Penjual Kenangan

Monday, October 09, 2006

Fragmen

***

Tapi, aku tak pernah mencintai hujan lagi, hatiku bersikeras. Meskipun saat hujan jatuh, aku diam-diam menyimpan senyum dan diam-diam bersenandung di antara rintiknya.

***

Sehabis magrib, aku menemukan daun jatuh di jalan kota kami. Dan, aku memulai kebiasaan baru. Menunggu daun jatuh sehabis magrib. Dan, sore itu, laki-laki itu—Biru, namanya—duduk di bawah pohon itu. Lelaki baik-baik. Dari matanya, aku merasa ia juga mencintai daun jatuh. “Ya, aku mencintai daun jatuh,” katanya suatu hari. “Tapi, aku tidak pernah suka pada hujan,” katanya.

“Aku juga,” kataku. Aku (tidak) mencintai hujan. Biru mencintai daun jatuh. Aku juga. Namun, terkadang, dari jendela kamarku, aku masih mengintip hujan jatuh.

***

Bulan hampir Juni. Hujan sering jatuh. Daun-daun hanya jatuh satu per satu. Aku mengajak Biru mencintai hujan. “Aku tak suka hujan. Aku lebih suka duduk minum cokelat hangat dalam rumah,” kata Biru.

“Bukankah hujan itu indah, Biru. Hujan itu membawa banyak cerita dalam rintiknya,” kataku. “Coba kau dengarkan.”

Biru menggeleng. “Aku tak mendengar apa-apa,” katanya.

Kidung telah banyak menceritakan kisah yang dibawa hujan padaku. Hampir Juni. Belakangan ini, aku berlama-lama duduk di bawah hujan yang jatuh. Aku menjadi begitu rindu pada hujan.

***

1 comment:

biru elang-bara said...

kenapa selalu ada tulisan semacam ini, keindahan yang menerbitkan iri. kemampuanmu menerjemahkan hujan membantuku untuk dapat lebih merasakan peluk rintiknya

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin