Penjual Kenangan

Friday, May 26, 2006

TELAH PERGI DENGAN (TIDAK) DAMAI


“Irmaaaan.... cepat ke atas. Mami takut...”

Teriakan mami membuatku kaget. Ada apa lagi, sih? Menganggu kesenangan orang saja.

“Irmaaaaan....cepat, Man...”

Segera kuletakkan stik PS-ku. Teriakan mami sudah seperti orang dikejar kematian. Aku tak mengerti mengapa mami berteriak-teriak, padahal masih pagi.

Bergegas kunaiki tangga kayu menuju lantai atas. Setiap menginjak tangga yang sangat curam ini, pasti aku selalu mengumpat.

“Sialan! Kenapa sih, tukang buat tangga ini nggak mikir!”

Begitu sampai di atas. Aku tidak melihat mami.

“Mi, Mami di mana?”

“Man....sini Nak...”

Segera kuikuti suara mami yang berasal dari sebelah kananku, dari kamar yang sangat tidak ingin kumasuki. Tapi, apa boleh buat.

Saat kusingkap gorden yang disangkutkan pada dinding dan lemari sebagai pembatas ruangan itu (agar tercipta sebuah kamar), kulihat mami terduduk lemas di pojok dekat lemari. Pertama, kusangka kakinya terkilir. Namun, demi melihat wajahnya yang pucat aku yakin hal yang lebih parah telah terjadi.

“Mami takut, Man..., Mami takut.”

Aku melirik sekeliling. Aku tahu apa yang mami takutkan. Aku pun merasa ngeri di ruangan ini.

“Kita ke bawah aja, ya Mi.”

Kupapah mami ke bawah melewati tangga sialan.

“Man, Mami tiduran di ruang tamu aja. Mami nggak mau ke kamar. Jangan ke mana-mana, ya Man. Sini aja dekat Mami.”

Mami tampak sangat lelah. Setelah minum, wajah pucatnya mulai dialiri darah. Coba Riri tidak kos, pasti ia bisa menghibur mami.

“Man, tadi Mami takut banget. Perempuan itu mengutuk Mami. Mami tahu, Man. Pasti ia dendam pada Mami....”

Mamiku, ia begitu tertekan.

“Arwahnya masih ada di atas, Man. Ia masih di tempat tidurnya.”

Entah apa yang dilihat mami di atas. Tapi, yang pasti ia hanya berhalusinasi. Mana mungkin perempuan itu masih di rumah ini. Aku melihat sendiri jasadnya ditimbun dengan tanah, seminggu yang lalu.

“Udah, Mi, dibawa tidur aja. Mami kecapean kali. Pulang kerja blom tidur.”

“Kamar atas itu mesti diberesin, Man. Si Atik kan nggak datang-datang lagi. Ya terpaksa Mami yang ngerjain.”

“Udah, Mami tidur aja. Ntar Irman beresin.”

Meski rasanya sangat malas melakukan itu, kali ini aku mencoba menenangkan mami.

“Man, kamu di sini aja, ya. Mami takut sendirian.”

Tak beberapa lama, mami tertidur.

Aku segera menaiki tangga sialan lalu menuju kamar itu. Hawa di kamar itu pengap. Kubuka pintu utama lebar-lebar. Angin berhembus pelan. Kumasuki lagi kamar pengap itu. Yang pertama kulakukan adalah membereskan tempat tidur. Aku pikir sebaiknya tempat tidur ini dibongkar saja.

Kusingkirkan selimut yang menutupi tempat tidur itu dan alangkah kagetnya aku. Aku pun merasa lemas. Perutku mual dan bulu kudukku merinding. Aku tidak percaya melihat apa yang ada di depanku.

Semut-semut berkumpul di atas tidur tersebut, di balik selimut yang kuangkat barusan. Perutku bertambah mual dan kakiku semakin bertambah lemas ketika kusadari kumpulan semut itu membentuk suatu yang mustahil. Mereka membentuk sebuah rangka tubuh manusia yang sedang tidur. Dan aku tahu rangka siapa itu. Ya. Rangka perempuan yang telah mati seminggu lalu itu.

***

Tukang ojek yang akan mengantarku ke tempat kerja telah menunggu. Segera kupercepat kesibukanku berdandan.

Aku sudah terlambat.

Sebenarnya aku sangat malas untuk berangkat kerja malam ini. Aku lelah, setelah mencuci pakaian yang telah bertumpuk selama seminggu. Tukang cuci yang biasa datang tak memberi kabar apa-apa. Sialan! Dia bekerja seenaknya saja. Aku yang kewalahan. Mencari uang dan harus membereskan rumah, serta mencuci. Terakhir, aku harus mengurus seorang nenek pikun juga. Ah! Pekerjaan terakhir ini sangat berat. Seperti punya bayi. Masih mending bayi bisa membuat tertawa. Nenek pikun itu? Ya ampun! Malah membuat sebal.

Tiba-tiba aku teringat, dia belum makan sejak siang. Tukang ojek sudah melongok-longokkan kepalanya. Kulirik jam tanganku. Aku sudah sangat telat. Kukunci pintu. Nenek tua itu tadi pagi telah aku sediakan bubur ayam. Kemarin, makanannya sama sekali tak disentuhnya. Jadi, tak masalah rasanya ia tak makan siang. Toh, ia tak melakukan kegiatan apa-apa. Ia hanya tidur saja. Sudahlah.

“Tumben, lama Mbak?”

“Tadi ketiduran, Mas. Si Atik udah seminggu ga kerja. Jadi saya yang ngerjain semua.”

“Ooh..”

“Kalau bisa ngebut, Mas. Udah telat.”

“Jemuran di atas kagak diangkat apa Mbak? Sekarang lagi banyak maling.”

Kulihat jemuranku di balkon atas. Pakaianku, juga pakaian Irman, anakku terpampang seperti di toko baju. Celana jeans Irman yang digantung di pagar begitu mudah diambil orang. Kalau itu terjadi, anak itu tak akan sangat marah padaku.

Huh! Kalau sedang buru-buru selalu ada-ada saja yang menghalangi.

“Mas, tunggu bentar, ya. Saya angkat jemuran dulu.”

Aku bergegas turun dan membuka pintu. Dari pintu luar, tangga menunju ke atas sudah tampak. Tangga kayu yang curam.

Tangga itu pernah membuat kekacauan di rumah ini.

Tangga itu dulu dibuat secara mendadak. Dahulu aku dan anak-anak tinggal di atas. Lantai bawah dengan dua kamar aku kontrakkan kepada dua orang mahasiswa. Mereka mengontrak selama setahun. Sebenarnya, aku berharap mereka tetap mau memperpanjang karena kebutuhan keluargaku tidak terpenuhi hanya dengan hasil kerjaku menyanyi di karoke. Namun, mereka pindah. Katanya ingin mencari kosan saja.

Niatku untuk mencari pengontrak lain terhalangi. Nenek pikun itu datang ke rumah ini sebab suami kakakku yang sebelum ini mengurusnya itu meninggal. Kakak perempuanku itu tak bisa lagi mengurus nenek pikun itu.

“Kau kan kerja malam hari, jadi dari pagi sampai sore kau bisa jaga Ibu. Kalau aku harus kerja dari pagi sampai malam. Pagi aku nyuci baju orang-orang trus malam bantuin Mbak Sum jualan pecel ayam.”

Itu alasan yang digunakannya.

“Kau kan tahu, pengeluaranku banyak. Lisa, keponakanmu itu masih kuliah dan biayanya mahal. Coba kalau Bapaknya tidak mati....”

Air mata mengalir di pipinya.

Heh! Aku benci melihat air mata itu. Tepatnya, aku benci melihat air mata.

Aku sudah capek menangis sejak kecil. Dulu, gara-gara nenek tua yang akan dititipkan padaku itu. Lalu setelah aku dewasa dan bersuami, laki-laki itulah yang kemudian selalu membuatku menangis. Aku capek. Dan aku berjanji tidak akan menangis lagi.

“Anakmu kan masih belum perlu biaya banyak, Li. Lagi pula bapaknya juga masih peduli sama anak-anakmu.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

“Iya, iya. Lusa antar aja Ibu ke sini.”

Aku tidak mau lagi mendengar ocehan panjang lebar dari kakakku ini. Kesulitan keluarganya telah membuatnya terlalu sering mencari-cari perbandingan hidupnya dengan hidupku.

Ia menyangka hidupku lebih baik, daripada hidupnya. Padahal, ia tahu keadaanku. Aku yang mencari makan untuk anak-anakku. Anak-anak yang sekarang menanjak dewasa. Anak-anak yang selalu ingin menjadi orang lain.

Aku juga tidak ingin mendengar ia menyebut laki-laki yang meninggalkanku tanpa rasa bersalah dan membiarkanku membesarkan anak kami sendirian.

Laki-laki brengsek!

Atau aku yang brengsek? Entah. Apa salah aku menyerang perempuan yang sering menggodanya itu?

Mungkin ia malu pada tetangga-tetangga yang membicarakan kebrutalanku. Aku menggigit puting susu perempuan penggoda itu sampai putus karena itu yang membuat suamiku tergoda. Pasti ia malu, makanya ia meninggalkanku. Tapi, aku tidak pernah malu. Aku membela hakku. Suamiku. Biarlah ia meninggalkanku. Aku tidak punya air mata lagi untuk menangis saat ia menamparku.

“Li, sekarang waktumu ngerawat Ibu. Hitung-hitung balas budi pada orangtua.”

Kakakku itu masih saja mengoceh.

Aku keluar, kubuka papan bertuliskan “Dikontrakkan” yang digantung di pagar rumah. Ruang atas berupa ruang kosong yang disekat-sekat dengan lemari untuk membentuk kamar terlalu sempit untuk satu orang lagi. Kuputuskan untuk menempati lantai bawah lagi. Lantai atas kujadikan sebagai tempat tinggal ibu dan tempat jemuran.

Lusa ibu sudah datang. Maka terciptalah tangga dadakan sebagai penghubung lantai bawah dan atas dari dalam (selama ini hanya ada tangga dari luar). Tangga itu yang telah memicu pertengkaranku dengan laki-laki yang tidak pernah dipanggil papi, papa, bapak, atau pun ayah oleh Riri dan Irman. Laki-laki yang kunikahi sebagai suami keduaku dua tahun silam dan enam bulan lalu meninggalkanku bersamaan dengan nenek tua yang sekarang tidur di atas itu terjatuh ketika menuruni tangga itu. Meskipun telah kubawa ke tukang urut, tulang lehernya tetap tak bisa kembali ke posisi semula sehingga kepalanya tak bisa ditegakkan.

Entah dari mana sumbernya, semua orang yang tahu kejadian itu menyangka aku yang telah mendorong nenek tua itu, termasuk mantan suamiku itu.

Mungkin, sebelumnya memang aku sedikit emosi dan berteriak-teriak mengomel. Aku capek. Tiap hari aku harus mencuci sprei bekas nenek tua itu. Bekas ompolnya. Siapa yang tidak capek? Lalu saat aku membereskan piring-piring bekas makannya, kutemukan nasi dan kuah sayur telah berantakan di tempat tidurnya. Entah apa yang telah ia lakukan dengan makanan dan tempat tidur itu, terpaksa aku mengomel. Berteriak-teriak, tepatnya. Ketika aku sedang membereskan tempat tidurnya, tak kusadari perempuan tua itu menuju tangga dan tersandung, lalu terjadilah kejadian itu: ia terjatuh. Teriakannya mengagetkanku, aku memburunya ke tangga.

Tapi aku hanya terpaku melihat tubuhnya teronggok di bawah. Aku berpikir ia akan mati. Suamiku yang ada di bawah pun telah telah sampai di dekat tubuh tua itu. Ia menatapku yang berdiri di bibir tangga. Tatapan penuh pertanyaan atau tatapan menuduh? Entahlah.

Kukatakan pada orang-orang aku tidak bersalah. Tapi siapa yang percaya? Yang mereka tahu hanyalah bahwa aku tidak senang ibu tinggal bersamaku, aku sering berteriak-teriak membentak ibuku, aku hanyalah pekerja malam yang tidak berbakti pada ibunya.

Hei! Aku memang bekerja malam. Aku mencari uang untuk anak-anakku. Tapi, aku mencari uang dengan halal. Aku menjadi penyanyi karoke. Aku memang menjual suaraku, tapi tidak tubuhku. Tapi mereka tidak tahu dan tidak mau tahu.

Nenek tua itu tidak mati. Kakakku datang menjenguk sebentar. Setelah memastikan ibunya tidak mati. Ia pergi lagi. Hah! Aku yakin ia telah menyiapkan kain kafan dari rumah.

“Aku lihat sendiri, Li. Kamu berdiri di pinggir tangga itu saat Ibu jatuh.”

“Kamu gak percaya aku? Aku gak ngedorong dia!.”

“Percaya? Selama ini aku gak pernah percaya kamu. Apa aku harus percaya uang yang kau dapat hanyalah hasil dari kau menyanyi?”

“Anjing! Jadi kamu nuduh aku melacur?”

Dan tamparan mampir di pipiku. Sakit. Tapi, hatiku lebih sakit. Orang yang telah berikrar menjadi suamiku itu menuduhku melacur, padahal hanya dia yang menjadi temanku saat sepi. Saat anak-anakku tidak peduli lagi pada belaianku. Saat anak-anakku sibuk dengan dunianya.

Aku tahu selama ini dia hanya memanfaatkan uangku. Tapi setidaknya ia menghormatiku.

“Bangsat! Lalu kau pikir kau pantas menghinaku. Kau yang selama ini hanya menadah. Kau pikir aku percaya kalau kau bilang kau telah berusaha mencari kerja ke mana-mana?”

Hanya tamparan lagi yang menjawab pertanyaanku. Lalu ia pergi dengan menghempaskan pintu. Deru motornya berlalu. Aku terhenyak di lantai. Aku tahu tetangga-tetangga mendengarkan pertengkaran kami.

Aku tidak peduli.

Pipiku sakit sekali. Riri, Irman, aku berharap mereka di sini. Tapi tak ada. Ruangan kosong. Dan hanya aku dan nenek tua itu yang ada di rumah ini. Anak-anak dan suamiku mencampakkanku.

Terbayang Riri dan Irman sedang berlari-larian di tepi pantai Kuta. Liburan. Terbayang juga suamiku sedang memeluk perempuan lain yang mempunyai lebih banyak uang. Aku merasa sangat sesak dan aku hanya bisa meratap di lantai rumahku yang dingin. Aku capek. Aku capek menghadapai semua ini.

Saat aku merasa sangat letih, bayang-bayang masa lalu yang entah kusimpan di bagian mana otakku perlahan-lahan muncul.

Suara sayup-sayup ibu kudengar memanggil-manggilku, “Lili! Lili! Ke mana saja kau? Mana cabe yang Ibu suruh beli tadi?”

Aku terpaku. Aku lupa.

Segera aku berlari meninggalkan ibu. Tukang sayur sudah tidak ada. Sudah terlalu siang. Aku tidak tahu harus membeli cabe di mana. Tapi, jika aku kembali dengan tangan kosong, ibu akan lebih marah.

“Apa yang kau bawa ini? Ibu tidak nyuruh kamu beli sambal. Tapi cabe. Dasar anak malas! Ibu capek mengajarimu. Kenapa sih, kau tidak belajar dari kakakmu itu? Ia tidak pernah membuat Ibu marah.”

“Tapi, Bu. Tukang sayur udah enggak ada. Kan Ibu juga mau bikin jadi sambel...”

“Anak kurang ajar. Berani melawan orangtua! Dasar! Jaga mulutmu itu!”

Reflek tangan ibu merogoh sambel dalam kantong plastik dan mejejalkannya ke mulutku.

“Rasakan! Ini peringatan supaya kau tidak berani melawan Ibu lagi.”

Aku tidak dapat melakukan apa-apa. Mataku perih sekali, apalagi mulutku. Terasa panas.

“Ibu, udah Bu...mulut Lili panas.”

“Biar. Biar kau rasa! Jadi kau tidak akan melawan Ibu lagi.”

“Bapak...Bapak...”

“Panggil saja Bapakmu itu. Ia tidak akan mendengarmu. Atau sekalian saja kau gali kuburannya dan mengadu padanya.”

Aku semakin terisak. Lalu ibu pergi meninggalkanku. Aku tidak mampu berbuat apa-apa. Setelah mencuci sambel yang melekat, aku meneruskan tangisku di kamar.

“Li, bangun. Makan,” suara kakakku, Latifah, membangunkanku.

Ia sudah pulang kerja, berarti hari sudah malam. Mulutku masih terasa panas. Mungkin bengkak. Mataku masih terasa perih. Perutku juga terasa perih. Aku belum makan sejak siang tadi.

Aku ke dapur dan diam-diam menyendok nasi. Aku berharap tidak bertemu ibu. Namun, saat aku mulai menyuap nasi, tiba-tiba ibu datang.

“Fah, adikmu ini tadi siang berani ngelawan Ibu.”

Dan bergulirlah cerita versi ibu. Seketika, perutku menjadi kenyang.

“Dengar Li! Kau harus bersyukur. Kakakmu mau bekerja untuk makan dan uang sekolahmu.”

Aku hanya diam. Aku sudah bosan mendengar perbandingan yang diujarkan ibu. Bukan salahku kalau aku lebih kecil dari Latifah. Sejak bapak pergi, ibu selalu menganggapku hanya menjadi beban.

Padahal aku juga selalu berusaha membantu ibu. Sepulang sekolah aku mencuci piring dan menyapu rumah.

Apa salah kalau kadang aku juga ikut main dengan anak-anak lain di samping rumah kami?

Dan akhirnya aku tahu jawabannya setelah ibu membawakanku air cucian piring dan menyiramnya ke sekujur tubuhku.

Aku bukan seperti anak-anak lain itu yang boleh bermain sepuas mereka. Menurut ibu, aku harus menghargai kakakku yang mencari uang untuk sekolahku. Aku harus belajar di rumah. Tapi, besok hari Minggu dan aku juga tidak ada PR.

“Inilah akibatnya kau terlalu dimanja Bapakmu! Tapi sekarang kamu tau kan, ia tidak peduli lagi padamu. Ia mati begitu saja.”

Ah, aku tidak tahu apa yang dimaksudkan ibu. Aku mencoba menyuap lagi nasi, meski perutku menolak. Nasi itu harus habis. Aku tidak mau ibu bertambah marah.

Aku teringat bapak, samar-samar. Kata ibu, ia mati begitu saja. Aku tidak tahu maksudnya apa. Tapi, aku pernah mendengar kata tetangga, bapak tidak mati. Bapak pergi bersama perempuan lain. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya. Saat itu, aku masih kanak-kanak.

Setelah lulus SMA, aku pergi dari rumahku yang terletak di pinggir kota Jakarta itu. Aku mengadu nasib ke pusat kota. Sekalian juga aku lari dari ibu. Tapi, akhirnya setelah menikah, Kak Latifah pun meninggalkan rumahku yang masih udik itu dan membawa serta ibu.

“Li...Li...”

Tiba-tiba, suara panggilan yang sayup-sayup tadi menjadi nyata. Aku dengar erangan dari atas. Nenek tua itu memanggilku. Aku tak peduli dan tetap menuju kamarku dan meraih botol itu dari bawah tempat tidur. Lalu menenggak isinya. Aku rasa inilah cara termudah menyelesaikan semuanya. Cairan obat pembunuh nyamuk itu mengalir di tenggorokanku. Tenggorokanku terasa terbakar. Aku tahu aku akan mati. Namun, tanpa kusadari aku berteriak sekuat tenaga. Rumah penduduk yang rapat menguntungkanku. Tetangga-tetangga mendengar teriakanku. Lalu dengan berbaik hati mereka membawaku ke rumah sakit.

Riri dan Irman menatapku dengan tatapan menghakimi. Aku berusaha tersenyum. Ingin rasanya bertanya apakah mereka senang dengan liburannya. Tapi, entahlah. Aku cukup senang mereka ada di sisiku. Anak-anakku sudah kembali.

***

Ah, begitu panjang kenangan tangga itu. Kenangan yang menjadikanku lebih tegar. Membuatku belajar bahwa aku tidak perlu suami. Yang lebih aku butuhkan adalah anak-anakku. Oleh karena itu, aku tidak ingin membuat mereka membenciku. Biarlah aku telat. Yang penting celana dan baju-baju Irman selamat.

Aku bergegas melangkah ke balkon. Mengangkat jemuran. Setelah meletakkan pakaian itu ke dalam keranjang di pojok kiri ruangan, kurasa aku harus menyempatkan diri menegok nenek penghuni lantai atas tersebut.

Sepertinya, aku akan sangat terlambat malam ini.

Sepertinya ia tidur karena tak terdengar suaranya mengerang. Kusingkap gorden penutup kamarnya.

Aku sungguh kaget.

Tubuh tua itu tidak tampak sama sekali. Yang ada hanya gumpalan hitam: kumpulan semut-semut yang berebut tempat mengerogoti temuan mereka: daging di tubuh itu.

Perutku bergejolak menyaksikannya. Aku menahan rasa ingin muntah melihat semut-semut yang dengan ganas menyantap tubuh tua itu.

Tubuhku lunglai. Aku tidak tahu harus melakukan apa.

Lalu, dengan suara tercekat, aku berteriak minta tolong.

Nenek tua itu: ibuku mati.

Dan aku tidak tahu entah sejak pukul berapa semut-semut itu mengerogoti tubuhnya. Aku benar-benar tidak tahu.


Widyawati Oktavia, Depok, 25 Mei 2004

KALI INI, KAU TERLALU TERBURU-BURU


Jalan Margonda, pukul setengah sembilan malam. Perempuan itu keluar dari warnet La Tanete yang menjadi tempatnya untuk membunuh waktu. Tempat yang paling mudah untuk menemukan perempuan dengan rambut sebahu yang bergelombang itu, selain di tempat kostnya yang teletak dua ratus langkah dari warnet tersebut. Satu sampai satu setengah jam—hampir tiap hari—ia menghabiskan waktu di tempat itu; mencari data untuk bahan kuliah atau pun sekadar memeriksa e-mail yang masuk, menjelajahi situs-situs berita terkini, sampai membaca ramalan bintang yang terkadang isinya selalu sama setiap minggunya. Hampir semua temannya tahu kebiasaan gadis ini.

Ia bergegas hendak meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba ia berhenti saat mendengar suara, “Rubi!”

Ketika ia menengok ke belakang, sosok yang memanggilnya itu tersenyum dengan senyum yang sangat dihapalnya. “Aria?” Rubi sebenarnya bukan bertanya, tetapi memastikan.

“Apa kabar, Bi?” Laki-laki yang tadi memanggilnya itu menyodorkan tangannya.

“Baik.” Perempuan itu menjabat tangannya dan berusaha untuk tersenyum meskipun ia merasa sedikit kaku dengan situasi saat ini.

“Boleh nemenin balik ke kosan?” tanya laki-laki yang tampak lebih dewasa daripada perempuan itu. Ia mencoba untuk tidak hanyut dalam kekakuan suasana.

Perempuan itu mengangguk, “Ya, bolehlah,” ujarnya dengan sedikit gugup karena dia tidak siap dengan situasi ini.

Kemudian, jalan Margonda itu mereka susuri berdua, seperti dulu, setahun yang lalu.

“Kok, bisa ada di sini?” tanya perempuan yang mencoba tidak mendengarkan debaran yang mulai tidak beraturan di dadanya itu.

“Aku sengaja mau nemuin kamu, Bi. Tadi aku ke kosan dan dibilangin kalau kamu lagi ke luar. Ya udah, aku langsung ke sini. Ternyata kamu nggak berubah ya, Bi. Masih suka aja ama La Tanete,” ujar laki-laki yang masih juga seperti dulu: dengan rambut ikal tidak rapi yang membuatnya kelihatan lebih manis dan jaket hitam yang itu-itu juga.

“Yah, begitulah. Lagian juga baru setahun, belum cukup lama buat ngubah seseorang. Lagian aku juga selalu nyaman di La Tanete.” Perkataan perempuan itu tampaknya menyiratkan hal lain.

Laki-laki itu tersenyum, entah dapat menangkap maksud perempuan itu atau tidak. “Bagiku cukup lama, Bi. Hari-hari setahun ini telah banyak mengubahku.” Laki-laki itu menatap kosong pada cahaya lampu jalan yang tampak remang-remang.

Di sebelah kanan mereka, roda mobil dan motor saling berlomba berputar di jalan aspal yang sangat mereka akrabi namanya. Tiba-tiba saja, perlahan-lahan waktu berjalan mundur di benak perempuan itu.

“Kok tiduran di luar, Bi, nggak dingin?”

“Lagi nungguin bintang jatoh,” jawab perempuan itu tanpa menghiraukan dingin angin gunung di Surya Kencana, Gunung Gede. Api unggun yang dibuat rombongan mereka pun tidak dapat berbuat banyak untuk mengusir angin yang telah lama berkuasa di gunung itu.

“Ikutan ya.”

Sebelum Rubi menjawab, laki-laki itu sudah menggelar matras di sebelahnya. Malam itu, tampaknya satu bintang telah jatuh untuk Rubi dan mengabulkan keinginannya: laki-laki itu menemaninya menatap langit.

Laki-laki itu bernama Aria. Ia dan Rubi hanya teman biasa. Namun, sejak pertama Rubi telah menemukan sisi yang selalu membuatnya seperti orang bodoh di depan Aria. Jika tidak melihat sosok Aria, Rubi selalu mencarinya. Akan tetapi, jika Aria ada di dekatnya, Rubi tampak tidak peduli. Kata orang, hal itu berarti jatuh cinta. Entahlah, Rubi belum mengerti hal—menurutnya, itu merupakan kebodohan—yang sudah berlangsung selama satu tahun itu. Kebodohan itu yang juga membuatnya ikut menjejakkan kaki di gunung ini.

“Emang kalo ada bintang yang jatoh, lo mau apa, Bi?”

“Apa ya? Gue pengen permintaan orang yang gue sayangi terkabul.”

“Kok, buat orang, sih, Bi?”

“Abisnya, gue dah yakin permintaan gue nggak bakal terkabul.” Rubi tersenyum, tapi tampak dipaksakan.

“Kok segitunya, sih, Bi?” Aria tidak percaya Rubi yang dikenalnya ternyata pesimis.

“Pasti lo pikir gue pesimis. Nggak kok, Ya. Gue seneng aja kalo orang yang gue sayang seneng. Gitu, Ya!”

Aria tersenyum, ternyata masih ada orang yang berpikiran seperti itu, pikirnya. Tiba-tiba, di langit sebelah barat meluncur satu bintang. Rubi dan Aria melihatnya dengan jelas dan dalam hati mereka mengucapkan keinginan masing-masing.

“Lo minta apa, Ya?”

“Dia, Bi,” ujar Aria.

Mendengar kata “dia”, angin dingin gunung membekukan hati Rubi. Tiba-tiba, Rubi tidak ingin lagi mendaki sampai puncak karena sebelum sampai ia telah tahu apa yang akan dilihatnya. Usahanya untuk mencapai puncak saat ini menjadi sia-sia. Ternyata, puncak yang akan didakinya tidak seperti yang dibayangkannya. Ia begitu menyesal telah melakukan hal-hal bodoh selama ini. Bahkan, ia menyesali menjejakkan kaki di gunung ini.

Malam itu, Rubi akhirnya tahu bahwa Aria telah mempunyai “dia”. Seorang perempuan yang kata Aria membuatnya tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak berpikiran picik seperti kebanyakan laki-laki lainnya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia berbeda. Banyak hal yang mereka bincangkan malam itu, tetapi tak satu pun mampu mencairkan kebekuan hati Rubi. Saat itu, Rubi berharap satu bintang jatuh lagi untuknya. Tetapi, sampai ia beranjak ke dalam tenda, tak satu pun bintang yang jatuh.

Namun, ternyata apa yang orang bilang ada benarnya juga: di gunung, segala hal dapat terjadi. Hal ini terbukti dengan sikap Aria pada Rubi. Entah kenapa, setelah turun dari gunung, tidak hanya Rubi yang mencari-cari Aria, laki-laki itu juga. Pesan-pesan singkat lewat telepon genggam mereka juga semakin tidak biasa. Sampai akhirnya suatu hari Aria mengakui bahwa ia menyayangi Rubi. Kemudian, hari-hari menjadi indah bagi Rubi. Hari-hari di kampus, malam-malam sepanjang jalan Margonda, perbincangan tentang langit, bintang, bulan, hujan, sampai pada gambar senyum di pesan singkat telepon genggam menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan bagi perempuan itu.

Akan tetapi, hal itu hanya berlangsung selama dua bulan. Kemudian, Aria menyadari bahwa ia salah. Ia sangat merasa bersalah pada “dia”. Sayangnya, Aria juga tidak dapat memilih salah satunya. Rubi akhirnya menyadari hal itu. Ketika itu, bukan Aria yang memilih, melainkan Rubi. Perempuan itu memilih untuk mencari jalannya sendiri. Ia yakin bisa menemukannya meskipun bukan bersama Aria. Sakit memang. Tapi, ia bukan perempuan lemah dan ia yakin semua yang diberikan-Nya adalah yang terbaik. Lagipula, ia akan lebih mudah melupakan Aria karena beberapa bulan kemudian Aria wisuda. Dan sejak saat itu, tak salah satu dari mereka pun yang mencoba untuk saling menghubungi. Hubungan mereka yang tak didasari komitmen—kata sebagian orang, itulah model hubungan orang dewasa—benar-benar putus.

Lalu, malam ini, Aria muncul lagi dalam kehidupan Rubi. Masih sama seperti dulu. Ternyata, setahun memang tidak banyak mengubah seseorang. Mengubah hati? Entahlah, Rubi tidak bisa menjawabnya.

“Bi, ‘dia’ udah nikah,” tiba-tiba Aria mengatakan itu.

“Trus?” tanya Rubi singkat dan begitu cepat, seperti meloncat dengan tiba-tiba.

“Sebulan yang lalu. Dia tiba-tiba aja bilang kalau aku tidak menyayanginya sepenuhnya. Dia bilang aku berubah. Dia bilang aku sama aja ama laki-laki lain. Semua tiba-tiba aja, Bi, dan aku nggak dikasih kesempatan buat ngomong. Padahal, sebelumnya, aku udah berniat menjelaskan apa yang ada di hatiku. Kamu tahu, Bi kenapa semua itu terjadi? Waktu itu, dia nemuin puisi tentang langit, bintang, bulan, dan hujan darimu, Bi. Kamu tahu kan, lembaran-lembaran itu sangat berarti bagiku,” cerita Aria mengalir.

Rubi sebenarnya tidak ingin mendengar semua itu. Ia benci karena Aria masih saja seperti dulu: tidak berpendirian. Aria masih saja tidak bisa memilih antara Rubi dan “dia”. Ia menjadi sangat benci pada laki-laki yang tampaknya sekarang ingin mengganggu hidupnya lagi.

“Trus, apa yang lo harapin dari gue, Ya? Lo mau gue balik ke lo lagi, gantiin ‘dia’ yang udah ninggalin lo?” Rubi menjadi sangat marah sehingga ia memakai sapaan bukan lagi aku dan kamu, melainkan lo dan gue.

“Bi, bukan itu maksudku. Aku butuh orang yang ngertiin aku. Akhir-akhir ini, aku menjadi orang yang tidak waras, Bi. Aku tidak menjadi aku. Kamu tahu nggak? Sekarang hanya minuman-minuman yang nggak jelas itu yang bikin aku tenang.”

Mendengar itu, Rubi bertambah benci pada Aria. Ia tidak menyangka Aria selemah itu hanya gara-gara perempuan. “Udahlah, Ya! Gue udah nemuin jalan gue sendiri. Udah gue temuin, Ya. Meskipun nggak bersama lo. Gue udah nemuin itu bersama orang lain.”

Rubi ingin Aria tahu bahwa ia bukan orang yang bisa dijadikan tempat untuk berhenti jika hujan dan jika reda ia akan pergi lagi. Ia tidak mau. Rubi memang telah menemukan jalannya, tapi ia temukan sendiri, tidak bersama orang lain. Namun, Rubi ingin Aria tahu bahwa dia tidak berarti apa-apa lagi.

“Bi, bukan itu maksudku. Waktu itu aku tidak memilih, kamu yang pilihin semua buat aku, buat kita. Kamu tahu nggak? Sejak awal aku udah merasa pilihanmu itu salah. Tapi, aku terima karena aku pikir itu balasan karena telah menyakitimu. Saat ini, aku cuma ingin kamu tahu bahwa ternyata selama ini, bukan ‘dia’, tapi kamulah yang aku cari. Tapi, aku butuh waktu untuk semua itu.”

“Maaf, Ya. Aku udah lebih dulu ditemuin orang lain. Kamu selama ini tidak mencari, tapi hanya berpikir sampai waktu yang kau punya pun bosan menemanimu.” Rubi tidak menghiraukan getaran yang tadi mampir kembali di hatinya. Ia benci karena Aria sejak awal tidak berani mengambil risiko.

Aria terdiam. Ia tahu dirinya salah. Namun, ia hanya mencoba. Terkadang, orang baru menyadari bahwa ia mencintai seseorang saat orang itu telah pergi.

“Bi, kamu tahu nggak apa permintaanku waktu kita liat bintang jatoh di Gede dulu?” tanya Aria, saat semua tampak tak mungkin dicoba lagi, saat Rubi—mungkin hanya demi kesopanan—menemaninya menunggu bus di depan kosannya.

“Apa?” Rubi kurang tertarik dengan perbincangan itu karena dia sudah tahu apa jawabannya.

“Aku minta supaya permintaanmu yang waktu itu kamu bilang nggak akan terkabul dapat terkabul,” jawab Aria. Jawaban yang terburu-buru karena bus yang ditunggunya sudah datang. Dia segera naik dan menghilang dalam kaca gelap bus bewarna biru tersebut.

Rubi terpaku. Ia semakin tidak mengerti akan hati dan perasaannya. Aria, mungkin kamu juga ingin mendengar apa permintaanku waktu itu. Waktu itu, aku benar-benar minta agar permintaan orang yang kusayangi dapat terkabul. Dan kamu tahu pasti siapa orang yang kusayang saat itu. Sayang, kali ini kamu terlalu terburu-buru. Bus itu telah membawamu pergi sebelum kau tahu bahwa aku juga perlu waktu, Rubi berkata dalam hatinya.

Malam di Jalan Margonda berjalan perlahan, lampu jalan masih remang-remang, dan roda-roda kendaraan di jalan itu masih berputar. Seperti halnya hidup. Esok, entah apa yang terjadi saat ia berputar. Tak ada yang tahu. Pun, Rubi dan Aria.


Depok, Desember 2004
sumber gambar: www.artofthemix-org

Tuesday, May 23, 2006

LONESTAR



Lonestar where are you out tonight?
This feeling I'm trying to fight
It's dark and I think that I would give anything
For yout o shine down on me

How far you are I just don't know
The distance I'm willing to go
I pick up a stone that I cast to the sky
Hoping for some kind of sign


©norahjones ;)

Thursday, May 18, 2006

Laki-laki di Lorong: Sepi



Ditemani hangat kopi susu
aku membaca puisi
tentang perempuan jatuh cinta
pada laki-laki di lorong sepi

ah, perempuan
bukan hanya sepi
teman laki-laki itu
tak taukah kau
gemuruh ramai di dada
menjadi sahabatnya

perempuan
sampai kapan
kau akan jatuh cinta
pada laki-laki
di lorong itu
ia tak pernah sepi.

--20 Maret 2003--

(gambar: www.ivizlab.spu.ca)

Perempuan yang Duduk Itu Telah Membaca Suratmu



Surat itu telah lama ia selipkan di balik kutangnya
menguning sudah putih kertasnya dicumbui usia
sama seperti kerut-kerut kulitnya yang diukir beribu-ribu malam
petang sudah sejak tadi menyapa
perempuan itu tak peduli, seperti kemarin-kemarin
ia masih saja duduk di persimpangan hati
perempuan dengan selipan surat di balik kutangnya itu
selalu bercerita pada senja, laki-lakinya akan kembali
ah, laki-laki
masih sajakah kau bertanya akan arti setianya?


-- Widyawati Oktavia, Depok, 24 Mei 2003--

(gambar: www.shimizuwoodcuts.com)

Wednesday, May 17, 2006

SETIAP CERITA PUNYA AKHIR, KITA TAHU: TAPI, KADANG, KITA BELUM MENGERTI

Padahal, hari itu langkah seperti biasa. Kita masih mengisi pagi dengan kata terlambat, lalu pergi dengan terburu-buru, kemudian mengisi buku catatan dengan dengan coretan-coretan tak berarti saat dosen menerangkan. Kelas sejarah bahasa, aku pun tergagap menjawab pertanyaan dari dosen, seperti biasa—tak yakin akan kebenaran jawaban yang diucapkan sendiri. Meskipun seperti biasa, setidaknya hari itu, ada dua halaman catatan di bukuku. Bahkan, di kiri atas, tertera tanggal hari itu dan catatan kecil: hari ulang tahun seorang teman. Lalu, akhirnya kelas pun berakhir seperti biasa. Terasa begitu lama, itu pun seperti biasa.

Kelas bahasa Belanda, 4108, kita masih tertawa—entah menertawakan apa, yang pasti kita merasa bahagia. Dan, aku pun mencatat, hari ini kita mempelajari pembentukan kata kerja pada bahasa Belanda. Hanya tujuh baris catatan hari ini. Kita terlalu bahagia di kelas itu, seperti biasa pula.

Kemudian, kita terburu-buru menuju Margonda, jalan yang telah lama membingkai langkah-langkah kita. Mengejar waktu yang pasti selalu berjalan lebih dulu daripada kita. Kita sampai juga di SD yang kita tuju. Kau bacakan puisi “Yatim”-mu untuk anak-anak SD itu. Tapi, sebelumnya mereka mengisi isian biodata. Pelengkap karyamu—yang akan mengantarmu ke gerbang dunia baru: kerja—nanti. Aku tak terlalu ceria kali itu, sedikit pusing, kepanasan di jalan. Itu juga hal biasa.

Kupilih bangku paling belakang di sebelah kanan, lalu merebahkan kepala. Hari itu, kita sangat kagum pada guru SD itu. Kagum pada kisah yang beterbangan di ruang kelas yang seadanya itu. Cerita Karina yang disuruh jadi pengantin saja kelak, sampai pada cerita penyusunan buku oleh pengajar yang peduli murid. Sosok yang sangat membuat bangga. Cerita-cerita yang sangat menarik—tetapi terasa sedikit lama karena kita sibuk juga menghitung waktu—kita dengar dari guru yang di bahunya dititipkan para orangtua segudang cita-cita. Meskipun kita memutuskan membuka fans club untuknya dan sepakat menjadi anggotanya, kita terpaksa mencari jeda. Ada kuliah menelaah segala wacana.
Hari itu seperti biasa.

Kita masih ke kampus lagi, dan bersiap menelaah segala. Untungnya, waktu masih tersisa untuk berdialog dengan-Nya. Sebelumnya, kita mampir di kantin. Ada anak-anak. Juga dua kakak kita yang sudah dulu melangkah ke dunia yang akan kita datangi juga. Salam hangat pada mereka sebelumnya, lalu kita menuju-Nya. Aku ingat, pada yang telah melangkah, kita sempat basa-basi minta traktir, seperti biasa. Kita pamit sebentar, lalu kembali. Dan, aku juga ingat sepiring ketoprak, entah kenapa, rasanya kurang bersahabat, kali ini. Tapi, ternyata yang telah melangkah sambut basa-basi kita. Makanan kita dibayari. Tetapi, sebenarnya ini juga biasa.
Anak-anak sedikit malas masuk kelas, sudah lewat dari pukul setengah tiga. Meski sudah terlalu banyak waktu kuliah yang kita korup, langkah akhirnya ke sana juga, 4205. Dan, sebelumnya, aku sempat meluapkan kekaguman pada sang guru SD, saat melihat anaknya—juga adalah teman kita—dari kaca pintu perpustakaan. “Mulai hari ini, gue jadi fans ibu lo. Ibu lo keren banget.” Hanya sekali lewat.

Hari itu seperti biasa, tadinya ....

Dosen kita, kali ini ditemani. “Duet maut” tulis seorang sahabat kita di ujung diktat—yang dengan baik hati diberikan dosen yang selalu bersemangat itu. Aku menahan tawa. Pertanyaan sedang beredar dan pasti juga akan sampai padaku. Tetapi, kali ini, aku sedikit bangga. Bekal catatanku tentang kohesi, koherensi—dari skripsi di perpustakaan—cukup bisa menjawab.

Saat itu, entah pukul berapa tepatnya, HP 2100 yg ada di kantongku itu bergetar. Terus. Kelas sore yang sangat semangat itu enggan kuganggu. Aku bertahan. Kakak laki-lakiku menelepon. Getar HP yg di-silent dan tidak berpulsa itu terus dan terus meskipun beberapa kali tombol cancel menghentikannya. Terus. Dan terus. Aku sedikit panik. SMS dari HP seorang sahabat kecil kita kukirim: kabarkan aku sedang kuliah, telepon lagi nanti. Sudah cukup lama. Balasan dikirim ke HP sahabat kecil.

Dan, dengan tak mengerti—bahkan, mungkin tak sempat untuk mengerti—sahabat kecil kita menyodorkan HP itu padaku, yang duduk di samping kanannya. Itu SMS balasan dari kakak laki-lakiku. SMS dengan huruf kapital semua. Bukan simbol kemarahan—mungkin itu keterburu-buruan. Kalimat berita dan kalimat perintah. Aku begitu kaget membacanya. Bahkan, kaget yang sangat berlebihan jika hanya untuk sebuah SMS.
Aku mencoba mengerti apa yang tertulis. Aku mencoba menyerap maknanya lagi—bukan karena tata bahasa yang kurang tepat atau logika bahasa yang kurang jalan. Lagi dan lagi, aku menyerap maknanya. Tak juga kumengerti. Dan, ternyata, air mataku lebih mengerti akan maknanya. Dan, air mata itu semakin mengerti. Aku tak lagi mengerti apa-apa. Juga, mungkin, aku tak lagi mengerti diriku sendiri.

Itu yang bernama kehilangan, kata mereka. Kata yang juga biasa kudengar, kuperbincangkan, denganmu, Sahabat. Hari itu, setahun yang lalu, di hari ulang tahun adikku, yang bernama kehilangan itu menjelma. Dia menyusup begitu cepat di langkahku, di ingatanku, di nadiku, di air mataku. Di hatiku. Di diriku.
Aku tidak sempat berkata, “Tunggu! Aku belum selesai merajutkan janjiku untuknya”, “Tunggu! Aku belum sempat mengajaknya mengukir angin sampai utara”, “Tunggu! Aku belum sempat mengatakan, ada ruang berbagi tawa, dukanya di hatiku”, “Tunggu! Aku belum sempat ...”. Belum sempat. Dan, aku sudah harus mengerti akan makna kehilangan yang sebenarnya. Saat milik-Nya diambil kembali. Tiba-tiba, segala yang seharusnya biasa menjadi penuh disusupi tanya. Ketika itu, hanya air mata yang mengerti.
Sahabat, itukah arti kehilangan itu? Ah, mengapa terasa begitu pilu?

Depok, 4 Februari 2005
“Bulan ini, ulang tahunnya lagi. Setahun sudah.”

Tuesday, May 16, 2006

Penjual Kenangan


Katanya, harapannya telah lama ia hanyutkan di sungai. Kini, yang ada hanya kenangan yang terus menyesak bagai udara di dalam ruang kaca yang semakin menyempit. Kenangan yang hanya terus berputar-putar, tak beranjak ke mana-mana. Seperti daun yang jatuh, luruh, lalu mengering, dan mungkin membusuk. Hanya kenangan itu yang ada. Kenangan yang tak beranjak ke mana-mana. Adakah yang mau membeli kenangannya? Menukarkannya dengan harapan. Katanya, harapannya telah lama ia hanyutkan di sungai. Dan mungkin telah sampai ke samudra.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin