Penjual Kenangan

Monday, September 13, 2010

sebelum tidur



setiap lebaran, saya "mudik" ke slipi, rumah kakak perempuan saya--sekaligus rumah saya tumbuh besar. empat tahun belakangan ini, ada kebiasaan baru pada saat malam lebaran. saya akan menelepon keponakan saya, cipa, dan mengajaknya lebaran bersama di sana. dan, cipa akan datang diantar sang ayah. kakak perempuannya akan lebih memilih rumah kakak perempuan saya yang satu lagi karena di sana ada teman sebayanya, keponakan saya yang lain.




cipa lebih memilih bersama saya, juga karena ada kak ani yang kelas lima sd, tiga tahun lebih tua daripada dia. empat tahun ini, cipa dan kakaknya jarang berlebaran di rumahnya sendiri karena rumah itu terlalu sunyi kala lebaran, sejak sang ibu meninggalkan mereka, empat tahun lalu.

dua tahun pertama, cipa akan selalu terbangun malam-malam, lalu menangis minta pulang. dan, saya akan kalang kabut membujuknya untuk kembali tidur. namun, dua tahun belakangan ini, cipa sudah bisa "menginap" dan tidur dengan cukup nyenyak meski kadang masih terbangun malam-malam, sekadar minta minum atau mengingau.

lebaran kemarin, cipa sudah datang dengan tas berisi baju-bajunya. tas itu bukan lagi tas kain warna biru yang cipa banget--tas yang selalu menyertainya ketika almarhum ibunya mengajaknya jalan-jalan. tas itu suda diganti sekarang... lebih besar, dan lebih muat banyak, tentunya.

menjelang tidur, saya dan cipa mengobrol sambil tiduran...

"mau didongengin?" tanya saya.

"nggak, cipa maunya dibeliin buku cerita," sahutnya. sejak bisa baca, cipa juga selalu membaca apa pun petunjuk yang ada di jalan raya--sama seperti waktu kak ani-nya baru bisa baca dulu.

"cipa udah bisa baca yang kecil-kecil," lanjutnya, "eh, yang nggak terlalu kecil, deng." dia berkata sambil memainkan jemarinya.

setelah itu, kami melanjutkan obrolan tentang sekolah. saya mengingatkannya untuk jangan mau diajak pergi dengan orang yang tak dikenal, dan hal-hal semacam itu. karena sekolahnya dekat, cipa pergi dan pulang sekolah sendiri... dan, terkadang, mandi dan pakai baju sendiri... sementara itu, si kakak--putri--sampai kelas lima sd, bajunya selalu disediakan sang ibu. bahkan, rambutnya pun selalu disisiri... sekarang, cipa sudah bisa melakukannya sendiri. dan, dia selalu membanggakan hal itu.



"iya, temen cipa selalu dijemput mamanya kalau pulang sekolah. cipa mah bisa pulang sendiri," celotehnya dengan bangga, waktu ia masih duduk di bangku tk. ah, saya miris mendengarnya, meskipun sekolah tk-nya memang hanya selemparan batu di belakang rumah anak yang saat ini sudah berusia tujuh tahun itu.

terkadang, sedih melihatnya. dan, saya jadi berandai-andai. andai ibunya masih ada, pasti lebaran ini... pasti... pasti.... dan, banyak hal-hal bahagia yang terbayangkan. namun, semua tak mungkin terjadi... kakak perempuan saya yang jago masak itu telah pergi empat tahun lalu, meninggalkan dapur tak lagi terasa hangat... meninggalkan dinding-dinding rumah yang terasa dingin. meninggalkan anak-anak yang terkadang bilang, "andai mama masih ada...."

ah, sebenarnya, saya tak ingin menceritakan hal-hal menyedihkan itu, hanya ingin menceritakan celoteh cipa sebelum tidur.

"temen cipa di sekolah kan ada yang kayak cowok," ucapnya tiba-tiba.



"oh, ya, rambutnya pendek, ya?" sahut saya standar, apa lagi yang bisa mengidentikkan seorang perempuan dengan laki-laki versi anak sd?

"iya, iya, bener! terus apa lagi?" jawab cipa antusias sampai-sampai bangun dari tidurnya dan menghadap saya, mengira saya bisa meramal.

"oh...," saya menangkap jalan pikirannya dan ikut antusias.

"hmm... rambutnya pendek," ulang saya, mencari-cari ciri-ciri yang tepat lagi bagi anak perempuan yang mirip anak cowok.

"iya, rambutnya kayak gimana?" tanya cipa tak sabaran.

"rambutnya....," saya mengulur-ulur waktu.

"rambutnya kayak dora apa nggak?" tanya cipa lagi. saya terdiam sejenak. oh... "rambutnya kayak dora apa eng-gak?" tanya cipa memberi penekanan.

"hmm... iya, rambutnya agak-agak mirip dora gitu...," ucap saya sambil berusaha menahan tawa.

"iya, bener, rambutnya emang kayak dora, tapi agak panjang dikit belakangnya," ungkap cipa, merasa saya sudah bisa mengatakan tebakan yang benar. "terus, mukanya kayak gimana?" lanjutnya.

"mukanya..., ngg...," saya mengulur waktu lagi.

"mukanya kayak gimana? sebelah mukanya kayak gimana?" tanya cipa sambil membatasi sebelah mukanya dengan tangan, membongkar satu ciri-ciri lagi.

"hmm... mukanya... sebelahnya kayak ada apa gitu deh," ungkap saya pura-pura menebak, sambil pura-pura menerawang.

"iya, bener, sebelah mukanya kayak ada item-itemnya gitu," bongkar cipa.

hahaha. saya tak bisa berhenti menahan tawa. cipa-cipa, ngasih tebak-tebakan, kok dibongkar sendiri. dan, nggak sadar pula kalau dia sendiri malah yang ngasih clue. tepat pada sasaran.

"terus, dia gemuk apa kurus?" tebaknya lagi.

tapi, saya sudah tak bisa menahan tawa dan tak sempat mengulur waktu, "gemuk," jawab saya asal.

"salah, kurus," sahut cipa merasa menang. tapi saya, sudah nggak peduli, sibuk ketawa sampe sakit perut dan kemudian ketiduran karena kecapean.

pantaslah siang harinya kakak si ani sempat kesal karena cipa membongkar di mana letak kunci motor saya.

"nte wid, kunci motornya mana?" tanya si kakak ani dengan tampang polos.

"ada kok di tas," sahut saya, lalu sibuk kembali menyeruput sirop setelah salam-salaman. dan saya tak peduli karena yakin tadi saya menaruh kunci itu di tas.

"ante wid, kunci motornya mana?" cipa ikutan nimbrung.

"ada di tas," ulang saya.

"ada ga di tas?" tanya cipa lagi.

"ada," sahut saya lagi.

"ada ga?" desak cipa sambil senyum-senyum.



"eh," tatap saya curiga.

"kunci motornya ada ga di tas?" ulangnya lagi sambil tetap senyum-senyum.

dan, kecurigaan saya semakin tinggi. "kunci nte wid diumpetin ya?" todong saya langsung.

cipa langsung ketawa-ketawa. "nggak diumpetin... tadi bang isan nemu. jatoh pas nte wid salaman," jelasnya.




"huuu, cipa ah," sungut ikhsan yang sudah kelas satu sma kesal.

cipa, cipa. luv u, my niece.. :D





lebaran, 1431 H, 10 september 2010

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin