Penjual Kenangan

Sunday, June 26, 2011

maukah kau menungguku?

i owe the pic!


malam kemarin, aku hampir menangis kala kita bertemu. aku begitu merindumu. padahal baru dalam hitungan hari yang masih bisa dihitung dengan jemari kita tak bersama. 
kau tahu, perasaan itu begitu saja menyesak, tak dapat kuminta untuk disembunyikan. menatapmu, membuatku merasa memilih persimpangan yang--jangan-jangan--keliru. ternyata, aku begitu mencintaimu--sampai ke akar terjauh hati, jika aku harus jujur.

kita saling mengenal bukan dalam hitungan hari, tentu saja. karena itulah, akarnya telah menguat di sana. telah banyak musim yang kita lalui. kau telah mendengarkan seluruh kisahku, tak ada yang mampu kusembunyikan kepadamu. bahkan, terkadang, butir air mata paling rahasia pun kuperlihatkan kepadamu. kau selalu mampu menyekanya, satu demi satu--bahkan kala aku memalingkan wajah, berharap bisa membencimu.

"aku mencintaimu," ujarku lirih, di antara malam kemarin itu. kau masih seperti biasanya, bersirebut dalam arahmu sendiri. tapi, kau tahu, aku ternyata menyukai itu. aku tak peduli. bahkan, kadang, saat aku begitu merindumu, kau sedang bermanis-manis dengan gadis-gadis dengan rok yang cukup bisa dibilang sangat-pendek dan sepatu-sepatu stiletto mereka yang ber-tak-tik-tuk nyaring. sementara aku, beriang-riang dengan sneakers ataupun flat shoes kain canvas yang itu-itu saja. kau pun kadang menyamarkan bayanganku dalam warna yang mengabu, membiarkanku bersiteru sendiri dengan sesak dalam malam-malam yang terkadang terasa mengerikan.

tapi, kau selalu bilang, aku bisa memiliki seluruh waktumu, kau tak akan pernah terlelap jika aku sungguh membutuhkan kau, itu janjimu. ya, kau memang selalu di sana, dalam putaran waktu yang tak pernah memejamkan mata. kau, di antara segala hal menjengkelkan tentangmu, telah membawakan banyak bahagia--bahkan, dalam lagu paling sumbang sekalipun.

lalu, pada hari itu, aku memutuskan menjauh darimu, meninggalkanmu; menjadikanmu ahli waris satu-satunya dalam seluruh potongan kenangan berharga kita. "kau boleh memiliki setiap jengkal arah, detak, dan kenangan di sini," ucapku kala itu, tak bisa dibilang terburu-buru juga. tapi, entahlah, mungkin seperti mendapatkan suguhan steik setengah matang, padahal kita menuliskan pesanan steik matang sempurna. lalu, kita malas untuk mengoreksinya karena, mungkin, sudah terlalu lama menunggu.

lalu, aku pun melangkah, dalam arah yang belum bisa kubaca. "apa yang kulakukan di sini?" aku bertanya pada paras di cermin itu, yang tampak kehilangan sesuatu, entah apa (kemudian, kusadari itu cinta). kau tahu, kala itu, aku terkenang kau, terkenang segala riang yang selalu kau lagukan, di antara hujan dan kemarau. meski kadang kau bisa membuatku merasa sangat asing ketika bersama denganmu, di antara deru-deru yang menyamarkan suara kita, aku tak pernah merasa takut kala bersamamu.

lalu, aku mengucapkan selamat tinggal dan menyiapkan farewell party yang sempurna untuk kita; agar kita melangkah selalu dalam bahagia, pikirku kala itu. aku tak ingin ada air mata; dariku, pun darimu.
kau pun tahu aku bukan pergi karena aku menemukan sesuatu yang disebut cinta, di sini. mungkin, bukan pula sesuatu yang orang katakan your passion. entah, aku bagai mengikuti guratan takdir di telapak tanganku, yang sepertinya diguratkan pada suatu malam kala aku sedang ingin menjauh darimu.

mungkin, terucap sebuah doa kala itu--yah, kau pasti menyadari, aku selalu cemburu pada gadis-gadis stiletto itu, dan maaf kalau kau jengkel dengan semua keingintauanku tentang ini itu. tapi, aku tahu, kau dan aku berjalan dalam langkah-langkah yang seirama, yang mampu membuat kita mencipta tawa bahagia dalam waktu terburuk pun. lagi pula, bukankah kau selalu memuji sepatu baruku, yang hanya berbeda warna dengan yang sebelumnya. kau pasti membaca tip itu, pujilah sepatu seorang wanita niscaya dia akan mampu menumbuhkan beragam jenis bunga seketika itu juga. di sana, di dalam senyumnya. :)

apakah aku meninggalkanmu karena cemburu? bukan, kau pasti tahu aku tak sedangkal itu. aku meninggalkanmu karena, ah, entah mungkin karena aku tak (mau) menyadari bahwa aku begitu mencintaimu. dan, tak mampu mempertahankanmu dalam pertaruhan dengan sang takdir itu. maaf, alasanku terdengar mengada-ada ya? tapi, percayalah, aku sungguh mencintaimu.

dan, malam itu, saat kita bertemu, aku hampir menangis. tapi, aku tahu, inilah jalan terbaik untuk kita. mungkin, untuk masa depan, kata mereka-mereka. lagi pula, kita tak tahu apa yang ada di depan sana, bukan?

maukah kau menungguku?

doakan dalam sujud-sujud panjangmu agar kita bisa bersama lagi, dalam hitungan waktu yang tak seberapa. mungkin, kisah kali ini akan membuat kau-aku semakin kuat, dalam segala-galanya. mungkin juga, agar pertemuan kita terasa lebih berkesan karena begitu kita tunggu-tunggu. agar aku bisa membawakanmu banyak kisah. dan, agar tak lagi aku seperti bayangan, yang kadang menjadi samar dalam jarak pandangmu pada satu waktu. dan, tak lagi kau seperti sosok yang menjengkelkan, dengan segala seteru yang selalu kau kedepankan. mungkin, jarak kala ini membiarkan kita berpikir lebih panjang dan mengingat hal-hal manis yang kita lewati, pun tersenyum mengingat perseteruan menjengkelkan yang dengan mudah kita anggap memberi gurat-gurat luka.

malam ini, aku genapkan permintaanku itu menjadi tiga kali, agar menjadi mantra, agar kau yakin aku tak sekadar beromong kosong.

maukah kau menungguku?
maukah kau menungguku?

karena aku sungguh mencintaimu, kotaku: jakarta-depok. :)

2 comments:

Gloria Putri said...

lhoo...orang depok to mba e?
wew...aq kangen depok :(
betewe...itu gambar yg dipake ilustrasi, aq bangett deh...xixixixixi

Rona Nauli said...

Depok memang ngangeni ya? aku ndak pernah tinggal di sana, tapi dulu ada masa hampir tiap weekend pasti ngabisin waktu di sana :). sekarang sebulan sekali menyempatkan diri mampir ke depok sebelum ke cibinong :)

semoga dimudahkan kembali ke Depok, amiin :)

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin