gambar dari sini! |
ia datang, pada petang yang
hampir menghilang.
kala itu, aku hendak meraih
sebelah jendela kayu rumahku, menutupnya sebelum kelam membawa angin dinginnya yang kejam
masuk ke ruang-ruang rumah tua ini.
ia berdiri meraih sebelah
jendela kayu yang hendak menutup sebelah. "tunggu," ucapnya
dengan mata yang tak pernah berani aku tatap. ia bilang, ia bawakan aku kisah, yang
diceritakan dengan terburu-buru. ada kapal yang dia bilang menunggunya,
segera berangkat sebelum malam.
laki-laki ini, ia pernah
bercerita kalau ia telah lama jatuh cinta pada jendela kupu-kupu. jendela
itu, kau tahu, katanya, ia bagaikan perempuan paling setia di dunia ini: tak
pernah mengeluh, tak pernah merasa lelah—menunggu. telah lama aku merasa
iri kepada jendela kupu-kupu itu, yang memiliki tempat yang begitu luas dalam
hati laki-laki ini.
apa ceritamu hari ini? tanyaku.
ada degup dari sudut hatiku
yang tak mampu kusembunyikan kala bersamanya.
hari ini, katanya, aku akan pulang. ada perempuan yang menungguku, katanya. mungkin, masih sangat lama kita akan kembali bertemu. ia berkata, dan aku tak berani menerka isyarat apa yang ada di dalam senyumnya.
aku hanya menjawab dengan
senyum separuh, yang separuh lagi berupa sesak di sudut mataku. akhirnya,
memang akan sampai pula hari ini.
apakah yang membuatmu jatuh
cinta pada jendela kupu-kupu? telah lama aku menyimpan tanya ini, dan akhirnya aku
sampaikan juga. kusembunyikan jauh rasa iri dalam sudut terjauh hati.
kau tahu, katanya, jendela
kupu-kupu itu, tak pernah lelah berseteru
dengan waktu. tak pernah lelah menungguku meski aku sendiri tak lagi
memercayai diriku akan kembali. jendela itu, mengingatkannya pada seorang perempuan
dari masa lalu. ia bercerita dengan tatapan yang seolah menembus ruang waktu, begitu jauh.
siapa? tanya itu kukulum
kembali. aku terlalu banyak bertanya, sementara kelam semakin cepat menyergap
malam. laki-laki ini, ia harus segera pergi, aku tahu.
bukankah kau harus segera
pergi? kataku, tak ingin ia
terlalu lama di sini, takut ia membaca harap dan—ah—resah di mataku. aku harus
segera menutup kedua belah jendela kayu ini, angin
malam terlalu dingin.
baiklah, katanya, membantuku
meraih jendela yang satu lagi. ia terpaku dengan tangannya masih di kisi
jendela.
seorang ibu, katanya pelan. aku
berada ribuan jarak darinya.
dan, kau tahu, aku begitu merindunya.
aku takut tak sempat sekadar
melihat senyumnya lagi, yang selalu kumungkiri selalu membuatku tenang, pun setelah mimpi terburuk.
dan, kau tahu apa yang
membuatku meninggalkannya selama ini? karena aku takut kehilangannya—jadi lebih
baik aku tak pernah punya banyak kenangan bersamanya. tak masuk akal, bukan?
ah, entahlah, aku hanya belajar dari masa lalu. seorang laki-laki yang aku
sayang begitu cepat meninggalkanku, tanpa pamit, tanpa memperingatkanku
terlebih dahulu. bahwa tak ada yang abadi.
aku terpaku. bukankah kasih
sayang abadi? ingin kuutarakan kepadanya, tetapi ragu menyergapku terlebih
dahulu.
laki-laki ini, ia bagai
sebatang pohon yang kukuh, tetapi ada kerapuhan dalam di dirinya. aku berharap
bisa menggenggam tangannya, memberikan sedikit kekuatan, entah apa—cinta,
mungkin.
laki-laki ini, bercerita
dengannya seperti duduk di kursi kayu langkan rumah masa kecilmu. kau merasa
tak asing, tetapi tahu bahwa masa kecil itu hanyalah memori yang tak dapat lagi
kau susuri. kau tahu bahwa hanya memori yang bisa kau miliki.
laki-laki dan jendela kupu-kupu.
ia kembali membuatku jatuh cinta, entah kepadanya atau kepada jendela
kupu-kupu yang ia kisahkan, di antara petang yang semakin ditelan malam
yang—entah bagaimana—tiba-tiba menghangat.
aku menatap punggungnya yang
menjauh, menutup kedua belah daun jendela kayu rumahku.
dan menunggu,
berharap aku mampu menjelma jendela rumahku, sebuah jendela kupu-kupu.