@salihara |
Tampil di depan umum? Jujur, itu adalah salah satu ketakutan saya. Saya semacam punya trauma tampil di depan umum. Mungkin, hal ini dimulai sejak saya masih SD, mungkin kelas empat atau lima. Saya ingat sekali, waktu itu, saya jadi perwakilan SD saya untuk ikut semacam pelatihan di sekolah lain, dengan peserta dari sekolah lain--saya lupa kami belajar apa waktu itu. Namun, yang pasti, hari terakhir, setiap peserta diwajibkan membawakan sebuah lagu di depan kelas.
Saat itu, saya masih gadis kecil yang polos dan tidak bisa bernyanyi--bahkan sampai sampai saat ini pun saya benar-benar tidak bisa menempatkan not lagu dengan benar. Ditambah pula, saya "penyanyi spesial reff" (cuma hafal reff lagu), dan parahnya suka mengganti lirik sekenanya tanpa sengaja.
Lalu, tentang menyanyi di depan kelas itu, saya entah kenapa (entah karena kreatif atau entah dirasuki musisi mana), saya membuat lagu sendiri. Oh, tidak! Ya, saya menjadikan sebuah puisi menjadi lagu dengan membuat nadanya sendiri. Dan, dengan pedenya, saya menyanyikan "puisi" itu di depan kelas pelatihan itu. Dan, sesuatu terjadi. Di pertengahan, saya lupa liriknya. Dan, peserta hening. Lalu, seorang bapak tua, saya bahkan seperti masih ingat wajahnya, menghampiri saya. "Nyanyikan lagu yang hafal saja," ujarnya. Saya terpaku. Saya tidak hafal lagu apa-apa.... (Untunglah saya tidak menangis saat itu. Yang pasti, saya pulang pelatihan dengan menyimpan sesuatu semacam trauma tampil di depan umum). T_T
Lalu, saya sempat juga ikut lomba baca puisi waktu SMP, dipaksa guru. Dan, saat itu, malunya lain lagi. Waktu itu, ada gebetan saya yang nonton di depan musala. Tetapi, rasanya, kali itu tidak terlalu trauma karena saya lumayan dicap jago bahasa Indonesia. Hihi.
Waktu kuliah, presentasi saya selalu bisa dibilang "hancur". Selain karena telat, saya suka ketawa dengan jawaban yang saya berikan. Dan, berpikir orang sedang menertawakan saya juga, padahal mereka menunggu saya melanjutkan presentasi. Haha. Yang paling parah terjadi ketika kuliah umum Agama Islam. Teman kelompok saya, si Pencakar Langit, pun sama nggak jelasnya--kala itu. Jadilah kami dagelan berdua di depan anak-anak jurusan lain di kampus FIB UI itu. Fiuf.
Lalu, meskipun saya mendapatkan nilai A di ujian skipsi saya, kabar yang saya dapat beberapa bulan kemudian, begitu mengejutkan. Dosen penguji sempat bilang ke teman saya bahwa saya sangat gugup. Haha. Padahal, saat ujian skripsi itu saya merasa pede loh dengan materi dan jawaban yang saya sampaikan. :))
Trauma itu diperdalam waktu saya baca cerpen di acara Temu Sastra Jakarta yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2003. Acara yang diadakan di Dewan Kesenian Jakarta, Kompleks TIM itu berlangsung meriah. Saya dan Gita Romadhona yang saat itu masih mahasiswa tingkat dua diundang ke acara itu karena karya kami masuk ke dalam buku kumpulan yang diluncurkan: kumpulan puisi Bisikan Kata, Teriakan Kota dan kumpulan cerpen Kota yang Bernama dan Tak Bernama. Saya termasuk peserta yang disuruh baca cerpen saat itu. Cerpen saya yang masuk ke dalam buku itu berjudul "Percakapan Nomor-Nomor" dan cukup panjang. Jadi, saya cukup lama tampil di depan.
Saya dan Gita hanya berdua ke sana, naik kereta. Kala itu, hape kami belum ada kameranya dan nggak berniat juga sekadar pinjam kamera teman, jadi tidak ada dokumentasinya. Sayang sekali. :( Mungkin, karena kami berdua terlalu senang karena namanya dibukukan dengan sastrawan-sastrawan yang cukup ternama, jadi lupa segalanya. Hehe. Namun, sebenarnya, saat itu, Gita sudah punya buku antologi puisi dan menyandang gelar "sastrawan Jambi" dari kotanya itu. Kala itu, saya sungguh senang bertemu dengan seorang teman yang karyanya dimuat di Horison, dan terkagum-kagum--saat ketemu Gita, karya saya belum pernah dimuat. Jadi, bisa dibilang, Gita yang cocok jadi kritikus itu sangat berpengaruh dalam riwayat kepenulisan saya. :)
Eh, balik lagi ke saya disuruh baca cerpen di acara itu. Kala itu, yang saya ingat, saya baca cerpen sambil duduk, dengan kertas menutupi muka, dan dengan cara baca yang seperti biasa saja. Lalu, saat selesai, (kayaknya banyak sih yang tepok tangan, atau mungkin cuma Gita ya. Haha), ada seorang cowok yang menghampiri saya (ehem-ehem).
"Mbak," sapanya. Saya yang masih jetleg panggung menatapnya, "Ya, ada apa?" tanya saya *lempar poni*.
"Mbak, tadi baca cerpen atau koran ya?" ujarnya santai.
Sial! Haha. Saya langsung terpaku dan ngeloyor. Hancur sudah percaya diri saya untuk tampil di depan umum gara-gara tuh cowok. Tapi, kayaknya itu cowok minta nomor telepon saya deh setelah itu atau itu mimpi ya? Hoho.
Namun, malam itu, saya dan Gita pulang dengan sumringah. Kami dapat uang honor yang bisa dibilang cukup banyak, soalnya dihitung dari jumlah puisi dan cerpen yang dimuat. :D Gedelah pokoknya untuk ukuran mahasiswa, wong pulangnya aja saya dan Gita bisa naik taksi bow (dulu, waktu kuliah, taksi rasanya kendaraan para dewa banget dah. Maklum, mahasiswa). :p
Kejadian itu terekam di benak saya dan membuat saya semakin berpikir, saya tidak bisa tampil di depan umum.
Kejadian semacam itu berulang lagi. Saya "dipaksa" dosen, Pak Maman Mahayana membacakan cerpen pada acara ..., lupa nama acaranya. Waktu itu, kayaknya ada orang Malaysia-nyalah. Saya tidak bisa menghindar karena Pak Dosen orangnya sangat selaw, nggak percaya kalau ada orang yang grogian. Lalu, karena saya mencari teman biar nggak grogi, saya seretlah teman angkatan saya yang bernama Fadly--orangnya pede-lah pokoknya. Lalu, tampillah kami membacakan cerpen di acara itu berdua, dengan ganti-gantian membacanya.
Lalu, kami turun dengan perasaan ingin bunuh diri. :)) Saya tidak bisa menahan tawa setelah acara itu. Kami berdua sama-sama grogi dan tidak jelas membaca apa. Udah kayak dagelan abis dah--minus tawa penonton. :))) *maafkan akuh, Fadly, yang nggak mau diingatkan dengan acara itu. :p
Sampai sekarang, gaya tampil di depan umum saya masih seperti itu. Ngomong belibet dan ngomongnya nggak jelas. Padahal, di benak saya, banyak hal yang ingin saya sampaikan dan rasanya pemikiran itu cukup keren juga kok. Tapi, apa daya, yang keluar selalu hal-hal tidak jelas. Dan, bodohnya, saya selalu merasa percaya diri saat-saat terakhir, dan turun dari panggung. Bahkan, saya sering bilang ke teman saya, "Eh, tadi pas terakhir, gue udah nggak grogi loh." Lah? Pegimana yak? Acara udah berakhir masa baru mulai nggak grogi. Percaya Diri yang Datang Terlambat.
Waktu talk show di radio promo novel, saya pun ngomongnya belibet abis. Oh, tidaak. Rasanya pengen bilang, "Bolehkah saya menuliskannya saja, saya lebih pede kalau nulis." Hihi. Bahkan, ya, saking saya suka disorientasinya di depan "umum", saya malah jadi grogi di depan gebetan teman saya, waktu di kampus, dan saya jadi tertuduh menggebet doi juga. *kisah nyata dialami penulis* :D
Tapi, alhamdulillah, waktu wawancara kerja yang cukup sering, saya ngerasa lancar dan nggak terlalu gugup--oh, mungkin itu bukan kategori "tampil" di depan umum dan jadi bahan sorotan.
Akhir-akhir ini, saya berencana ikut kelas public speaking, di sekolah milik seorang artis terkenal. Tapi, hmm, mahal sekaliii dan kelasnya juga adanya malam, dan cukup jauh dari tempat kerja saya. Tapi, sepertinya kelas itu menarik dan suatu saat saya akan mengikutinya. Nabung dulu ah. :)
Lalu, datanglah malam #adupuisi di Salihara. Saya dan Gita yang sudah jarang ikutan acara sastra kangen dengan acara-acara semacam itu. Kali terakhir kami ikut acara sastra bareng itu saat di Pekanbaru, Riau, acara Kongres Cerpen Indonesia. Itu tahun 2007--so last century. Jadi, isenglah kami ngirim puisi ke acara penutupan Bienal Sastra di Salihara itu. Esoknya, saya dan Gita ditelepon untuk hadir membacakan puisi kami yang dipilih di acara itu, ceritanya puisinya diadu di acara #adupuisi itu. Gita, yang ngakunya juga nggak bisa baca puisi, memang sudah berniat tidak hadir karena dia menyusui. Haha. Ya, di rumah, ada Nyala Matahari yang merindukan waktu libur ibunya tercinta itu. :)
Lalu, saya juga berniat tidak ikut-ikutan hadir, dengan alasan: saya tidak bisa tampil di depan umum, plus saya juga tidak bisa baca puisi. Hiks. Sejujurnya, saya benar-benar takut tampil di depan umum--mana belum jadi ikut kelas public speaking. Tapi, saya ingin menaklukkan rasa takut itu, tapi saya takut. Halah, remponglah saya. :p
Kata Jeffri Fernando, desainer piawai Gagas, "Emang hal buruk apa yang bakal terjadi, Wied?"
"Hmm, gue gugup, trus orang-orang ketawa," sahut saya tidak yakin.
"Terus?" tanyanya lagi.
"Terus....," saya berpikir, "terus, udah."
"Ya, udah, cuma gitu doang kan?" sahutnya mengedikkan bahu.
Saya mengangguk.
"Ketakutan itu jangan dimusuhi, Wied, tapi dijadikan kawan, puk-puk pundaknya." Si Kokoh kedip-kedip mengeluarkan kebijakan ala leluhur Tionghoa-nya.
Akhirnya, saya membalas e-mail orang Salihara, bilang saya hadir. Kemudian, curhat ke mantan ruang kantor saya di Visimedia. Di sana, ada Zulfa dan Muti. Muti yang cukup sering tampil di depan umum nyuruh saya baca, dan saya cuma ketawa-ketawa nggak jelas. Zulfa yang baik hati bilang akan menemani saya besok. Saya semangat. Saya juga "memaksa" Andri, sohib saya, untuk mendukung saya--setidaknya, untuk memberikan tepuk tangan kalau-kalau nanti nggak ada yang tepok tangan. :p Arne, junior saya di Sastra Indonesia, juga datang ke sana dan menyemangati saya di twit-nya. Oke, saya merasa yakin untuk datang.
Menjelang sore, saya mengirim SMS ke Gita, bilang saya tidak semangat datang (sebenernya, lebih ke arah takut). Hehe. Namun, Gita menyemangati saya dari jauh (terima kasih, Gita, you're the best, always). :D Saya yang telanjur bilang batal ke Andri, meralatnya, bilang jadi datang dan berharap Andri dan Atmo--suaminya--jadi datang juga untuk jadi pasukan cheers saya. Begitu juga dengan Zulfa dan Arne. :)
Lalu, setelah kursus singkat dengan Arne, saya coba baca puisi. Awalnya, saya akan baca sajak yang judulnya "Bukan Tak Mungkin", yang sudah saya latih sambil ngaca di kosan. Arne yang sering main teater bilang, sajak itu perlu tambahan-tambahan, misalnya nyanyian, katanya. Haha, saya langsung menidakkan tanpa mengingat kejadian SD itu. Saya memang tidak ditakdirkan untuk bisa bernyanyi. Tanya aja Gita. :(
Setelah diskusi kecil dengan Arne, puisi dengan judul "(Yang Seharusnya)"-nya lebih aman, lebih bercerita dan bisa dibacakan tanpa tambahan-tambahan. Zulfa dan dua teman Arne juga setuju.
Lalu, sampailah pada giliran saya--setelah tampilan beberapa orang yang gaya membacakan puisinya bermacam-macam. Di atap terbuka gedung Salihara itu, penonton penuh--sebenarnya, mereka bejibun karena acara itu digabung dengan tampilan Gugun Blues Shelter yang sengaja diundang untuk meramaikan acara penutupan Bienal Sastra itu.
Sebenarnya, saya bersyukur tampil terakhir karena jadi lebih santai setelah melihat tampilan yang lain--ada yang cukup gugup juga, dan tampaknya lebih parah daripada saya. Hehe. Setidaknya, saya jadi belajar, oke, nanti di depan nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Namun, que sera sera.
Setelah melihat tampilan video yang sempat direkamkan oleh Zulfa di hape saya, saya menilai, yah, saya lumayan tidak terlalu gugup, cuma terlalu sering negok ke bawah buat baca kertas contekan--karena saya memang tidak hafal sajak saya itu. Hehe. Suara saya, untungnya, tidak bergetar karena dibantu oleh sound system yang disediakan untuk panggung grup musik sekelas Gugun Blues Shelter. :)
Dan, saya juga merasa diselamatkan oleh... malam dan lampu sorot. Senang sekali saat menatap ke penonton, semuanya tampak blur. Terima kasih, gelap dan lampu sorot! :)
Jadi, malam kemarin di #adupuisi itu, saya merasa sedikit berkawan dengan rasa takut saya, dan mulai berpikir: tidak seburuk itu kok. Terima kasih buat sahabat-sahabat yang sudah mendukung saya dengan begitu semangat. Luv you, all. :)
Tapi, saya masih berniat ikut kelas public speaking. Semoga segera terwujud dan semoga bisa ikut kelasnya dengan gratis atau separo harga, atau diskonlah (hehe). Ngarep. Tapi, katanya, kan yang penting kita punya mimpi dan berdoa dulu untuk itu, dan pastinya berusaha (berusaha agar gratis atau diskon. hehe).
Selanjutnya, que sera sera, kita serahkan kepada Dia pemilik segala jalan. :)
Senang sekali, malam kemarin itu, meski tidak menang, saya merasa sangat menang--dalam "menaklukkan" ketakutan menjadi kawan saya, bukan lagi musuh. Semoga ke depannya juga selalu demikian--harapan sederhana, kan, Tuhan, kabulkan ya. ;)
--penghujung Oktober 2011
p.s. Last but not least, makasih juga buat dukungan di Twitter dari teman-teman gagas-bukune, iksi 2011, mbak enno, mbak nia, feba, bebonk, azizah. Udah kayak mau konser buat acara apaan gitu ya gw. Haha. Tapi, dukungan itu sangat berarti, teman-teman yang baik dan keren. Senang mengenal kalian semua. ;)