i owe the pic! |
Embusan angin sore pantai
itu menembus baju dan kain usang yang dikenakannya. Dinginnya terasa sampai ke
tulang-tulang tuanya yang ringkih. Namun, ia tetap berdiri memandang hamparan
laut di pelabuhan yang terletak di selatan kota Padang itu dengan bertopang
pada tongkat kayu yang setia menemani langkahnya.
Setiap sore, di akhir pekan,
perempuan tua itu selalu menanti kedatangan kapal yang membawa anaknya kembali
dari rantau. Suasana pelabuhan cukup ramai. Akhir pekan merupakan hari pasar di
pelabuhan ini. Beberapa kapal yang membawa beraneka barang dagangan akan
merapat. Akan tetapi, ia tidak hanyut dengan suasana pelabuhan. Ia hanyut
dengan suasana hatinya. Tujuh tahun lalu, di pelabuhan ini juga ia melepas anak satu-satunya itu.
“Mande [2],
setiap bulan akan awak [3]
kirimkan Mande kabar. Usahlah Mande bersusah hati seperti ini.”
“Malin, hati Mande tak Mande pikirkan. Engkau yang Mande pikirkan, Malin. Di
kampung saja kita tidak ada sanak saudara, apalagi di nagari seberang nan jauh itu, Malin. Mande tak tega mendengar engkau terlunta-lunta di rantau, Malin.”
Saat itu, air mata
menghujani pipinya yang keriput dimakan usia.
“Mande, awak sudah besar, lah bisa menjaga diri. Lagi pula, awak bersama Kasim. Tak usah Mande khawatir. Di kampung kita ini,
hanya makan saja yang kita dapat, Mande.
Biarlah awak mengadu nasib di
rantau.”
Malin, kalau sudah dapat makan, sudah cukup bagi Mande. Berjualan
tapai, seperti yang Mande kerjakan sekarang, memang tidak cukup untuk bisa
hidup seperti dulu Malin. Tapi, Mande bahagia kalau hidup bersama engkau, Nak. Andai saja, badan Mande ini
masih kuat Malin, akan Mande kerjakan sawah-sawah orang.
Tapi, itu hanya bisik-bisik di hati perempuan tua itu. Ia tidak bisa menentang
tekad bulat anaknya yang katanya, bosan hidup susah. Anaknya itu ingin juga
merantau, mencoba ikut orang berdagang. Bukankah dulu ayahnya seorang pedagang
yang cukup kaya.
Gambaran itu masih melekat
erat di benak perempuan tua yang saat ini masih berdiri di tepi pantai itu.
Kembali, air hangat bergulir dari matanya. Namun, hangat air itu tidak mampu
mengusir dingin angin pantai, malah membekukan hatinya. Ia biarkan air itu
mengalir di pipinya. Mungkin, air mata yang berjatuhan ke pasir itu bisa
bersatu dengan air laut dan kemudian dapat memanggil anaknya yang tak pernah
kembali. Ia tetap berdiri dan tidak
ingin duduk sekejap pun. Kali ini, ia tidak ingin kapal yang ditumpangi anaknya
terlewatkan.
Dulu, ia juga pernah
menanti seperti ini. Menanti suaminya yang pulang berdagang. Namun, tidak
seperti yang dialaminya sekarang, dulu penantiannya selalu berujung. Masa-masa
indah yang selalu dikenangnya.
Suaminya adalah seorang
pedagang yang cukup kaya. Mereka hidup lebih dari berkecukupan. Mereka memiliki
rumah yang tergolong bagus di kampung. Kebahagiaan itu bertambah saat kelahiran
anak laki-laki mereka yang kemudian dinamakan Malin Kundang. Sampai usia Malin
enam tahun, kebahagiaan itu masih mereka miliki. Akan tetapi, suatu hari saat
Malin mulai menginjak setengah usianya pada tahun ketujuh, cobaan menimpa
mereka. Ayah Malin ditipu habis-habisan oleh relasi dagang yang paling
dipercaya. Akibatnya, rumah, sawah, habis untuk membayar utang dagang.
Ayah Malin mengalami
goncangan jiwa yang cukup berat dan kemudian berubah menjadi penyakit. Ibu
Malin yang biasa hidup senang mulai mencoba berjualan makanan pada hari pasar. Malin mulai mengerti arti
penderitaan. Jika ayahnya cukup sehat, Malin kecil ikut membantu ibunya
berjualan di pasar. Jika tidak, Malin kecil menjaga ayahnya itu.
Biaya makan mereka bertiga hampir tak tercukupi.
Apalagi ditambah biaya pengobatan ayah Malin
yang sangat besar. Sisa-sisa perhiasan ibu Malin habis tandas.
Orang-orang yang mengaku
sanak saudara sedikit demi sedikit menjauh. Anak-anak pun segan bergaul dengan
Malin, kecuali Kasim. Cobaan terberat akhir datang saat Malin tepat berusia
tujuh tahun. Ayahnya meningal dunia dan hanya meninggalkan rumah gubuk. Malin
Kundang semakin mengerti akan arti penderitaan. Anak itu tumbuh menjadi
laki-laki pekerja keras, tetapi tertutup. Ia bertekad untuk mencampakkan
penderitaan jauh-jauh, jika nanti sudah besar.
Sekarang anaknya itu pasti
bertambah besar. Seperti apakah dia kini?
Pastilah gagah seperti ayahnya dulu. Hati ibu Malin berkecamuk.
“Malin, cepat pulang, Nak.
Mande rindu engkau, Nak...,” lirih bisik itu terdengar dari mulut perempuan
yang telah melewati beribu-ribu malam sendirian di rumahnya yang semakin reyot.
Setelah engkau
pergi, hanya dua kali kabar yang Mande dengar dari engkau,
Nak. Setelah itu, Mande tak tahu lagi bagaimana kabarmu.
Apakah engkau masih hidup atau tidak pun, Mande tak tahu, Nak.
Tapi, dalam hati Mande selalu yakin engkau baik-baik saja. Engkau—mewarisi
sifat ayahmu—bukan orang yang mudah menyerah, Nak. Meskipun
akhirnya ayahmu itu pun kalah, Mande tahu engkau lebih tangguh, Malin.
Perempuan itu semakin
hanyut dengan perasaan cintanya kepada sang anak. Tujuh
tahun masa penantiannya pada Malin akan berakhir hari ini, di tepi laut ini.
Kabar yang dibawa Kasim, sahabat anaknya yang akhirnya kembali ke kampung
halaman karena tidak betah bekerja di rantau mengobati penantian sia-sia yang
dilakukannya pada pekan-pekan yang sudah lewat. Ia ingat saat Kasim mampir ke
gubuknya, sepekan yang lalu.
“Mak, kapal tempat Malin bekerja itu akan merapat lama pada pekan
depan.”
“Seperti apa dia sekarang,
Sim?” tanya perempuan itu dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Awak indak tahu juga, Mak. Tempat kerja kami terpisah jauh sejak empat tahun lalu. Awak indak pernah lagi bertemu dengan Malin. Indak ada waktu istirahat dari pekerjaan awak.
Itulah yang membuat awak memutuskan pulang lagi ke kampung, Mak. Hidup di rantau itu susah.” Kasim
bercerita panjang lebar pada perempuan tua yang telah menumpuk-numpuk rindu di
hatinya. “Tapi, awak tahu benar jadwal
kapalnya merapat di pelabuhan kita, Mak.”
Hari hampir kelam, tapi
kapal yang membawa Malin belum juga datang.
Malin, capeklah tibo, Nak. Lah tambah dingin beko nasi jo sambalado
hijau kasukoan ang nan Mande masak tadi pagi. [5]
Hari semakin kelam dan
lembar harapan di hati ibu Malin tak berkurang sedikit pun, malah semakin
bertambah. Ia yakin anaknya akan datang.
Tubuh ringkih itu menjadi
sangat kuat ketika mendengar suara kapal dari jauh. Matanya berbinar-binar. Itu
adalah kapal terakhir dan ia yakin anak tercintanya berada dalam kapal itu.
Firasatnya kali ini pasti tepat.
Ia segera mendekat ke
pintu pelabuhan. Oleh karena tidak boleh melewati tali pembatas, ia berdiri
sedekat mungkin dengan pintu. Orang yang akan turun dari kapal terlihat jelas
dari tempat itu.
Kapal dagang yang sudah
merapat itu lebih bagus dari beberapa kapal yang tadi melabuh. Mata perempuan
tua itu tidak lepas memandangnya. Beberapa orang turun memanggul barang
dagangan. Namun, ibu Malin tidak menangkap sosok anaknya di antara mereka.
Debaran dadanya yang sejak tadi sudah tidak beraturan, semakin tidak beraturan.
Ia mulai takut. Tapi, keyakinan masih tersisa.
Seorang laki-laki berpakaian
sangat bagus keluar dari geladak kapal. Ia sangat gagah dan tampak sangat
terhormat. Seorang perempuan muda yang cantik menyusul dari belakang. Laki-laki
gagah itu menyambutnya dengan senyum. Mata tua perempuan yang sejak tadi
menanti di pelabuhan itu menangkap senyum yang selalu diingatnya itu. Senyum
itu milik anaknya.
“Malin...?” gumamnya
terdengar lirih. Ia mulai tidak percaya pada mata tuanya.
Laki-laki dan perempuan itu turun dari kapal dan
beranjak menuju pintu keluar. Perempuan tua yang masih terpaku itu
mengerjap-gerjapkan matanya dan ia yakin mata tuanya masih berfungsi. Laki-laki
itu memang Malin Kundang, anak tercintanya.
Air matanya mengalir
deras. Anaknya akan pulang ke rumah membawa perempuan cantik yang akan
diperkenalkannya padanya. Kebanggaan menyelimuti hatinya.
“Malin, akhirnya engkau pulang juga, Nak,” ujarnya sambil berjalan tertatih dengan tongkat
kayunya mendekati laki-laki yang hampir melewatinya begitu saja. Ia ingin
segera memeluk dan menumpahkan kerinduannya kepada anaknya yang tampak sangat gagah itu.
Laki-laki itu tampak
terkejut dengan kehadiran perempuan tua yang menyebutnya dengan nama Malin. Begitu juga dengan perempuan
cantik yang berada di sisinya.
“Malin, engkau gagah sekali, Nak.” Perempuan tua itu
mencoba menyentuh pakaian
bagus yang dikenakan laki-laki itu.
“Siapa kau?” tanya
laki-laki itu bengis sambil menepis tangan perempuan tua itu. Perempuan di
sampingnya bergidik menunjukkan rasa jijik.
Perempuan tua itu
tiba-tiba menjadi bisu.
“Pergi sana, Pengemis! Aku tidak punya uang kecil!” bentaknya lagi.
“Malin, ini Mande, Nak. Mande, Malin, bukan pengemis.”
Air mata yang sudah sejak tadi mengalir dari mata
tua perempuan itu membuat pandangan matanya menjadi kabur. Badannya bergetar
hebat. Tampaknya tongkat kayu yang menopang tubuhnya juga ikut merasakan
getaran itu.
“Perempuan tua! Jangan
sembarangan kau. Aku sudah
tidak punya Mande. Mande-ku sudah lama
meninggal.” Kebengisannya
tidak berkurang. Ia segera
meraih tangan istrinya, mengajaknya segera pergi. Berpasang-pasang mata
memperhatikan mereka.
“Malin, Malin, jangan
pergi, Nak.”
Perempuan tua itu berusaha
mengejar dan menarik lengan baju laki-laki muda tersebut. Namun, laki-laki muda
itu menarik dengan kasar lengannya dan mendorong perempuan tua itu. Tubuh
ringkih yang hanya ditopang tongkat kayu itu terjatuh terhempas ke pasir
pantai. Laki-laki itu hendak segera berlalu, tetapi teriakan perempuan dan
tatapan mata orang-orang menghentikan langkahnya.
“Malin... ini Mande yang melahirkan engkau, Nak. Buyuang,[6] permato hati Mande. Tujuh tahun, Malin. Tujuh tahun Mande
menunggu. Tujuh tahun Mande menderita sendirian, Nak. Mande rindu engkau, Nak. Jangan... pergi, Malin..., jangan....” Suara perempuan itu lama-kelamaan hilang ditelan isak tangisnya. Yang
tertinggal hanya isak tangis yang sangat memilukan.
Semua orang pun bisu.
Hanyut dalam isak tangis itu.
“Ini... Man-de... Malin.... Mande... yang... lahir-kan engkau...,” lirih suara
terdengar lagi di sela isaknya.
Namun, laki-laki itu tetap
mematung. Ia sekarang saudagar kaya menggantikan mertuanya yang telah
meninggal. Ia sekarang terhormat dan disegani semua orang. Ketika bekerja ia
sangat disayang oleh majikannya. Apalagi dengan kisah hidupnya yang tragis
sebagai yatim piatu. Ia telah mengaku sebagai yatim piatu. Sekarang, di
hadapannya hadir seorang perempuan tua yang sangat tidak layak menyentuh
pakaiannya dan mengaku sebagai ibunya.
Ia melirik perempuan
cantik yang berada di sampingnya. Perempuan itu adalah anak majikannya yang
berhasil dipersuntingnya. Saat ini, air muka perempuan itu menunjukkan rasa sangat
tidak suka pada perempuan tua yang berada di depannya.
Ia telah mengaku sebagai
yatim piatu. Ia tidak sudi mengotori namanya sebagai pembohong pada istri dan
keluarganya. Ia telah lama bertekad untuk membuang kesengsaraan dari hidupnya.
“Aku tidak pernah
dilahirkan dari rahimmu, Nenek Tua!” ucapnya dengan mata menyimpan amarah.
Mendengar itu, hati
perempuan tua itu semakin hancur seperti butir-butir pasir di pantai itu. Ia
tidak menyangka yang tadi telah menghempaskan adalah Malin Kundang yang dilahirkannya
dengan mempertaruhkan nyawa. Ia tidak menyangka Malin Kundang, anak yang
sembilan bulan dalam kandungannya itu akan mengingkari dirinya sedemikian rupa.
Benarkah dia Malin
Kundang? Malin yang rengeknya telah menghabiskan malam-malam perempuan itu,
Malin yang sewaktu kecil mengiringi langkahnya dan bergelayut di lengannya saat
ke pasar, Malin yang setiap malam telah membuat air matanya berjatuhan. Malin
itu kini telah menusuk hatinya dengan sengaja. Sakit hati itu terasa ke setiap
helaan napasnya.
“Durhaka engkau, Nak. Durhaka engkau kepada ibumu.”
Malin bergegas pergi.
Namun, sayang, bonggol akar yang menyembul menangkap kakinya dan ia tersungkur.
“Durhaka engkau, Nak. Jadilah engkau batu seperti hatimu itu!”
Malin Kundang yang jatuh
tersungkur tiba-tiba, secara
ajaib, menjelma menjadi
batu tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi. Juga maaf.
Seorang ibu yang tidak
dapat lagi menahan sakit hatinya telah mengucapkan hal yang benar-benar keluar
dari lubuk hatinya. Dan,
ternyata Yang Mahakuasa mengabulkan
perkataannya itu.
Melihat Malin Kundang
menjadi batu, lidah perempuan tua itu kelu. Ia tidak ingin berhenti menangis.
Namun, air matanya telah mengering.
Segaris senyum terpahat di
bibirnya. Di pantai itu, penantiannya akhirnya berujung. Malin Kundang, anaknya
itu, akan selalu berada di dekatnya dan tak akan pergi ke mana-mana lagi.
Di pantai itu, hari
semakin kelam, angin semakin dingin.
Dan hati semakin beku.
Depok, 5 November 2004
No comments:
Post a Comment