GagasMedia. Sahabat saya yang kali pertama berada di balik “kubikel” penerbit itu. Sebuah penerbit bacaaan popluer untuk anak muda. Saat itu, kami baru saja lulus dari fakultas sastra, fresh graduate, dengan bekal ilmu teori-teori sastra berjejalan di kepala. Perusahaan dengan label “penerbit buku populer” itu kemudian menjadi tempat bekerja sahabat saya sebagai editor penuh waktu.
Saat sahabat saya masuk GagasMedia, saya baru saja meninggalkan sebuah penerbit ternama yang fokus ke buku pelajaran dan memutuskan menjadi editor lepas. Tak lama kemudian, sahabat saya pun ikut memilih bekerja “di luar redaksi” karena kami masih jet lag dengan “karya populer”.
Suatu hari, setelah kami menjadi editor lepas selama dua tahun, sahabat saya kembali masuk jadi editor in house di GagasMedia, di rumah besar Montong 57. Lalu, setahun kemudian, saya menyusul ke rumah di bilangan selatan Jakarta itu, tetapi di penerbit dan fokus terbitan yang berbeda. Saat itu, saya juga sudah berkesempatan menulis buku di GagasMedia, sebuah novel remaja.
Editor lepas dan penulis adalah langkah awal saya di GagasMedia. Namun, kau tidak akan pernah menebak ke mana langkahmu, kan? Suatu kali, saya hijrah dari Montong 57, tetapi ternyata tak lama saya kembali ke rumah besar itu lagi. Seakan ada cinta yang memanggil kembali ke sana. Saya masuk ke sister company-nya GagasMedia, memegang lini fiksi yang baru akan dimulai. Lalu, dua tahun lebih kemudian, jalan takdir membawa saya ke balik “kubikel” GagasMedia.
Hingga kini, sudah sepuluh tahun saya “bekerja” di bidang penerbitan. Saya sebut “bekerja” karena sejak sepuluh tahun lalu itulah saya mulai mendapatkan uang di bidang ini, dimulai dari jadi korektor/penyelaras aksara dengan honor 750 rupiah per halaman, yang berperan besar dalam langkah saya dan sahabat saya. Dalam sepuluh tahun itu, sekitar tujuh tahunnya saya habiskan “berkeliaran” di Montong 57, rumah besar dengan halaman hijau luasnya, yang selalu membuat para penulis yang datang berbinar melihat keasriannya.
Pada bulan ini, setelah beberapa lama dipercaya memegang desk fiksi GagasMedia, saya mengirimkan pesan melalui surel kepada para penulis. Berterima kasih untuk tahun-tahun menyenangkan berkerja sama sebagai editor mereka. Rasa haru menyesak ketika mendapati rasa sedih teman-teman penulis atas surel saya. Orang-orang yang saya kenal dengan baik tak hanya dalam hitungan hari. Orang-orang yang memercayakan karya berharganya, yang bahkan ada yang ditulis dalam hitungan tahun.
Mungkin, kepercayaan mereka itulah yang membuat saya ingin menjadi editor terbaik untuk mereka. Untuk karya mereka. Berharap tak mengecewakan ketika karya itu terpampang di toko buku dan sampai ke tangan pembaca. Berharap ketika karya itu keluar dari mesin cetak, itu memang sudah hal terbaik yang bisa saya berikan. Meski terkadang itu tak mudah, yang penting kita telah berusaha, bukan? Bukan ingin segala-galanya sempurna, melainkan hanya mencoba memberikan hal terbaik yang kita bisa.
Rasanya gombalan tentang profesi editor, “Tanda koma aja diperhatiin, apalagi kamu” bisa dipercaya. Selain memperhatikan tanda koma, editor juga sering berdoa. Berdoa agar sebuah buku yang diedit bisa segera cetak ulang hanya karena ada tanda koma yang terlewat. Juga kerap berdoa royalti yang kelak diterima penulis banyak-banget-banget agar penulis bahagia—
Rasanya, menjadi editor bukanlah paket hemat. Bukan juga sekadar seseorang (berkacamata) di balik laptop, yang duduk tenang di balik kubikelnya.
Dia adalah seseorang, dengan paket komplet. Dan, itulah yang saya pelajari lama di sebuah rumah dengan pintu bercat putih nomor 57 itu.
Menjadi editor, dia terkadang perlu waktu panjang untuk menulis sebuah surat yang berisi salam perpisahan. Memilah kata-kata sambil hanyut dalam cerita-cerita lama.
Dan, beberapa hari lalu, seorang editor mengucapkan salam perpisahan kepada para penulis tercintanya. Dia tidak lagi berkantor di rumah besar nomor 57. Editor itu, selama sepuluh tahun menjalani profesinya, dia sempat berpikir tak akan pernah mencapai cita-cita masa kecilnya sebagai insinyur, sarjana teknik.
Namun, mungkin dia salah. Jika dipikir-pikir, menjadi editor rasanya juga sudah seperti seorang insinyur; insinyur buku. Dia bisa “membangun” banyak buku. Bahkan, hingga tinggi sampai ke langit, tempat orang-orang menggantungkan mimpi-mimpi.
Semoga.
Lagi pula, salam perpisahan bukan selalu berarti akhir sebuah cerita. Bisa jadi, itu adalah awal mula yang lainnya, bukan? :)
Salam hangat,
Widyawati Oktavia, seorang editor