Kita akhiri di sini saja. Apa lagi yang dipertaruhkan? Semua sudah selesai. Matahari telah diselamatkan. Jadi, apa lagi yang kau-aku tunggu? Di malam yang tak hujan, kau bilang ceritamu tak akan habis sampai jutaan tahun. Tapi, "kita tak punya waktu hingga sejuta tahun"*, bukan?
Persimpangan juga tak menarik lagi untuk diperdebatkan. Dan, ceritamu selalu kutahu akhirnya--meski dahulu selalu kudengar. Sudahlah. Mungkin, ini akhir dari pertaruhan yang selama ini kau-aku pertanyakan.
Selamat tinggal, aku yang mengucapkannya kali ini. Tidak dengan lambaian. Tidak dengan tolehan--pun sejenak. Agar tidak ada harapan yang tertinggal, kata mereka-mereka.
Peta menuju rumah masih tersimpan di selipan buku-buku di rak kamarku. Belum begitu buram kurasa. Aku akan belajar membacanya. Belajar membaca arahku sendiri. Bukan arah kau-aku.
*dari Paris Je t'aime--fragmen-fragmen cinta yang memesona--
kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Tuesday, September 25, 2007
Sunday, September 02, 2007
MENINGGALKANNYA
semakin jauh di belakang, kami meninggalkannya
lapangan terbang peninggalan zaman Belanda
yang dibangun oleh jengkal-jengkal lelah bangsa Indonesia,
mereka yang kemudian tak sempat bertemu kembali dengan wajah-wajah pucat--orang-orang tercinta--yang mungkin menunggu di kaki gunung, di sudut-sudut kengerian
mungkin kesakitan atas peluru yang menembus tubuh-tubuh kering mereka tak sempat lagi terasa,
di sana, tampaknya mereka akan terlalu merindukan kehangatan tungku perapian rumah dan senyum hangat perempuan-perempuan mereka
semakin jauh di belakang kami,
ada sisa-sisa, tanda-tanda, adanya pembangunan
sebuah lapangan terbang,
konon.
--Cibunar, Argopuro/Agustus 2007--
dalam perjalanan
Subscribe to:
Posts (Atom)