bulan menggantung separuh
aku takut dia jatuh
kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Wednesday, July 29, 2009
Wednesday, July 22, 2009
(yang seharusnya)
percakapan-percakapan panjang tersimpan di sepanjang jalan di kota itu.
terselip di setiap aspal yang menghitam, di antara malam.
yang selalu kita buka. lagi. dan lagi.
dan seperti hansel dan gretel, kita juga mencecerkannya, percakapan-percakapan itu berserakan--berharap kita tak tersesat ketika perjalanan terlalu jauh.
kini,
perjalanan semakin jauh. dan berhenti pada arah yang kosong.
kita berdiam, tak menemukan akhir.
untuk kembali, tak kita temukan juga satu pun ceceran percakapan kita--pun hanya satu hurufnya.
mungkin telah habis dimakan deru yang semakin mengganas di jalanan kota itu.
kata-kata memilih tak memihak kita, bosan untuk saling berlari menuju satu warna makna.
seperti inikah akhirnya?
(entahlah--kataku, sahutmu)
ya, memang seperti inilah akhir, (yang seharusnya).
22/09
i owe the picture!
Tuesday, July 21, 2009
selamat pagi
pagi cukup bersahabat. saya dan gita tak terlalu terburu-buru berangkat kerja. namun, sayangnya, angkot yang kami naiki dihuni penumpang yang parfumnya sangat-sangat tidak bersahabat. menyengat, bahkan membuat kepala saya--dan gita--pusing. saya jadi salah tingkah, hadap sana, tengok sini. jendela angkot sudah saya buka lebar-lebar. tetap saja, aroma parfum yang sangat-sangat menyengat itu seakan-akan menyergap saya. tampaknya, bau itu berasal dari cowok di sebelah saya, yang berpakaian cukup necis.
"parah lo, wied," komentar gita yang melihat saya sampai-sampai menutup hidung-- diam-diam--menghadap ke luar jendela.
sebenarnya, gita juga merasakan hal yang sama, tapi untungnya dia duduk di pojokan. saya persis di sebelah sumber bau bikin enek itu. hiks. =(
saat melihat penumpang lain. kok tampaknya mereka tenang-tenang saja, ya? tapi, sumpah, baunya menyengat banget!--tanya aja gita, kalau nggak percaya.
saya berharap orang itu segera turun biar udara pagi yang cukup bersahabat ini bisa saya hirup dengan bebas. sayangnya, dia nggak turun-turun, malah kami yang turun lebih dahulu.
"haaah!" saya menghela napas dalam-dalam, setelah tadi cukup lama menahan napas berkali-kali.
heran, cowok itu juga kayaknya nggak merasa bersalah sama sekali karena telah merusak atmosfer angkot. bahkan, baunya seakan-akan masih menempel di baju saya. saat menghirup napas, bau itu juga seakan-akan masuk ke dalam paru-paru saya. huuh!
harusnya, tadi saya bilang ya, "ketumpahan minyak wangi, mas?"
hehe, sayangnya saya nggak berani. ;P
angkot kedua penuh. ada bau yang cukup menyengat juga, tapi nggak terlalu.
lalu, angkot ketiga yang saya dan gita naiki juga tidak bersahabat. penumpangnya cuma satu, dan sedang asyik merokok. dan, ah, bau parfum mas-mas yang tadi bercampur dengan asap rokok saat saya menghirup napas. hhfff!
hehe, sudahlah. selamat pagi. ^_^
"parah lo, wied," komentar gita yang melihat saya sampai-sampai menutup hidung-- diam-diam--menghadap ke luar jendela.
sebenarnya, gita juga merasakan hal yang sama, tapi untungnya dia duduk di pojokan. saya persis di sebelah sumber bau bikin enek itu. hiks. =(
saat melihat penumpang lain. kok tampaknya mereka tenang-tenang saja, ya? tapi, sumpah, baunya menyengat banget!--tanya aja gita, kalau nggak percaya.
saya berharap orang itu segera turun biar udara pagi yang cukup bersahabat ini bisa saya hirup dengan bebas. sayangnya, dia nggak turun-turun, malah kami yang turun lebih dahulu.
"haaah!" saya menghela napas dalam-dalam, setelah tadi cukup lama menahan napas berkali-kali.
heran, cowok itu juga kayaknya nggak merasa bersalah sama sekali karena telah merusak atmosfer angkot. bahkan, baunya seakan-akan masih menempel di baju saya. saat menghirup napas, bau itu juga seakan-akan masuk ke dalam paru-paru saya. huuh!
harusnya, tadi saya bilang ya, "ketumpahan minyak wangi, mas?"
hehe, sayangnya saya nggak berani. ;P
angkot kedua penuh. ada bau yang cukup menyengat juga, tapi nggak terlalu.
lalu, angkot ketiga yang saya dan gita naiki juga tidak bersahabat. penumpangnya cuma satu, dan sedang asyik merokok. dan, ah, bau parfum mas-mas yang tadi bercampur dengan asap rokok saat saya menghirup napas. hhfff!
hehe, sudahlah. selamat pagi. ^_^
Thursday, July 16, 2009
menjauhi senja
perempuan itu tersenyum, menatap ke sekeliling tempat ia berdiri. mendapati sekitarnya bukan mewarna pelangi, seperti yang selama ini ia pinta. pastel--ah, aroma warna itulah yang telah lama menyatu di dirinya. dia (tak) tahu.
"ah, betapa Kau perahasia. tak terselip dalam satu mimpi pun," bisiknya menatap kanvas langit yang diperciki senja.
"apa lagi rahasia-Mu? aku akan menunggu." hatinya melagu, bahagia memerciki pipinya perlahan-lahan.
perempuan itu beranjak, menggamit aroma pastel.
"aku menunggu," katanya, lalu berlari menjauhi senja.
ia menunggu. tak terpaku.
gambar di sini!
Monday, July 13, 2009
Sinetron?
Terkadang, saat didera masalah, kita merasa yang paling susah, yang paling menderita. Mungkin, itu pun yang saya rasakan. Bahkan, terkadang, hal itu membuat kita kehilangan akal sehat, ingin bersiteru dengan dunia yang seakan-akan tidak adil dalam membagi kasih sayangnya.
Saat seperti itu, kita pun merasa (wajib) didengarkan. Namun, ternyata saat seperti itu, kita pun harus “mendengarkan”.
Saya sudah lama tidak bercakap dengan perempuan ini karena kami jarang bertemu.
Lalu, beberapa waktu lalu, percakapan kami mengalir. Perempuan kurus ini seusia saya, sudah menikah dan punya dua anak. Anak perempuan dan laki-laki. Mereka tinggal dekat sebuah kampus yang cukup terkenal di wilayah Jakarta Barat.
Percakapan itu berawal dengan bertanya kabar, pekerjaan, berlanjut dengan kapan saya akan menikah, lalu tentang “hidup”.
“Ya, keluarga kami tampaknya harus pindah dari rumah ini,” kata anak perempuan dari empat bersaudara ini. Saya menyayangkan, bukankah sayang jika menjual rumah yang berada di lokasi yang cukup strategis itu.
“Rumah Pak Aji yang di sebelah mau dijual, jadi nanti kami bingung mau lewat mana keluar,” jelasnya. Ya, rumah perempuan ini berada di pojok, jalan keluarnya lewat teras rumah Pak Haji yang meninggal belum lama ini, menyusul istriya yang telah meninggal terlebih dahulu. Anak-anak Pak Haji sudah tidak tahan untuk segera membagi warisan mereka. Cara paling mudah adalah menjual rumah itu, kemudian membagi-bagi uangnya.
“Kalau rumah itu dijual, rumah kami ini tidak punya jalan keluar lagi,” lanjut perempuan itu dengan mata menerawang.
“Lho, bukannya bisa menjebol tembok teras depan?” tanya saya, berpikir cepat mencari solusi—yang tidak mungkin tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya. Tembok yang tidak terlalu tinggi itu memisahkan rumah perempuan ini dengan deretan rumah kontrakan yang ada persis di depan rumah ini, dipisahkan dengan jalan kecil kira-kira sepanjang 10 meter. Jalan itu lebih praktis untuk dijadikan jalan keluar juga untuk rumah ini. Tinggal belok kanan dan jalan sekitar tujuh langkah, jalan itu sudah bertemu dengan jalan yang agak besar, tapi masih berupa gang juga.
Perempuan itu tertawa. Miris. “Kalau bisa begitu, kami tidak perlu bingung dan tidak perlu juga Pak Aji dulu berbaik hati ‘merelakan’ teras rumahnya kami lewati setiap hari.”
Saya mengeryit tak mengerti.
“Iya, dulu, kenapa jalan keluar rumah ini lewat teras Pak Aji, itu karena yang punya kontrakan di depan nggak memperbolehkan kami menginjak ‘jalan’-nya,” kata si perempuan.
Saya ternganga, tak percaya. Lho, yang punya rumah itu kan nggak rugi apa-apa. Toh, jalan itu sudah dia buat juga buat jalan bagi penghuni kontrakannya. Dan, kalau menyusut pun, palingan hanya berupa jejak-jejak kaki di jalan bersemen itu. Itu juga baru beberapa (ratus) tahun kemudian, kali! Ah, saya emosi mendengarnya. Pelit sekali, sih! Saya nggak habis pikir. Jadi, itulah alasannya kenapa tembok yang dijejeri beberapa pot tanaman ittu dibangun di teras kecil rumah perempuan ini.
“Yah, Papa juga bilang lebih baik kami pindah saja,” lanjut perempuan itu, “sekalian cari tempat usaha baru.”
“Memangnya, kontrakan warung yang dekat kampus itu udah mau habis, ya?” tanya saya.
“Tiga tahun lagi. Sekarang, baru jalan tahun pertama,” jawabnya. “Tapi, kalau nyambung lagi nanti, kami sudah tidak sanggup. Tiga puluh juta setahun dan harus dibayar langsung tiga tahun.” Ia terdengar kehilangan harapan. “Harusnya, lima puluh juta. Tapi, karena kami minta kurang, yang punya minta supaya warung itu dibagi tiga. Jadinya, yang kami dapat sangat kecil.”
Saya terdiam. Dulu, sebelum daerah kampus itu belum terlalu ramai—sebelum internet berkembang pesat--kontrakan warung itu baru lima juta rupiah.
“Ah, itu juga kami mencoba bertahan karena belum dapat tempat usaha yang baru,” katanya.
“Kenapa?” tanya saya.
“Sekarang, sikap yang punya udah lain. Nggak kayak dulu.”
Ya, dulu, saya ingat, mereka sudah seperti saudara. Antar-antaran makanan. Ibu perempuan ini sangat kompak dengan ibu yang punya rumah. Mengobrol sepanjang hari, belanja bareng, dan segala hal tampak harmonis.
“Mungkin, karena sekarang, mereka sudah punya banyak uang,” ucap si perempuan, bukan bernada iri. “Dulu, ibu yang punya rumah betah ngobrol lama-lama dengan Mama di dapur,” katanya, “tapi, dulu, ujung-ujungnya, ibu itu minjam uang. Sekarang, mereka nggak perlu pinjem uang lagi.” Perempuan itu semakin miris.
Berdirinya sebuah kampus bonafit di daerah ini, dan juga melebarkan sayapnya di tempat yang tak jauh dari daerah ini memang membawa rezeki besar buat yang punya tanah dan kontrakan, biasanya orang asli yang punya. (Meski mahasiswa kampus ini juga kerap dipalak oleh orang-orang asli sekitar situ). Harga kontrakan jadi puluhan juta per tahun. Kosan juga jutaan sebulan. Dan, ibu yang punya kontrakan tempat usaha keluarga perempuan ini punya sekitar 10 tempat usaha dan punya kosan sekitar 50 kamar. Sebuah keluaga yang terdiri atas seorang ibu dan empat orang anak yang sudah berkeluarga itulah pemiliknya.
“Kami harus segera pindah,” sambung perempuan ini. Saya mengangguk-angguk. “Sedih banget waktu ngeliat orang toko yang di paling ujung pindah. Mereka diusir,” kata si perempuan. “Yah, mereka tidak sanggup bayar lima puluh juta dan mesti langsung tiga tahun, jadi mesti pindah. Mereka minta setahun dulu, tapi nggak boleh.”
“Emangnya gak bisa kompromi dulu?”
“Yang punya rumah cuma bilang, ‘Kalo nggak sanggup bayar, ya pindah aja.’ Cuma itu kata-kata mereka.” Si perempuan menarik napas. “Nggak tau buat apa, uang puluhan juta cepet banget abisnya ama mereka. Kayaknya nggak cukup-cukup.”
Ya, bukankah uang, harta, hanya cukup bagi mereka yang mencukupkan diri? Saya sedih mengingat jalinan hubungan para pemilik usaha—termasuk keluarga perempuan ini--dengan pemilik kontrakan itu, sudah puluhan tahun. Sejak daerah itu masih sepi dan kampus itu belum begitu terkenal. Ah, uang.
“Bahkan, anak si pemilik kontrakan ngeliatin setiap hari waktu yang paling ujung itu pindah. Plus ocehan, ‘Lama amat, sih, pindahnya?! Lagian, pake motor mindahin barang-barangnya. Gimana nggak lama. Barang banyak begitu!’ Kan, emang barangnya banyak, ya. Namanya juga udah bertahun-tahun tinggal di sana. Tapi, klo malem, mereka pindahin pake mobil. Kalo siang kan macet, jadi pake motor.” Perempuan itu menjelaskan. Tapi, ternyata, yang punya kontrakan itu tidak peduli. Mereka tidak tahan untuk menawarkan pada pengontrak baru, dan tentu saja tidak sabar menerima uang kontrakan. U.A.N.G.
Ah, kenapa saya seperti sedang mendengar cerita sinetron? Ternyata, sinetron nggak bohong-bohong amat, ya? Ataukah, penontonnya yang terlalu menghayati ceritanya sehingga tidak bisa membedakan lagi di dunia mana mereka berada?
“Yang ujung itu bilang, ‘Anak almarhum Pak A*** sudah pintar-pintar ya sekarang,’ dengan maksud menyindir. ‘Iyahlah, kan disekolahin, ya, pinter,’ jawab mereka.” Perempuan ini tertawa kaku.
Saya tersenyum miris.
“Harusnya, orang itu bilang, ‘Iya, dulu, waktu disekolahin, minjem duitnya sama saya. Lupa ya?’” kata si perempuan dengan emosi. “Sayangnya, mereka nggak bilang.”
Ya, dahulu, waktu keluarga kaya itu baru ada tiga kontrakan kios, mereka sering kas bon. Setelah penyewa membayar kontrakan selama beberapa tahun, mereka juga akan meminjam uang lagi. Untuk keperluan ini dan itu. Para penyewa itu pasrah dan meminjamkan uang—bahkan, terkadang saat sebenarnya mereka pun sedang tidak punya uang. Tapi, Yang Berkuasa meminta, jadi apa daya.
Lalu, sekarang, mereka diusir oleh Yang Berkuasa dan kembali lagi mereka pada kondisi “apa daya”. Tak boleh ada kenangan masa lalu. Tak boleh ada ikatan “bertetangga” bertahun-tahun.
“Kalau yang sebelah warung saya, dia lebih beruntung. Utang ibu itu sudah sangat banyak dari dulu. Jadi, kontrakan mereka sudah dibayar sampai 2013 dengan hitungan uang kontrak waktu masih lima juta per tahun. Tapi, kalau sudah habis, nanti mereka juga mesti bayar lima puluh juta per tahun,” jelas perempuan itu tentang warung di sebelah tempat usahanya.
Hati saya mencelos. Pendapatan warung-warung itu tidak akan bisa menutupi biaya kontraknya. Begitu banyak pesaing dan begitu banyak yang lebih modern.
“Makanya, kami pelan-pelan mau cari tempat usaha lain. Yang di sini juga cuma lepas makan sekarang. Nggak tahu nanti.” Perempuan itu mengelus kepala anak laki-lakinya yang baru berusia tiga bulan. “Keadaannya udah nggak enak. Ibu itu aja udah nggak mau negor Mama. Kalau lagi bareng di tukang sayur, juga diam-diaman. Kalau disapa, buang muka.” Dia tertunduk.
Saya terbayang hubungan harmonis mereka dahulu. Miris.
“Entahlah. Sama saudara-saudaranya juga begitu. Nggak tau kenapa, dia makin sombong sejak naik haji.”
Saya kaget. Apa saya salah dengar. Ah… dunia. Mau jadi apa kita?
“Mudah-mudahan, bisa dapet tempat yang lebih bagus,” kata saya, “Allah nggak akan menutup rezeki umat-Nya yang mau berusaha.” Saya menghiburnya--cuma hal itu yang bisa saya lakukan, sayangnya.
Dan, selesaikan percakapan itu. Membicarakan orang. Membicarakan diri sendiri. Membicarakan hidup.
Ah, permasalahan saya, dilema saya belum seberapa dibandingkan mereka. Masihkah saya mengeluh?
kau pernah bilang
bukankah kau pernah bilang cerita kita hanya sampai hujan berhenti
sampai rintik menyerah pada matahari yang merona bertemu senja
dan, saat itulah cerita kita sudahi
saat anak-anak hujan melambaikan jari-jari mungil mereka pada dedaunan hijau
beriang-riang berlari ke ibu mereka yang bercengkerama dengan angin pantai
dan, kini, hujan telah berhenti
anak-anak hujan telah kembali ke rahim ibunya, yang membiru dicumbui langit
namun, mengapa kita masih harus duduk di sini?
masih saja bercerita?
aku pulang saja. ya?
kau diam--ingkar pada kata-kata
--ah, jika saja bukan aku yang kau jadikan tokoh cerita itu, aku sudah pulang sejak tadi, saat hujan telah berhenti
gambar di sini!
Wednesday, July 01, 2009
Penasaran?
Ssst... buat kamu yang mengikuti Sayembara Kucing Melulu dan Cerita Cinta (Me)Lulu, pasti menunggu pengumuman pemenang dengan penasaran, kan? hehehe...
Supaya rasa penasarannya hilang, yuk kita lihat nama-nama pemenang di bawah ini.
1. Nia Nurdiansyah (Semarang): “Me, My Midas, &Our Little Zoo”
2. Ryu Tri (Bekasi): “Saingan Sama Ayam”
3. Nia Chintiya R: (Kalimantan Timur) Proyek Kakaktua Memikat Kavi
4. Aditya Renaldi: (Bandung) “From Playboy to Girlfriend”
5. Sutrisnawati (Jakarta Utara): “Antara Aku, Udin Kura, dan Gebetan Rahasia”
10 Pemenang Favorit
1. Andhika Wandana (Bandung): “KucingCang”
2. Agustina Wulandari (Jakarta Selatan): “Ketika Kucing Sakit Hati”
3. Desfirawita (Pariaman, Sumbar): “Love’s Cat”
4. Juwita Purnama sari (Bekasi): “Nuriku, Diaryku”
5. Anis Arviani (Magelang): “Suka Manis”
6. Ningrum Setya (Jakarta Selatan): “Buffey—Hamster Pembawa Cinta”
7. Rahmat Nugroho (Depok): “Kamu Semanis Ikan Mas Kokiku”
8. Graysia W. (Riau): “Cinta Bersemi di Ruang Tunggu Dokter Hewan”
9. Riana Setyawati: “Si Cokelat, Hamster Pintar”
10. Devalina R.: “Me, Luffy, and The Love”
>> Lima (5) cerita paling menarik akan mendapatkan @Paket Buku Senilai RP150.000 + satu buah kaus keren Kucing Melulu & Cerita Cinta (Me)Lulu
>> Sepuluh (10) cerita favorit akan mendapatkan @kaus keren Kucing Melulu & Cerita Cinta (Me)Lulu + tas keren GagasMedia.
Selamat ya dan terus berkarya!
* Urutan tidak menunjukkan peringkat
** Hadiah akan dikirim ke alamat pemenang paling lambat dua minggu dari pengumuman
gambar di sini!
Subscribe to:
Posts (Atom)