Penjual Kenangan

Tuesday, October 01, 2013

Hari Semakin Kelam, Angin Semakin Dingin, dan Hati Semakin Beku [1]

i owe the pic!

            
Embusan angin sore pantai itu menembus baju dan kain usang yang dikenakannya. Dinginnya terasa sampai ke tulang-tulang tuanya yang ringkih. Namun, ia tetap berdiri memandang hamparan laut di pelabuhan yang terletak di selatan kota Padang itu dengan bertopang pada tongkat kayu yang setia menemani langkahnya. 

Setiap sore, di akhir pekan, perempuan tua itu selalu menanti kedatangan kapal yang membawa anaknya kembali dari rantau. Suasana pelabuhan cukup ramai. Akhir pekan merupakan hari pasar di pelabuhan ini. Beberapa kapal yang membawa beraneka barang dagangan akan merapat. Akan tetapi, ia tidak hanyut dengan suasana pelabuhan. Ia hanyut dengan suasana hatinya. Tujuh tahun lalu, di pelabuhan ini juga ia melepas anak satu-satunya itu.
            “Mande [2], setiap bulan akan awak [3] kirimkan Mande kabar. Usahlah Mande bersusah hati seperti ini.”
            “Malin, hati Mande tak Mande pikirkan. Engkau yang Mande pikirkan, Malin. Di kampung saja kita tidak ada sanak saudara, apalagi di nagari seberang nan jauh itu, Malin. Mande tak tega mendengar engkau terlunta-lunta di rantau, Malin.”
            Saat itu, air mata menghujani pipinya yang keriput dimakan usia.
            “Mande, awak sudah besar, lah bisa menjaga diri. Lagi pula, awak bersama Kasim. Tak usah Mande khawatir. Di kampung kita ini, hanya makan saja yang kita dapat, Mande. Biarlah awak mengadu nasib di rantau.”
            Malin, kalau sudah dapat makan, sudah cukup bagi Mande. Berjualan tapai, seperti yang Mande kerjakan sekarang, memang tidak cukup untuk bisa hidup seperti dulu Malin. Tapi, Mande bahagia kalau hidup bersama engkau, Nak. Andai saja, badan Mande ini masih kuat Malin, akan Mande kerjakan sawah-sawah orang.
Tapi, itu hanya bisik-bisik di hati perempuan tua itu. Ia tidak bisa menentang tekad bulat anaknya yang katanya, bosan hidup susah. Anaknya itu ingin juga merantau, mencoba ikut orang berdagang. Bukankah dulu ayahnya seorang pedagang yang cukup kaya.
            Gambaran itu masih melekat erat di benak perempuan tua yang saat ini masih berdiri di tepi pantai itu. Kembali, air hangat bergulir dari matanya. Namun, hangat air itu tidak mampu mengusir dingin angin pantai, malah membekukan hatinya. Ia biarkan air itu mengalir di pipinya. Mungkin, air mata yang berjatuhan ke pasir itu bisa bersatu dengan air laut dan kemudian dapat memanggil anaknya yang tak pernah kembali.  Ia tetap berdiri dan tidak ingin duduk sekejap pun. Kali ini, ia tidak ingin kapal yang ditumpangi anaknya terlewatkan.
            Malin, mana engkau, Nak? Lah putiah mato Mande mamandang. Bilo engkau tibo, Nak[4]
            Dulu, ia juga pernah menanti seperti ini. Menanti suaminya yang pulang berdagang. Namun, tidak seperti yang dialaminya sekarang, dulu penantiannya selalu berujung. Masa-masa indah yang selalu dikenangnya.
            Suaminya adalah seorang pedagang yang cukup kaya. Mereka hidup lebih dari berkecukupan. Mereka memiliki rumah yang tergolong bagus di kampung. Kebahagiaan itu bertambah saat kelahiran anak laki-laki mereka yang kemudian dinamakan Malin Kundang. Sampai usia Malin enam tahun, kebahagiaan itu masih mereka miliki. Akan tetapi, suatu hari saat Malin mulai menginjak setengah usianya pada tahun ketujuh, cobaan menimpa mereka. Ayah Malin ditipu habis-habisan oleh relasi dagang yang paling dipercaya. Akibatnya, rumah, sawah, habis untuk membayar utang dagang.
            Ayah Malin mengalami goncangan jiwa yang cukup berat dan kemudian berubah menjadi penyakit. Ibu Malin yang biasa hidup senang mulai mencoba berjualan makanan pada hari pasar. Malin mulai mengerti arti penderitaan. Jika ayahnya cukup sehat, Malin kecil ikut membantu ibunya berjualan di pasar. Jika tidak, Malin kecil menjaga ayahnya itu.
Biaya makan mereka bertiga hampir tak tercukupi. Apalagi ditambah biaya pengobatan ayah Malin  yang sangat besar. Sisa-sisa perhiasan ibu Malin habis tandas.
            Orang-orang yang mengaku sanak saudara sedikit demi sedikit menjauh. Anak-anak pun segan bergaul dengan Malin, kecuali Kasim. Cobaan terberat akhir datang saat Malin tepat berusia tujuh tahun. Ayahnya meningal dunia dan hanya meninggalkan rumah gubuk. Malin Kundang semakin mengerti akan arti penderitaan. Anak itu tumbuh menjadi laki-laki pekerja keras, tetapi tertutup. Ia bertekad untuk mencampakkan penderitaan jauh-jauh, jika nanti sudah besar.
            Sekarang anaknya itu pasti bertambah besar. Seperti apakah dia kini? Pastilah gagah seperti ayahnya dulu. Hati ibu Malin berkecamuk.
            “Malin, cepat pulang, Nak. Mande rindu engkau, Nak...,” lirih bisik itu terdengar dari mulut perempuan yang telah melewati beribu-ribu malam sendirian di rumahnya yang semakin reyot.
            Setelah engkau pergi, hanya dua kali kabar yang Mande dengar dari engkau, Nak. Setelah itu, Mande tak tahu lagi bagaimana kabarmu. Apakah engkau masih hidup atau tidak pun, Mande tak tahu, Nak. Tapi, dalam hati Mande selalu yakin engkau baik-baik saja. Engkau—mewarisi sifat ayahmubukan orang yang mudah menyerah, Nak. Meskipun akhirnya ayahmu itu pun kalah, Mande tahu engkau lebih tangguh, Malin.
            Perempuan itu semakin hanyut dengan perasaan cintanya kepada sang anak. Tujuh tahun masa penantiannya pada Malin akan berakhir hari ini, di tepi laut ini. Kabar yang dibawa Kasim, sahabat anaknya yang akhirnya kembali ke kampung halaman karena tidak betah bekerja di rantau mengobati penantian sia-sia yang dilakukannya pada pekan-pekan yang sudah lewat. Ia ingat saat Kasim mampir ke gubuknya, sepekan yang lalu.
            “Mak, kapal tempat Malin bekerja itu akan merapat lama pada pekan depan.”
            “Seperti apa dia sekarang, Sim?” tanya perempuan itu dengan matanya yang berkaca-kaca.
            “Awak indak tahu juga, Mak. Tempat kerja kami terpisah jauh sejak empat tahun lalu. Awak indak pernah lagi bertemu dengan Malin. Indak ada waktu istirahat dari pekerjaan awak. Itulah yang membuat awak memutuskan pulang lagi ke kampung, Mak. Hidup di rantau itu susah.” Kasim bercerita panjang lebar pada perempuan tua yang telah menumpuk-numpuk rindu di hatinya. “Tapi, awak tahu benar jadwal kapalnya merapat di pelabuhan kita, Mak.”
            Hari hampir kelam, tapi kapal yang membawa Malin belum juga datang.
            Malin, capeklah tibo, Nak. Lah tambah dingin beko nasi jo sambalado hijau kasukoan ang nan Mande masak tadi pagi. [5]
            Hari semakin kelam dan lembar harapan di hati ibu Malin tak berkurang sedikit pun, malah semakin bertambah. Ia yakin anaknya akan datang.
            Tubuh ringkih itu menjadi sangat kuat ketika mendengar suara kapal dari jauh. Matanya berbinar-binar. Itu adalah kapal terakhir dan ia yakin anak tercintanya berada dalam kapal itu. Firasatnya kali ini pasti tepat.
            Ia segera mendekat ke pintu pelabuhan. Oleh karena tidak boleh melewati tali pembatas, ia berdiri sedekat mungkin dengan pintu. Orang yang akan turun dari kapal terlihat jelas dari tempat itu.
            Kapal dagang yang sudah merapat itu lebih bagus dari beberapa kapal yang tadi melabuh. Mata perempuan tua itu tidak lepas memandangnya. Beberapa orang turun memanggul barang dagangan. Namun, ibu Malin tidak menangkap sosok anaknya di antara mereka. Debaran dadanya yang sejak tadi sudah tidak beraturan, semakin tidak beraturan. Ia mulai takut. Tapi, keyakinan masih tersisa.
            Seorang laki-laki berpakaian sangat bagus keluar dari geladak kapal. Ia sangat gagah dan tampak sangat terhormat. Seorang perempuan muda yang cantik menyusul dari belakang. Laki-laki gagah itu menyambutnya dengan senyum. Mata tua perempuan yang sejak tadi menanti di pelabuhan itu menangkap senyum yang selalu diingatnya itu. Senyum itu milik anaknya.
            “Malin...?” gumamnya terdengar lirih. Ia mulai tidak percaya pada mata tuanya.
Laki-laki dan perempuan itu turun dari kapal dan beranjak menuju pintu keluar. Perempuan tua yang masih terpaku itu mengerjap-gerjapkan matanya dan ia yakin mata tuanya masih berfungsi. Laki-laki itu memang Malin Kundang, anak tercintanya.
            Air matanya mengalir deras. Anaknya akan pulang ke rumah membawa perempuan cantik yang akan diperkenalkannya padanya. Kebanggaan menyelimuti hatinya.
            “Malin, akhirnya engkau pulang juga, Nak,” ujarnya sambil berjalan tertatih dengan tongkat kayunya mendekati laki-laki yang hampir melewatinya begitu saja. Ia ingin segera memeluk dan menumpahkan kerinduannya kepada anaknya yang tampak sangat gagah itu.
            Laki-laki itu tampak terkejut dengan kehadiran perempuan tua yang menyebutnya dengan nama Malin. Begitu juga dengan perempuan cantik yang berada di sisinya.
            “Malin, engkau gagah sekali, Nak.” Perempuan tua itu mencoba menyentuh pakaian bagus yang dikenakan laki-laki itu.
            “Siapa kau?” tanya laki-laki itu bengis sambil menepis tangan perempuan tua itu. Perempuan di sampingnya bergidik menunjukkan rasa jijik.
            Perempuan tua itu tiba-tiba menjadi bisu.
            “Pergi sana, Pengemis! Aku tidak punya uang kecil!” bentaknya lagi.
            “Malin, ini Mande, Nak. Mande, Malin, bukan pengemis.”
Air mata yang sudah sejak tadi mengalir dari mata tua perempuan itu membuat pandangan matanya menjadi kabur. Badannya bergetar hebat. Tampaknya tongkat kayu yang menopang tubuhnya juga ikut merasakan getaran itu.
            “Perempuan tua! Jangan sembarangan kau. Aku sudah tidak punya Mande. Mande-ku sudah lama meninggal.” Kebengisannya tidak berkurang. Ia segera meraih tangan istrinya, mengajaknya segera pergi. Berpasang-pasang mata memperhatikan mereka.
            “Malin, Malin, jangan pergi, Nak.”
            Perempuan tua itu berusaha mengejar dan menarik lengan baju laki-laki muda tersebut. Namun, laki-laki muda itu menarik dengan kasar lengannya dan mendorong perempuan tua itu. Tubuh ringkih yang hanya ditopang tongkat kayu itu terjatuh terhempas ke pasir pantai. Laki-laki itu hendak segera berlalu, tetapi teriakan perempuan dan tatapan mata orang-orang menghentikan langkahnya.
            “Malin... ini Mande yang melahirkan engkau, Nak. Buyuang,[6]  permato hati Mande. Tujuh tahun, Malin. Tujuh tahun Mande menunggu. Tujuh tahun Mande menderita sendirian, Nak. Mande rindu engkau, Nak. Jangan... pergi, Malin..., jangan....Suara perempuan itu lama-kelamaan hilang ditelan isak tangisnya. Yang tertinggal hanya isak tangis yang sangat memilukan.
            Semua orang pun bisu. Hanyut dalam isak tangis itu.
            “Ini... Man-de... Malin.... Mande... yang... lahir-kan engkau...,” lirih suara terdengar lagi di sela isaknya.
            Namun, laki-laki itu tetap mematung. Ia sekarang saudagar kaya menggantikan mertuanya yang telah meninggal. Ia sekarang terhormat dan disegani semua orang. Ketika bekerja ia sangat disayang oleh majikannya. Apalagi dengan kisah hidupnya yang tragis sebagai yatim piatu. Ia telah mengaku sebagai yatim piatu. Sekarang, di hadapannya hadir seorang perempuan tua yang sangat tidak layak menyentuh pakaiannya dan mengaku sebagai ibunya.
            Ia melirik perempuan cantik yang berada di sampingnya. Perempuan itu adalah anak majikannya yang berhasil dipersuntingnya. Saat ini, air muka perempuan itu menunjukkan rasa sangat tidak suka pada perempuan tua yang berada di depannya. 
            Ia telah mengaku sebagai yatim piatu. Ia tidak sudi mengotori namanya sebagai pembohong pada istri dan keluarganya. Ia telah lama bertekad untuk membuang kesengsaraan dari hidupnya.
            “Aku tidak pernah dilahirkan dari rahimmu, Nenek Tua!” ucapnya dengan mata menyimpan amarah.
            Mendengar itu, hati perempuan tua itu semakin hancur seperti butir-butir pasir di pantai itu. Ia tidak menyangka yang tadi telah menghempaskan adalah Malin Kundang yang dilahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa. Ia tidak menyangka Malin Kundang, anak yang sembilan bulan dalam kandungannya itu akan mengingkari dirinya sedemikian rupa.
            Benarkah dia Malin Kundang? Malin yang rengeknya telah menghabiskan malam-malam perempuan itu, Malin yang sewaktu kecil mengiringi langkahnya dan bergelayut di lengannya saat ke pasar, Malin yang setiap malam telah membuat air matanya berjatuhan. Malin itu kini telah menusuk hatinya dengan sengaja. Sakit hati itu terasa ke setiap helaan napasnya.
            “Durhaka engkau, Nak. Durhaka engkau kepada ibumu.”
            Malin bergegas pergi. Namun, sayang, bonggol akar yang menyembul menangkap kakinya dan ia tersungkur.
            “Durhaka engkau, Nak. Jadilah engkau batu seperti hatimu itu!”
            Malin Kundang yang jatuh tersungkur tiba-tiba, secara ajaib, menjelma menjadi batu tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun lagi. Juga maaf.
            Seorang ibu yang tidak dapat lagi menahan sakit hatinya telah mengucapkan hal yang benar-benar keluar dari lubuk hatinya. Dan, ternyata Yang Mahakuasa mengabulkan perkataannya itu.
            Melihat Malin Kundang menjadi batu, lidah perempuan tua itu kelu. Ia tidak ingin berhenti menangis. Namun, air matanya telah mengering.
            Segaris senyum terpahat di bibirnya. Di pantai itu, penantiannya akhirnya berujung. Malin Kundang, anaknya itu, akan selalu berada di dekatnya dan tak akan pergi ke mana-mana lagi.
            Di pantai itu, hari semakin kelam, angin semakin dingin.
            Dan hati semakin beku.
             
Depok, 5 November 2004      





       [1] Penceritaan kembali Malin Kundang, cerita rakyat dari Minangkabau, Sumatra Barat. Widyawati Oktavia, Tugas IV Penulisan Populer I, Kelompok Rabu, Pkl. 10.30 WIB
       [2] Ibu
       [3] Saya
       [4] ‘Sudah putih mata Ibu memandang’ (ungkapan ini digunakan orang Minang untuk menunjukkan penantian yang sudah cukup lama). ‘Kapan engkau tiba, Nak?’ 
       [5] ‘Malin, cepatlah sampai, Nak. Sudah tambah dingin nasi dan sambal hijau kesukaanmu yang Ibu masak tadi pagi.’
          [6] Panggilan kepada anak laki-laki.

No comments:

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin