sudah, sudahlah, nak
lihatlah ibu,
ibu sering kali dilamun ombak, nak
sudah, nak, sudahlah ....
jangan biarkan airmata itu jatuh lagi
malam ini, tiba-tiba, aku ingat lagi ucapan ibu
bu, maaf. aku terus-terusan sibuk menghitung waktu
lama tak memberi kabar
lama tak menanyakan kabar
maaf, bu
margonda, 15/4/07
kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Sunday, April 15, 2007
percakapan di antara pagi
Tuesday, April 03, 2007
Dalam Kereta
[1]
dalam kereta:
di belakang kita, bulan sabit kehilangan langit.
biarkan saja, katamu.
kita kembali bercerita
stasiun masih jauh
dalam kereta:
di belakang kita, bulan sabit kehilangan langit.
biarkan saja, katamu.
kita kembali bercerita
stasiun masih jauh
DI TAMAN
SITUASI:
Seekor kupu-kupu mencari mimpi di kelopak-kelopak bunga seruni.
Seorang gadis duduk di bangku kayu. Menatapi sketsa.
Sketsa: dua orang sahabat bicara dalam diam.
Saling berdusta pada masa lalu
tentang senja yang mereka namai warnanya
tentang malam yang menjelma dongeng di mimpi-mimpi mereka
tentang hujan pagi yang lamat-lamat mengamini doa mereka
tentang bintang yang (tak) pernah mati; masih menyisakan cahaya.
Sketsa: dua orang sahabat saling berdusta pada masa lalu
Ilalang yang tak pernah percaya pada waktu resah, “Aku dititipi rahasia,” katanya.
Seorang gadis menatapi sketsa. Sketsa yang tak ingin bercerita banyak di warnanya.
“Apakah ini sketsa tentang seorang gadis yang jatuh cinta?” tanyaku. Meragu. Kau pun.
Warna sketsa itu begitu sulit direka. Goresan yang samar-samar, ragu-ragu. Seakan-akan belum selesai.
Sketsa itu. Kita pernah melihatnya di sebuah toko antik milik seorang perempuan tua. Di masa lalu.
Di senja ini, tiba-tiba saja, aku dan kau telah duduk di antara gadis, kupu-kupu, dan ilalang: sketsa. Kita duduk berlama-lama. Kita masih takut membaca goresan warna di sketsa itu. Takut terlalu sederhana menceritakannya. Atau takut tak bisa menceritakan kisah yang sama? Entah.
Gadis itu masih menatapi sketsa yang sama. Kupu-kupu masih mencari mimpi di kelopak-kelopak bunga seruni. Ilalang masih tak percaya pada waktu. Dua sahabat masih berdusta pada masa lalu.
Dan, kita masih duduk berlama-lama.
Di sketsa ini?
Di senja ini?
Seekor kupu-kupu mencari mimpi di kelopak-kelopak bunga seruni.
Seorang gadis duduk di bangku kayu. Menatapi sketsa.
Sketsa: dua orang sahabat bicara dalam diam.
Saling berdusta pada masa lalu
tentang senja yang mereka namai warnanya
tentang malam yang menjelma dongeng di mimpi-mimpi mereka
tentang hujan pagi yang lamat-lamat mengamini doa mereka
tentang bintang yang (tak) pernah mati; masih menyisakan cahaya.
Sketsa: dua orang sahabat saling berdusta pada masa lalu
Ilalang yang tak pernah percaya pada waktu resah, “Aku dititipi rahasia,” katanya.
Seorang gadis menatapi sketsa. Sketsa yang tak ingin bercerita banyak di warnanya.
“Apakah ini sketsa tentang seorang gadis yang jatuh cinta?” tanyaku. Meragu. Kau pun.
Warna sketsa itu begitu sulit direka. Goresan yang samar-samar, ragu-ragu. Seakan-akan belum selesai.
Sketsa itu. Kita pernah melihatnya di sebuah toko antik milik seorang perempuan tua. Di masa lalu.
Di senja ini, tiba-tiba saja, aku dan kau telah duduk di antara gadis, kupu-kupu, dan ilalang: sketsa. Kita duduk berlama-lama. Kita masih takut membaca goresan warna di sketsa itu. Takut terlalu sederhana menceritakannya. Atau takut tak bisa menceritakan kisah yang sama? Entah.
Gadis itu masih menatapi sketsa yang sama. Kupu-kupu masih mencari mimpi di kelopak-kelopak bunga seruni. Ilalang masih tak percaya pada waktu. Dua sahabat masih berdusta pada masa lalu.
Dan, kita masih duduk berlama-lama.
Di sketsa ini?
Di senja ini?
Subscribe to:
Posts (Atom)