kenangan itu telah terlalu lama berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. adakah yang ingin menukarnya dengan harapan?
Thursday, May 28, 2009
mewarna
"aku kehilangan warna," katanya.
sementara, gegas orang-orang semakin jauh. dan mereka mewarna. dalam gegas sendiri.
Monday, May 04, 2009
Di Stasiun
"Temui aku di stasiun kereta pagi ini," katanya.
Pagi masih jauh. Perempuan itu telah bergegas. Dalam perjalanan itu, ia sibuk merangkai mimpinya. Mimpi yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Seseorang memintanya datang ke stasiun kereta. Seorang laki-laki. Entah siapa. Wajah dalam mimpi itu buram. Seperti halnya mimpi-mimpi lain yang pernah ia alami dalam tidur-tidurnya–sepanjang malam sebelum mimpi kali ini. Buram. Tak berwarna. Tak berujung. Bahkan, kadang tanpa awal. Dan, entah terjadi di kota mana.
Hanya mimpi, pikir perempuan itu. Awalnya. Namun, malam-malam selanjutnya ia bermimpi hal yang sama. Persis. Mimpi yang ada akhirnya. Berakhir pada saaat yang sama. Pada ucapan laki-laki itu, "Temui aku di stasiun kereta pagi ini". Ucapan yang sama. Ucapan yang begitu jelas hanya untuk sekadar mimpi.
Perempuan itu bergegas ke stasiun kereta. Pagi masih jauh. Namun, perempuan itu tidak ingin pagi mendahuluinya. Ia yang akan menunggu.
Kereta pertama pagi itu datang. Perempuan itu telah di sana. Ada yang memintanya menunggu di stasiun kereta.
Kereta menghentikan deritnya.
Perempuan itu menunggu. Wajah laki-laki dalam mimpinya itu tak jelas. Buram. Tetapi, perempuan itu akan mengenali laki-laki itu. Ia tahu. Entah karena apa. Perasaan perempuan itu begitu yakin. Ia akan tahu begitu melihat laki-laki itu. Mungkin mereka telah bersama saat kehidupan belum tercipta. Ia akan mengenali laki-laki itu. Ia tahu.
Orang-orang dari dalam kereta bersirebut turun.
Napas perempuan itu memburu.
Pagi masih jauh. Perempuan itu telah bergegas. Dalam perjalanan itu, ia sibuk merangkai mimpinya. Mimpi yang sama dengan malam-malam sebelumnya. Seseorang memintanya datang ke stasiun kereta. Seorang laki-laki. Entah siapa. Wajah dalam mimpi itu buram. Seperti halnya mimpi-mimpi lain yang pernah ia alami dalam tidur-tidurnya–sepanjang malam sebelum mimpi kali ini. Buram. Tak berwarna. Tak berujung. Bahkan, kadang tanpa awal. Dan, entah terjadi di kota mana.
Hanya mimpi, pikir perempuan itu. Awalnya. Namun, malam-malam selanjutnya ia bermimpi hal yang sama. Persis. Mimpi yang ada akhirnya. Berakhir pada saaat yang sama. Pada ucapan laki-laki itu, "Temui aku di stasiun kereta pagi ini". Ucapan yang sama. Ucapan yang begitu jelas hanya untuk sekadar mimpi.
Perempuan itu bergegas ke stasiun kereta. Pagi masih jauh. Namun, perempuan itu tidak ingin pagi mendahuluinya. Ia yang akan menunggu.
Kereta pertama pagi itu datang. Perempuan itu telah di sana. Ada yang memintanya menunggu di stasiun kereta.
Kereta menghentikan deritnya.
Perempuan itu menunggu. Wajah laki-laki dalam mimpinya itu tak jelas. Buram. Tetapi, perempuan itu akan mengenali laki-laki itu. Ia tahu. Entah karena apa. Perasaan perempuan itu begitu yakin. Ia akan tahu begitu melihat laki-laki itu. Mungkin mereka telah bersama saat kehidupan belum tercipta. Ia akan mengenali laki-laki itu. Ia tahu.
Orang-orang dari dalam kereta bersirebut turun.
Napas perempuan itu memburu.
Subscribe to:
Posts (Atom)