otakku langsung mengenalinya.
            Di hadapanku, sederetan kursi plastik berwarna biru yang melekat satu sama lain terletak merapat ke dinding dan memanjang ke kanan. Kursi itu serupa dengan kursi yang aku duduki. Saat aku sadari, ternyata aku duduk di bagian ujung kursi yang juga meman-jang ke kanan ke arah pintu masuk. Tulisan Loket Pendaftaran Pasientergantung di ujung ruangan dekat pintu masuk, sejajar denganku. Di sebelah kiri kursi di hadapanku, terdapat sebuah pintu dengan tulisan Ruang Periksa.
            Ruangan itu mirip dengan ruang tunggu di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) UI, tetapi lebih luas dan lebih terang. Lalu, aku ingat bahwa aku sakit gigi. Namun, sekarang sakit itu tidak terasa lagi. Jadi, kenapa aku di sini?
            Tiba-tiba hawa menjadi lebih dingin dan tiba-tiba pula aku merinding.
            Aku hanya sendirian di sini, pikirku.
            Ketika aku hendak berdiri untuk segera pergi dari ruangan ini, tiga orang masuk beriringan. Tanpa berkompromi lebih dulu, jantungku mempercepat detaknya dan tak bisa kukendalikan. Saat mencoba beranjak, tubuhku seperti dipakukan ke kursi. Aku tidak bisa bergerak.
            Orang-orang itu masuk, kemudian berhenti dan antre di depan loket pendaftaran. Namun, aku tidak tahu apakah mereka yang sedang antre itu layak disebut orang atau tidak. Laki-laki muda dengan rambut gondrong yang berdiri di bagian depan mulai menulis di loket itu. Tiba-tiba, dia menengok ke arahku dan memperlihatkan kedua matanya yang pecah. Darah kering mengumpal-gumpal di sekitar matanya. Bajunya penuh darah. Aku merasakan perutku mual.
            Namun, aku tidak tahu kenapa aku masih juga duduk dan melihat lagi orang yang di belakangnya, yaitu laki-laki tua yang seluruh kulit keriputnya berjuntai-juntai. Laki-laki itu menyeringai terlalu lebar kepadaku sehingga kedua ujung bibirnya robek. Akan tetapi, tidak ada darah yang keluar. Aku benar-benar ketakutan. Aku tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
            Aku memaki mataku yang kemudian mengalihkan pandangan ke orang berikutnya. Ia adalah seorang perempuan muda yang sedang hamil. Lingkaran hitam mengeli-lingi matanya yang cekung, seperti mata orang yang sudah lama mati. Namun, hal yang lebih mengerikan adalah darah yang mengalir dari balik dasternya. Darah itu menuruni kedua kakinya perlahan dan menggenang di tempatnya berdiri dan kemudian genangan itu semakin lama semakin melebar.
            Tuhan, tolong aku! Kenapa aku tiba-tiba lupa semua bacaan ayat suci? Aku memejamkan mata dan berteriak dalam hati.
            Saat kubuka kembali mataku, ketiga orang itu sudah duduk berdampingan di kursi di hadapanku. Namun, mereka tidak memedulikanku. Mereka menatap lurus ke depan. Darah perempuan hamil itu masih mengalir dan membentuk garis panjang dari arah loket sampai tempat ia duduk saat ini. Keringat dingin sudah sejak tadi membasahi bajuku.
            Tak lama kemudian, seorang laki-laki berbaju putih dan berkaca mata yang tam-pak seperti dokter keluar dari pintu ruang periksa di depanku. Ketiga orang itu langsung berdiri dan masuk ke dalam. Sebelumnya masuk ke dalam ruangan yang ternyata sangat gelap itu, mereka sempat menatapku dengan senyum yang semakin membuatku ketakutan.
            Aku sedikit lega karena mereka telah masuk. Namun, tiba-tiba saja dokter yang tadi berjalan ke arahku. Ia menarikku dengan kasar. Aku berteriak-teriak berharap ada orang menolongku. Saat ia menyeretku ke dalam ruang tempat tiga orang menakutkan tadi masuk, tangan kiriku bertahan di senderan kursi dekat pintu. Namun, tenaga dokter itu lebih kuat dan peganganku lepas. Aku masuk ke dalam ruangan yang gelap itu. Ruangan itu berguncang-guncang. Aku semakin berteriak sekuat tenagaku. Keringat semakin membasahi bajuku.
***
            “Wid, Wid, bangun!”
            Aku merasakan guncangan semakin keras.
            “Wid, bangun, dong!”
Aku membuka mataku dan ternyata ruangan masih gelap.
“Lo ada lilin nggak? Mati lampu nih!” Suara Gita terdengar dalam gelap.
Aku menarik napas lega dalam gelap. Ternyata, Gita yang mengguncang-guncang badanku.
“Woi! Lo dah bangun belum, sih? Ada lilin nggak?”
“Tadi gue mimpi serem banget, Git. Sumpah! Serem banget!” Aku tak berani membayangkan wajah-wajah menakutkan yang ada dalam mimpiku tadi.
“Lagian, sih lo, magrib-magrib tidur. Gimana nggak mimpi serem. Udah gitu, lo tidur lama banget tau nggak.”
“Iya, tadi kan gue sakit gigi.” Aku memegang-megang pipiku kananku untuk memastikan denyut di gusiku. Ternyata, gusiku itu tidak terasa sakit lagi. Akhirnya, obat sakit gigi yang tadi kutelan bereaksi.
“Wid, Lo punya lilin nggak, sih?” Gita sudah bosan karena pertanyaannya tidak kugubris.
“Eh, mati lampu, ya? Pantesan gelap banget. Aduh! Kipasnya mati juga lagi, gue gerah banget nih.”
 “Ya elah! Kan udah gue bilang dari tadi.”
“Tolong cariin lilinnya, Git, di laci nomor dua. Gue masih syok, nih!” ujarku sambil mengibas-ngibaskan bajuku yang dibasahi keringat.


___________________

Widyawati Oktavia
Tugas IV Penulisan Populer I (yang diajar oleh seorang dosen kondang, Almarhum Ismail Marahimin)
Kelompok Rabu, Pkl. 10.30 WIB, 2004

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin