gambar pinjam di sini! |
Aku menatap bingkai foto yang akan kuturunkan.
Foto saat
kami di sebuah pantai saat masih berkencan. Bisa dibilang, di sinilah aku
menyadari bahwa aku mencintai laki-laki yang ada di sampingku itu dengan
sangat. Cinta yang yang tak akan pernah tergantikan oleh apa pun. Saat kami
menikah, aku pulalah yang akhirnya mencetak dan membingkai foto ini. Bagus.
Hanya itulah yang kusampaikan kepada laki-laki yang telah menjadi suamiku.
Tanpa pernah menyampaikan alasan sebenarnya.
Dan, hari ini, menatap foto dua
orang berjalan bergandengan tangan di tepi pantai dengan bayangan memantul di
bawah mereka, mataku memanas. Tuhan, jangan sampai aku menangis. Tidak. Aku
tidak boleh lemah. Aku buru-buru meraih bingkai itu, tetapi ternyata tanganku
tidak sampai. Aku perlu kursi, sementara kursi-kursi sudah berada di mobil boks
sewaan yang ada di halaman rumah. Siap membawa semua barang yang ada di rumah
ini.
Saat aku memaksa untuk berjinjit meraih bingkai itu, sebuah
suara menghentikanku.
“Hei, kenapa tidak minta bantuanku?” tanyanya. Ia sudah
berada di sampingku, bersiap menjangkau bingkai itu.
“Aku bisa sendiri, kok. Cuma mengambil bingkai itu saja,”
sahutku, berharap tak ada air mata yang membias.
Bingkai foto itu sudah berada di tangannya. Laki-laki itu menatapnya
lama, hal yang tak aku duga.
Dia menoleh kepadaku, bertanya, “Kau mau menyimpannya?”
Aku menjawab cepat. “Tentu saja, ini foto bagus. Aku suka,
entah denganmu.”
“Oh, iya, maksudku….” Ia tampak menahan kata-katanya, dan
aku pun mencoba tak tertarik mendengar lanjutannya. Memang dia yang membelikan
bingkai itu, tetapi bukan berarti bingkai dan foto ini menjadi miliknya, kan?
“Maksudku, kalau kau tidak keberatan, sebenarnya, aku ingin
menyimpannya. Aku tidak punya foto kita yang tercetak.” Ia melanjutkan, seakan
ada nada takut-takut dalam suaranya.
Aku tercekat. Tak pernah berpikir ia berniat menyimpan foto
kami ini.
“Kau tahu,” lanjutnya, “ada sesuatu yang berarti dalam foto
itu. Tapi, mungkin memang sudah tidak ada artinya lagi saat ini.” Ia menatap
kami yang berjalan di tepi pantai kala petang menjelang.
“Iya, efek senja di foto ini memang cukup dramatis,” selaku,
tak ingin membicarakan apa-apa lagi saat ini—apalagi, yang terkait dengan
perasaan.
“Bukan itu,” balasnya. Dalam beberapa jeda, ia melanjutkan, “Kau
tahu, jika aku harus memilih, itulah hari yang ingin terus kuulang selama
hidupku. Hari saat aku paham arti bahagia.”
Ada hening yang panjang di ruang keluarga yang dulu pernah
kami sesaki dengan cinta. Hening yang dengan ganjilnya kemudian menjelma angin
dingin yang bagai angin berembus ke hatiku yang porak-poranda. Membekukannya
segala hal yang ada di sana.
“Amy,” ucapnya, meraih tanganku untuk ia genggam. “Kalau
suatu hari nanti kau mau memaafkanku—“
Ucapannya terputus. Suara klakson mobil boks yang kami sewa
sudah menunggu.
Aku melarikan tanganku yang ia genggam longgar ke bingkai
foto yang masih ia pegang dengan tangan yang sebelah lagi.
Klakson mobil boks yang sudah lama menunggu itu memanggil
sekali lagi.
Tak ada waktu panjang untuk membicarakan sebuah bingkai foto
tua. Sudah sepuluh tahun berlalu. Banyak yang berubah.
Juga perasaan.
Dan, memang sudah saatnya kami berpisah. Pindah ke tempat
hati masing-masing merasa nyaman.
Ke mana pun. Yang pasti, bukan lagi di dalam sesuatu yang
sebelumnya kami sebut sebagai perkawinan.
***
*504 kata, praktik menulis tentang "pindah" dalam waktu 15 menit (pukul 1.10—1.25 WIB),
1 Februari 2014
1 Februari 2014