kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Tuesday, October 28, 2008
Kau Tahu
sayap ini semakin rapuh
tak mampu bawa harapan dan doa itu meninggi lagi
sudah sejak lama, aku tahu
ia membenci angin,
tapi selalu ingin terbang
ia membenci arah,
tapi selalu ingin kembali ke pondok di tepi sungai itu
kali ini,
kau tahu siapa yang akan menyerah
bukan kalah, hanya terlalu lelah
Patah
ada dahan yang patah pagi tadi
di jalan yang kulewati dengan gegas yang terburu-buru
mungkin hujan semalam begitu deras
entahlah--aku begitu lelap
merekatkan keping-keping mimpi--yang tak akan kuselesaikan, sungguh
dahan itu patah pagi tadi atau sudah sejak malamnya?
dihempaskan angin? berderakkah suaranya?
entahlah
yang kutahu, ia patah
padahal, kemarin, di sana, bau rumput yang dipotong disesap pagi
tak sempat kumasukkan tabung kaca, seperti aroma senja yang lalu itu
--aku juga terlalu terburu-buru kali itu
ah, sudahlah,
sepertinya, aku hanya perlu tidak terlalu terburu-buru
Teluk Mandar, 28/10/08
Monday, October 27, 2008
Perompak
Dia pikir, kematian suaminya dapat membuatnya tenang. Bahkan, bisa dibilang, dia mengharapkan kematian suaminya itu. Mungkin, telah bertumpuk-tumpuk doa agar kematian itu segera tiba.
Ah, mengingat saat suaminya pulang, ia selalu seperti melihat seorang perompak pulang, dengan sekeranjang luka, buatnya.
Dan, sekarang, kematian itu menjelma. Namun, entah kenapa, rindu pun ikut menjelma.
Usianya semakin akrab dengan senja, saling menyapa dan menitip salam. Dan, tiba-tiba saja, dia rindu pada wajah perompak itu, pada dekapnya yang mengguratkan banyak luka di setiap sudut tubuhnya.
Dia tidak hanya sekadar rindu. Dia ingin perompak itu ada di sini. Dia dalam ketakutan sekarang. Di antara deru hujan yang terdengar lebih menakutkan daripada gemuruh suara perompak itu, suaminya yang telah menjelma kematian.
Benarkah, ia kehilangan? Kehilangan sekeranjang luka itu? Entahlah.
Dia tidak dapat jernih berpikir. Di sudut kamarnya, onggokan batu hitam meninggi. Tembok batu hitam yang dibangunnya--antara dirinya dan diri perompak itu--luluh lantak. Membuka ruang yang ada di balik tembok itu.
Kemarin, baru saja kemarin, semua onggokan batu itu berjatuhan--entah siapa yang menjatuhkannya. Ia begitu ketakutan. Akan sesuatu yang ada di balik tembok itu. Yang selama ini ia takuti. Tapi, nyatanya, tidak ada apa-apa di balik tembok batu itu.
Tidak ada apa-apa di sana. Jadi, apa yang ia takuti selama ini?
Ia hanya menemukan dirinya. Sendirian.
Perompak itu sudah menjelma kematian.
Sekeranjang luka pun tak pernah ia bawakan lagi. Atau, memang tidak pernah ia bawakan?
Subscribe to:
Posts (Atom)