kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Thursday, April 30, 2009
ketika jarak menjadi samar, tak lagi terbaca
ya,
aku masih ingin berjalan bersama-Mu
jangan lepaskan genggaman tangan-Mu, kumohon
jangan biarkan aku mengabutkan waktu, mengaburkan arah-Mu
aku masih ingin menuju-Mu. selalu.
the picture!
Wednesday, April 22, 2009
Nasib Mereka di Ragunan
orang-orang datang ke kebun binatang itu, termasuk saya, gita, dan dua orang keponakan saya.
mencari kandang beruang pun penuh perjuangan. petunjuk arah di tempat itu benar-benar menyesatkan--apalagi, bagi saya yang buta arah.
setelah putar sana sini di tempat wisata yang cukup luas itu, beruang itu pun kami temukan, menyambut kami. jauh dari kesan "lucu" yang harusnya menjadi konsep umum untuk beruang--apalagi buat beruang madu.
"kasian banget beruangnya," celetuk lirih ponakan saya yang berumur lima tahun. saya menghela napas panjang.
yah, mungkin memang itulah risiko wisata murah.
tapi.... ah, memang kasian sekali nasib mereka.
Tuesday, April 14, 2009
Suatu Malam di Margonda
Sudah lama saya tidak mencuri dengar percakapan orang. Beberapa hari sebelum ini, di kios kebab di pinggir Jalan Margonda, saya—saat itu lagi nunggu sendirian—menangkap percakapan yang menurut saya menarik. Percakapan antara mas-mas penjual kebab dan seorang pengamen (tampaknya, kedua orang itu sudah saling kenal).
Awalnya, saya pikir, dia mau ngamen di depan saya dan dua orang pembeli lainnya. Namun, dia malah menaruh gitarnya dan mengambil kursi plastik. Nggak lama, si mas-mas tukang kebab mau menukar uang ribuan pada si pengamen.
“Tuker duit, dong,” kata si tukang kebab ke si pengamen.
Si pengamen berdiri dan mengeluarkan uang ribuannya. "Tau dah, cukup apa kagak," katanya dengan logat yang terdengar pas banget dengan lidahnya.
Dia mulai menghitung uang ribuannya di samping gerobak kebab itu, yang menghadap melintang dengan jalan. "Satu, dua, tiga ...." Dia menghitung uang itu dengan tangan kanannya, dengan mulut berkomat-kamit.
Saya melirik ke tangan si pengamen yang ada di depan saya itu, penasaran berapa uang yang dia dapat dan ikut menghitung juga dalam hati.
"Genepin aja," kata si mas-mas kebab sambil memasukkan sebungkus kebab ke dalam plastik—pesanan dua orang yang di sebelah saya.
Dia berhenti menghitung, saya juga. "Yah, cuma lima belas rebu," katanya sambil menyisakan beberapa lembar di tangan kiri. Mungkin, dua atau tiga ribu.
Setelah acara tukar-menukar, dia duduk di bangku plastik di sebelah kiri saya. Dua orang yang tadinya duduk di sebelah kanan saya sudah beranjak pergi. Pesanan kebab mereka sudah selesai.
Pesanan saya, tiga buah, baru mulai dibuat. Bakal makan waktu cukup lama nih, pikir saya dan mulai gelisah karena jalanan mulai sepi.
"Iya, sih, ngamen emang lebih gede dapetnya daripada kerja di pabrik," kata si tukang kebab. "Tapi, apa lo mau kayak gitu terus?"
“Iye, sih.” Si pengamen hanya senyum-senyum sambil mengambil minuman gelas dalam boks biru minuman dekat gerobak kebab.
“Kerja jadi SPG di Detos aja sebulan cuma dapet 800 rebu. Mending kalo rumahnya deket. Nah, kalo jauh, abis diongkos doang mah,” kata si pengamen lagi.
“Lo di mana tinggalnya?” tanya si tukang kebab.
“Noh, di Kober,” sahut si pengemen yang pake anting-anting di telinga sebelah kanannya itu, menyebutkan jalan yang tidak jauh dari kosan saya. “Selama ngamen, baru motor atu hasilnya,” lanjut si pengamen itu lagi.
“Motor apaan?” tanya tukang kebab. Saya semakin memasang kuping.
“RX King, taun 2004. Berapa, yak, lima belas juta,” sahut si pengamen.
Saya melongo. Hah? Lima belas juta? Itu hasil ngamen? Saya bertanya-tanya sendiri dalam hati.
“Berapa taun, eh berapa lama, tuh bisa dapet segitu?” Meskipun dia berusaha menyembunyikannya, jelas dalam suara si tukang kebab itu juga tersirat nada takjub atau lebih tepatnya, tak percaya.
“Berapa, yak? Ada kali dua taun,” jawab si pengamen. “Lebih kayaknya.”
“Tunai?” tanya si tukang kebab. Dia seakan-akan bisa membaca pikiran saya. Saya juga masih bertanya-tanya tentang uang lima belas juta itu.
“Iyak, kagak sanggup kalo kredit,” katanya.
Saya langsung membayangkan uang lima belas juta milik pengamen itu—dengan rasa iri. Hehe. Wow! Saya, bekerja hampir tiga tahun, bisa nabung berapa, ya? Wuahh…, nabung baju-baju doang di lemari. ;p Bisa beli apa, ya? Duh, nggak ada yang nilainya sampe lima belas jutaan tuh. Hebat juga dia bisa nabung segitu. Tapi, itu hasil ngamen semua? Pikiran-pikiran curiga mulai memenuhi benak saya.
“Oh…,” gumam si tukang kebab. “Iya, sih, gue juga mikir kayak lo dulu. Tapi, setelah gue kerja di sini, gue bisa nabung,” katanya sambil sibuk mengambil sayuran di ember di belakangnya, lalu memotong-motongnya cepat. Tampaknya, dia juga tak percaya akan hasil yang didapat si pengamen, tapi dia tidak mau berpikir bahwa pekerjaan jadi pengamen mengalahkan usaha yang dibangunnya. “Gue udah bisa buka usaha juga di daerah gue, Surabaya. Usaha kayak gini juga,” jelasnya sambil memotong daging untuk kebab pesanan saya dari pemanas daging.
Si pengamen cuma mengagguk-angguk. Entahlah, menurut saya, dia tidak berminat beralih profesi.
“Percaya nggak lo kalo dua tahun usaha ini bisa bikin rumah?” tanya si tukang kebab.
“Percaya,” sahut si pengamen cepat.
Saya pun langsung mengiyakan dalam hati.
Tampaknya, ketika mengajukan pertanyaan itu, si tukang kebab ingin mematrikan dalam dirinya dan juga dalam diri si pengamen bahwa bagaimanapun, usaha lebih baik daripada ngamen.
“Iye, di Margonda, apa aja mah laku.” Si pengamen memberi alasan.
“Nggak juga,” sanggah si tukang kebab. “Tuh, ayam bakar di sebelah mau tutup, bangkrut,” lanjutnya sambil menunjuk sekilas ke kios di belakangnya. Lalu, sibuk lagi membakar pesanan saya.
Saya ikut melihat ke arah tunjuk si tukang kebab sambil berguman, “Ooh….” dalam hati.
“Eh, ajarin main gitar, dong,” kata tukang kebab, mengalihkan obrolan. “Lo jago, kan, maennya.”
Si pengamen hanya tergelak, tampak tak percaya diri. “Yah, begitu aja, mah. Yang suaranya bagus mah cuman si Aris”—kayaknya dia nyebutin Aris yang menang Indonesian Idol itu.
“Kalo gue mah sukanya cuma ama grup Netral,” kata si mas-mas kebab, tidak melanjutkan obrolan tentang si Aris. Yah, padahal, saya pengen tahu gosip tentang Aris yang meninggalkan istrinya setelah dia jadi terkenal.
“Pasha juga,” kata si pengamen. “Dia mah bagusnya waktu ada Enda doang.”
Saya kurang menyimak. Dia ngomongin grup Ungu, ya?
“Dua tahun lalu, Pasha masih di Blok M tuh dia,” sambung si pengamen. Saya kurang menyimak obrolannya. Maksudnya, Pasha Ungu dulu ngamen juga, ya? Masa, sih?
Obrolan semakin hangat, nih. Tapi, kayaknya, kebab pesanan saya juga udah hampir siap.
“Yang deket sini lagi tuh gitarisnya Bunga,” kata si pengamen.
Si tukang kebab tidak merespons, tampaknya dia kurang familier dengan nama band yang dulu—kalo nggak salah—populer dengan lagu, /Kaasih, jangan kau pergi…/ na na na na na na…/
“Itu, yang dulu, yang sebelum anaknya Iwan Fals meninggal,” lanjut si pengamen. “Galang Rambu Anarki.”
“Oh, itu, yang anak Iwan Fals,” ulang si tukang kebab menyebutkan nama salah satu penyanyi favorit saya itu. “Siapa namanya?” tanyanya. Kayaknya, dia nggak denger kalo tadi si pengamen udah nyebutin nama anak Bang Iwan itu.
“Galang Rambu Anarki,” ulang si pengamen.
“Iye, si Galang itu.” Si pengamen menegaskan. “Dah meninggal, kan, ya?” Tukang kebab itu sudah membungkus kebab pesanan saya dengan kertas roti—bungkusan pertama.
“Iya, OD,” sahut si pengamen, merasa bangga dia tahu informasi itu.
“Eh, dia meninggalnya di daerah gue tuh, di Surabaya,” kata si tukang kebab. “Beneran deket rumah gue.” Tiba-tiba saja, si tukang kebab tahu sekali tentang peristiwa itu. Saya kurang tahu juga, Galang meninggal di mana, ya?
“Noh, Iwan Fals mau nyalonin diri jadi presiden,” celetuk si pengamen. Dia tertawa tertahan. “Gimana mau ngejaga negara, ngejaga anak aja kagak bisa,” lanjutnya.
Eh, dia ngomongin penyanyi favorit saya itu, ya? Ah, itu kan, masa lalu, Mas… hehe.
Si tukang kebab juga tidak menanggapi. Dia sibuk memasukkan kebab saya ke dalam bungkus khas-nya, kertas keras berbentuk persegi panjang agak mengerucut, berwarna kuning dengan tutup flip lipat yang ujungnya bisa diselipkan—hehe, deskripsi saya nggak bisa dibayangkan, ya? ;p
Saya berdiri, memberikan uang lima puluh ribuan pada si tukang kebab.
Si penjual kebab memberikan kantung plastik berisi tiga bungkus kebab, kemudian mengembalikan uang saya tujuh belas ribu rupiah.
Saya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kedua orang itu. Entah apa lagi yang mereka percakapan. Mungkin tentang Pasha Ungu tadi. Hehehe. Beneran dulu dia ngamen di Blok M?
Awalnya, saya pikir, dia mau ngamen di depan saya dan dua orang pembeli lainnya. Namun, dia malah menaruh gitarnya dan mengambil kursi plastik. Nggak lama, si mas-mas tukang kebab mau menukar uang ribuan pada si pengamen.
“Tuker duit, dong,” kata si tukang kebab ke si pengamen.
Si pengamen berdiri dan mengeluarkan uang ribuannya. "Tau dah, cukup apa kagak," katanya dengan logat yang terdengar pas banget dengan lidahnya.
Dia mulai menghitung uang ribuannya di samping gerobak kebab itu, yang menghadap melintang dengan jalan. "Satu, dua, tiga ...." Dia menghitung uang itu dengan tangan kanannya, dengan mulut berkomat-kamit.
Saya melirik ke tangan si pengamen yang ada di depan saya itu, penasaran berapa uang yang dia dapat dan ikut menghitung juga dalam hati.
"Genepin aja," kata si mas-mas kebab sambil memasukkan sebungkus kebab ke dalam plastik—pesanan dua orang yang di sebelah saya.
Dia berhenti menghitung, saya juga. "Yah, cuma lima belas rebu," katanya sambil menyisakan beberapa lembar di tangan kiri. Mungkin, dua atau tiga ribu.
Setelah acara tukar-menukar, dia duduk di bangku plastik di sebelah kiri saya. Dua orang yang tadinya duduk di sebelah kanan saya sudah beranjak pergi. Pesanan kebab mereka sudah selesai.
Pesanan saya, tiga buah, baru mulai dibuat. Bakal makan waktu cukup lama nih, pikir saya dan mulai gelisah karena jalanan mulai sepi.
"Iya, sih, ngamen emang lebih gede dapetnya daripada kerja di pabrik," kata si tukang kebab. "Tapi, apa lo mau kayak gitu terus?"
“Iye, sih.” Si pengamen hanya senyum-senyum sambil mengambil minuman gelas dalam boks biru minuman dekat gerobak kebab.
“Kerja jadi SPG di Detos aja sebulan cuma dapet 800 rebu. Mending kalo rumahnya deket. Nah, kalo jauh, abis diongkos doang mah,” kata si pengamen lagi.
“Lo di mana tinggalnya?” tanya si tukang kebab.
“Noh, di Kober,” sahut si pengemen yang pake anting-anting di telinga sebelah kanannya itu, menyebutkan jalan yang tidak jauh dari kosan saya. “Selama ngamen, baru motor atu hasilnya,” lanjut si pengamen itu lagi.
“Motor apaan?” tanya tukang kebab. Saya semakin memasang kuping.
“RX King, taun 2004. Berapa, yak, lima belas juta,” sahut si pengamen.
Saya melongo. Hah? Lima belas juta? Itu hasil ngamen? Saya bertanya-tanya sendiri dalam hati.
“Berapa taun, eh berapa lama, tuh bisa dapet segitu?” Meskipun dia berusaha menyembunyikannya, jelas dalam suara si tukang kebab itu juga tersirat nada takjub atau lebih tepatnya, tak percaya.
“Berapa, yak? Ada kali dua taun,” jawab si pengamen. “Lebih kayaknya.”
“Tunai?” tanya si tukang kebab. Dia seakan-akan bisa membaca pikiran saya. Saya juga masih bertanya-tanya tentang uang lima belas juta itu.
“Iyak, kagak sanggup kalo kredit,” katanya.
Saya langsung membayangkan uang lima belas juta milik pengamen itu—dengan rasa iri. Hehe. Wow! Saya, bekerja hampir tiga tahun, bisa nabung berapa, ya? Wuahh…, nabung baju-baju doang di lemari. ;p Bisa beli apa, ya? Duh, nggak ada yang nilainya sampe lima belas jutaan tuh. Hebat juga dia bisa nabung segitu. Tapi, itu hasil ngamen semua? Pikiran-pikiran curiga mulai memenuhi benak saya.
“Oh…,” gumam si tukang kebab. “Iya, sih, gue juga mikir kayak lo dulu. Tapi, setelah gue kerja di sini, gue bisa nabung,” katanya sambil sibuk mengambil sayuran di ember di belakangnya, lalu memotong-motongnya cepat. Tampaknya, dia juga tak percaya akan hasil yang didapat si pengamen, tapi dia tidak mau berpikir bahwa pekerjaan jadi pengamen mengalahkan usaha yang dibangunnya. “Gue udah bisa buka usaha juga di daerah gue, Surabaya. Usaha kayak gini juga,” jelasnya sambil memotong daging untuk kebab pesanan saya dari pemanas daging.
Si pengamen cuma mengagguk-angguk. Entahlah, menurut saya, dia tidak berminat beralih profesi.
“Percaya nggak lo kalo dua tahun usaha ini bisa bikin rumah?” tanya si tukang kebab.
“Percaya,” sahut si pengamen cepat.
Saya pun langsung mengiyakan dalam hati.
Tampaknya, ketika mengajukan pertanyaan itu, si tukang kebab ingin mematrikan dalam dirinya dan juga dalam diri si pengamen bahwa bagaimanapun, usaha lebih baik daripada ngamen.
“Iye, di Margonda, apa aja mah laku.” Si pengamen memberi alasan.
“Nggak juga,” sanggah si tukang kebab. “Tuh, ayam bakar di sebelah mau tutup, bangkrut,” lanjutnya sambil menunjuk sekilas ke kios di belakangnya. Lalu, sibuk lagi membakar pesanan saya.
Saya ikut melihat ke arah tunjuk si tukang kebab sambil berguman, “Ooh….” dalam hati.
“Eh, ajarin main gitar, dong,” kata tukang kebab, mengalihkan obrolan. “Lo jago, kan, maennya.”
Si pengamen hanya tergelak, tampak tak percaya diri. “Yah, begitu aja, mah. Yang suaranya bagus mah cuman si Aris”—kayaknya dia nyebutin Aris yang menang Indonesian Idol itu.
“Kalo gue mah sukanya cuma ama grup Netral,” kata si mas-mas kebab, tidak melanjutkan obrolan tentang si Aris. Yah, padahal, saya pengen tahu gosip tentang Aris yang meninggalkan istrinya setelah dia jadi terkenal.
“Pasha juga,” kata si pengamen. “Dia mah bagusnya waktu ada Enda doang.”
Saya kurang menyimak. Dia ngomongin grup Ungu, ya?
“Dua tahun lalu, Pasha masih di Blok M tuh dia,” sambung si pengamen. Saya kurang menyimak obrolannya. Maksudnya, Pasha Ungu dulu ngamen juga, ya? Masa, sih?
Obrolan semakin hangat, nih. Tapi, kayaknya, kebab pesanan saya juga udah hampir siap.
“Yang deket sini lagi tuh gitarisnya Bunga,” kata si pengamen.
Si tukang kebab tidak merespons, tampaknya dia kurang familier dengan nama band yang dulu—kalo nggak salah—populer dengan lagu, /Kaasih, jangan kau pergi…/ na na na na na na…/
“Itu, yang dulu, yang sebelum anaknya Iwan Fals meninggal,” lanjut si pengamen. “Galang Rambu Anarki.”
“Oh, itu, yang anak Iwan Fals,” ulang si tukang kebab menyebutkan nama salah satu penyanyi favorit saya itu. “Siapa namanya?” tanyanya. Kayaknya, dia nggak denger kalo tadi si pengamen udah nyebutin nama anak Bang Iwan itu.
“Galang Rambu Anarki,” ulang si pengamen.
“Iye, si Galang itu.” Si pengamen menegaskan. “Dah meninggal, kan, ya?” Tukang kebab itu sudah membungkus kebab pesanan saya dengan kertas roti—bungkusan pertama.
“Iya, OD,” sahut si pengamen, merasa bangga dia tahu informasi itu.
“Eh, dia meninggalnya di daerah gue tuh, di Surabaya,” kata si tukang kebab. “Beneran deket rumah gue.” Tiba-tiba saja, si tukang kebab tahu sekali tentang peristiwa itu. Saya kurang tahu juga, Galang meninggal di mana, ya?
“Noh, Iwan Fals mau nyalonin diri jadi presiden,” celetuk si pengamen. Dia tertawa tertahan. “Gimana mau ngejaga negara, ngejaga anak aja kagak bisa,” lanjutnya.
Eh, dia ngomongin penyanyi favorit saya itu, ya? Ah, itu kan, masa lalu, Mas… hehe.
Si tukang kebab juga tidak menanggapi. Dia sibuk memasukkan kebab saya ke dalam bungkus khas-nya, kertas keras berbentuk persegi panjang agak mengerucut, berwarna kuning dengan tutup flip lipat yang ujungnya bisa diselipkan—hehe, deskripsi saya nggak bisa dibayangkan, ya? ;p
Saya berdiri, memberikan uang lima puluh ribuan pada si tukang kebab.
Si penjual kebab memberikan kantung plastik berisi tiga bungkus kebab, kemudian mengembalikan uang saya tujuh belas ribu rupiah.
Saya mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kedua orang itu. Entah apa lagi yang mereka percakapan. Mungkin tentang Pasha Ungu tadi. Hehehe. Beneran dulu dia ngamen di Blok M?
Wednesday, April 08, 2009
Carano
sumber foto: koleksi pribadi |
Carano adalah syarat meminang, kata Amak sambil mengalati isi carano itu. Sirih lengkap dengan kapur, gambir, pinang, dan juga tembakau. Kata Amak, dalam rasa sirih yang pahit dan manis, ada simbol harapan dan kearifan manusia menyikapi kekurangannya. Arai pinang berwarna kuning jernih pagi melingkari sekeliling bagian dalam carano yang terbuat dari kuningan itu. Menjaga harapan dan kearifan. Dalamak, kain dengan motif warna merah, kuning, hitam, serta kilapan benang emas dan cermin-cermin kecil—yang membawa warna kebahagiaan yang sakral—menutupi carano yang telah lengkap.
Subscribe to:
Posts (Atom)