Untuk kau yang berkenan duduk bersama, saya ingin berbagi sebuah
draf awal yang belum pernah saya publikasikan. Ini merupakan sebuah versi
cerita pendek yang akhirnya bermetamorfosis menjadi cerita pendek “Penjual
Kenangan” yang dimuat di buku saya yang terbaru.
[Penjual Kenangan: A First Draft Version]
Subuh, saat hari masih kelam, perempuan itu sudah menyusuri jalan-jalan
yang tentu saja masih lengang. Dengan karung di bahunya, ia tampak seperti
pemulung. Tapi, ia bukanlah pemungut barang-barang bekas itu. Meskipun katanya
uang yang didapat para pemulung itu bisa membangun rumah mewah di kampung
halaman mereka, perempuan itu tak tertarik pada pekerjaan itu. Ia bukan
pemulung walaupun orang-orang tetap menganggapnya demikian. Ia juga mengais-ngais tempat sampah, ia juga mengumpulkan hal
yang telah dibuang orang-orang, ia memang seperti pemulung itu. Tapi, perempuan itu bukan mengumpulkan sampah. Perempuan itu
mengumpulkan kenangan. Kenangan yang telah dicampakkan orang-orang di tempat
sampah, di trotoar-trotoar sepanjang jalan, ataupun di selokan-selokan air. Tak
peduli kenangan yang indah atau kenangan yang buruk (sedikit robek atau rusak
sama sekali), tetap ia kumpulkan.
Kenangan indah adalah
barang yang langka baginya, barang seperti itu jarang ia temukan terserak. Ia
tahu, pasti orang-orang telah menyimpan kenangan macam itu baik-baik. Dijaga
dengan sepenuh hati. Yang banyak ditemukannya bergeletakan di pinggir jalan
adalah kenangan yang sudah rusak. Kenangan yang rusak sama sekali biasanya ia
temukan terbenam di tempat sampah, berbaur dengan sampah-sampah busuk. Bagi
orang-orang pasti sulit membedakan sampah dan kenangan. Namun, tidak bagi
perempuan ini. Ia sudah sangat akrab dengan hal yang bernama kenangan. Ia
sangat bisa membedakan sampah dan kenangan. Jadi, tak heran perempuan ini sudah
mempunyai banyak sekali koleksi kenangan. Kenangan-kenangan yang ia pungut itu
kemudian dibersihkannya, kemudian diberi bingkai kayu sederhana.
Perempuan ini tidak
hanya mengumpulkan kenangan itu untuk kesenangan saja. Ia mengumpulkannya untuk kemudian menjualnya. Ia mempunyai kios di pinggir jalan. Kios
kecil yang buka setiap pukul sembilan pagi sampai pukul sepuluh malam itu tampak sedikit suram. Namun, tulisan “Penjual
Kenangan” di depan toko itu cukup menarik perhatian orang-orang. Orang yang
melewati kios itu pasti memalingkan wajahnya, sekadar melihat sekilas isi toko
itu. Awalnya, orang-orang menganggap toko dan juga
perempuan penjual kenangan itu aneh. Kenangan yang telah dibuang kok dijual?
Ada-ada saja, pikir mereka. Siapa yang mau membeli?
Memasuki toko itu
harus mempunyai keberanian. Keberanian untuk melihat berbagai kenangan, baik
dan buruk. Dan, jarang ada orang yang mempunyai
keberanian seperti itu. Orang-orang lebih memilih melewati begitu saja toko itu
karena mereka takut melihat kenangan-kenangan di dalam toko itu. Mereka takut saat melihatnya menemukan kembali kenangan
yang telah mereka buang atau bahkan telah dibenamkan dalam sampah-sampah.
Namun, perempuan penjual kenangan itu tahu bahwa ada beberapa orang yang
melirik isi toko itu dengan ekor matanya saat melewatinya. Orang-orang ini
adalah orang-orang yang takut akan kenangan yang telah ia campakkan, tetapi
sebenarnya ia berharap dapat melihatnya kembali dan bahkan kadang masih ingin
memilikinya. Perempuan itu sadar, menjual kenangan tak sama dengan menjual
beras, yang pasti akan dibeli orang. Tetapi, ia tetap setia menunggui kiosnya,
menunggu pembeli.
Biasanya, orang yang membeli kenangan di kiosnya adalah orang-orang
yang khilaf membuangnya. Saat kenangan itu telah mereka campakkan, baru terasa
bahwa ia tak dapat melanjutkan hidupnya tanpa itu. Kemudian, mereka sibuk mencari ke sana kemari dan jika ia benar-benar
berniat maka ia akan sampai di toko “Penjual Kenangan” dan menemukan kembali
kenangannya telah dibingkai. Pembeli itu biasanya membayar dengan harga yang
mereka tentukan sendiri. Perempuan penjual kenangan itu tak pernah menentukan
harga atas kenangan yang dikumpulkannya itu. Katanya, “Aku tak berhak memberi harga. Hanya pemiliknya yang bisa menentukan
harga kenangannya itu.” Pembeli
menentukan harga sendiri.
Namun, terkadang, terjadi kebingungan pada pembeli ketika
pembeli itu ingin membeli kenangan yang bukan miliknya….
***
Saya menuliskan cerita itu pada 2004, sekitar—so last century—sembilan tahun lalu,
tetapi akhirnya terhenti di kalimat terakhir tersebut. Kemudian, draf cerita
pendek “Penjual Kenangan” itu saya tuliskan kembali dalam versi baru. Versi
baru cerita pendek “Penjual Kenangan” itu saya tulis setelah versi sebelumnya—tapi,
lupa berapa lama jeda waktunya. Sempat saya kirimkan ke Koran Tempo dan dimuat di kolom cerpen yang terbit setiap hari
Minggu (2005). Cerita pendek itulah salah satu kisah yang juga dimuat di buku Penjual Kenangan.
Mengapa penjual kenangan? Hal itu terpikir ketika
muncul pertanyaan, bagaimana jika kau tidak mampu menyimpan lagi kenangan yang
kau miliki, tetapi kenangan itu pun tak ingin kau buang. Kenangan itu terlalu
indah, tetapi kau tahu tak ada lagi yang mampu mengelanakannya, yaitu “harapan”.
Kenangan yang berputar-putar di ruang yang sama—tak beranjak
ke mana-mana—akan menyesakkan, bukan? Itulah sedikit gambaran cerita pendek “Penjual
Kenangan” yang juga mengilhami nama blog/toko
kenangan saya. Oh ya, ini teaser
untuk “Penjual Kenangan” yang dimuat di buku Penjual Kenangan yang segera beredar.
[Penjual
Kenangan: Final Draft Version]
Gadis itu lagi.
Setiap petang, ia duduk di kursi
kayu taman dengan keranjang rotan yang sama. Aku sudah begitu hafal dengan
wajah tirus dan tubuhnya yang mungil. Apalagi, dengan rambut hitam sebahunya
yang bergelombang.
Ia bukan seorang gadis remaja, ia
seorang gadis dewasa.
Dan, ia tahu cara berpakaian. Hari ini, ia memakai rok panjang cokelat tua dan blus berlengan pendek, berwarna cokelat susu. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pakaian itu membalut tubuhnya dengan indah. Sebuah syal berwarna lebih muda tersampir di bahunya. Padanan yang manis.
Dan, ia tahu cara berpakaian. Hari ini, ia memakai rok panjang cokelat tua dan blus berlengan pendek, berwarna cokelat susu. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat pakaian itu membalut tubuhnya dengan indah. Sebuah syal berwarna lebih muda tersampir di bahunya. Padanan yang manis.
Namun, aku tak pernah tahu apa yang
dilakukannya di taman ini, setiap petang. Mungkin ia menjual bunga, pikirku
saat melihat keranjang rotan yang dibawanya. Penampilannya yang selalu tampak
menarik membuatku tidak percaya ia menjual bunga. Mungkin orang akan lebih
tertarik kepadanya daripada bunga yang
ia jual. Maaf, Gadis, itu hanya pikiran burukku saja.
Angin sore bertiup perlahan. Aku
terpana. Gadis itu menyibakkan rambutnya yang diterpa angin bersamaan dengan
jatuhnya daun-daun yang menguning dari pohon besar di belakangnya. Daun-daun
yang sempat berputar-putar itu jatuh tak jauh dari tempatnya duduk. Mereka
seakan-akan ingin menemani gadis yang selalu sendiri itu.
Aku pun mungkin suatu hari akan
berhenti dan menemuinya sebentar, sekadar memberi salam: hai, aku sering melihatmu duduk di sini.
Mungkin itu akan membuatnya kaget
karena menyangka aku akan berniat jahat kepadanya.
Atau, mungkin suatu hari, di
persimpangan jalan yang aku lalui, langkahku akan kubelokkan ke arah tempat ia
duduk, lalu pura-pura lewat di depannya. Sambil lewat, aku akan melirik isi
keranjangnya, kemudian memotong jalan dan berbalik arah lagi ke arahku yang
sebenarnya. Hal itu pasti akan terlihat konyol.
Tapi, akhirnya, beberapa hari
kemudian, aku melakukannya.
Saat arahku seharusnya lurus, aku
berbelok ke kiri, ke arah tempat duduk gadis itu. Kami hanya berjarak tiga
langkah saat ia memalingkan wajahnya kepadaku.
Dan, aku menjadi begitu hafal
pandangan matanya. Pandangan yang kosong. Ia
tersenyum. Aku juga sangat hafal senyum itu. Senyum kaku yang dipaksakan.
Entah mengapa, aku merasa sudah begitu hafal.
Mungkin karena aku selalu memperhatikannya. Sejak kapan, aku lupa. Yang pasti
sudah cukup lama kurasa.
Aku hanya mematung di tempatku
berdiri, tak berani melewatinya. Saat sadar, aku sudah berbalik arah, kembali
ke jalan tujuanku.
Gadis manis yang aneh. Ia
menyuguhkan aku senyum, padahal baru kali itu kami bertatap muka.
Aku pergi begitu saja dan tak ingat
lagi untuk melirik isi keranjangnya.
[baca
lebih lanjut di Penjual Kenangan, Bukune, 2013]
***
Setelah membaca kedua kutipan itu, versi “Penjual
Kenangan” mana yang lebih kau suka? Senang jika kau berkenan berbagi
pendapatmu itu.
Oh ya, di dalam buku itu, ada repih kenangan berikut
untukmu. Semoga kau berkenan membacanya nanti. :)
- Carano [sebuah novela]
- Dalam Harap Bintang Pagi
- Percakapan Nomor-Nomor
- Kunang-kunang
- Perempuan Tua di Balik Kaca Jendela
- Penjual Kenangan
- Tengara Langit
- Menjelma Hujan
- Nelangsa
- Tembang Cahaya
- Bawa Musim Kembali, Nak
- part 1: http://www.youtube.com/watch?v=c5z3rumCsnY
- part 2: http://www.youtube.com/watch?v=0hhLAmM3f-k
- part 3: http://www.youtube.com/watch?v=yHX0tNl1z2k