Penjual Kenangan

Friday, February 29, 2008

Kenangan Selalu Dilarikan Masa Lalu






Februari.

Masih penghujan. Ya, memang masih.

Marilah kita bercakap. Kau mau, kan? Ah, kau selalu terlalu banyak diam. Atau, aku yang selalu tidak punyak banyak waktu. Terbenam dalam langkah-langkahku sendiri, dalam arahku sendiri. Maaf.

Marilah duduk bersamaku. Kita bercerita. Bukankah kita pernah bercerita panjang, dahulu? Ah, aku lupa mengapa kita begitu sedih saat bercakap kali itu. Cerita yang diakhiri dengan tangisku. Juga tangismu. Ah, kau, seharusnya kau tidak menangis.

Kita juga pernah bercakap lama setelah jauh dari percakapan kita sebelumnya. Kita akhiri dengan air mata juga, benarkah? Ah, mungkin, karena itu kau, ah, bukan kau, aku, kita, tidak pernah bercerita lama lagi. Kita tidak ingin menangis lagi. Benarkah?

Tapi, marilah bercakap malam ini. Aku tidak akan membawakan cerita sedih. Aku juga tidak akan memarahimu. Memintamu melakukan ini itu. tidak akan menyuruhmu mengubah arah langkahmu. Tidak. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan membuatmu menangis.

Jadi, marilah duduk bersamaku, kita bercakap.

Kita akan bicara tentang tawa.

Atau, kita bicarakan tentang hujan saja. Tahukah kau, dalam Februari, dalam butir-butir hujannya yang jatuh, dia selalu menyelipkan cerita buatmu. Ah, sebenarnya, tidak hanya Februari. Selalu ada cerita untukmu yang terselip dalam setiap detak.

Namun, dalam Februari, hujan membawakan kembali kenangan-kenangan yang dilarikan masa lalu. Tentangmu, tentu saja. Maafkan aku lagi. Kenangan ini mungkin tidak sebanyak yang kita pikir. Dan, banyak yang memburam begitu saja. Tidak dapat diterka ada dalam cerita yang mana. Maaf, aku tidak merekatkannya erat. Mungkin, tangan-tanganku terlalu kecil saat itu, apalagi tanganmu. Masa kanak-kanak kita tidak dalam langkah yang sama. Aku menjauh, dipilihkan takdir. Dan, ketika aku tahu, waktu telah memilihmu untuk berjalan bersama.

Kenangan itu akan kembali dilarikan masa lalu. Akan selalu terjadi pada kenangan, bukan?

Tapi, kau. Kau bukan kenangan.

Kita akan selalu bercerita. Bersama. Tentang apa saja—dan tidak akan kita akhiri dengan tangis, tentu saja. Kita akan selalu bersama bahagia.

Subuh datang tidak terlalu terburu-buru kali ini. Ia masih di sini. Saat ia Kembali, aku ingin titipkan satu cerita kepada-Nya, untukmu—semoga sampai juga pesan singkat itu, “Aku rindu kepadamu, adikku”. Tahun selalu terburu-buru, terlalu mencintai masa lalu.

Ah, maaf, lagi-lagi, aku tidak bisa tidak menangis saat membicarakanmu.


Februari 2008--"hari lahirmu tertera dalam catatan pengingat. semoga engkau bersama bahagia di Sana"

1 comment:

Warna Diri said...

Iwied, sedih sekali saya membaca cerita ini :(.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin