Penjual Kenangan

Tuesday, May 31, 2011

child(ish)






suatu hari, aku mendengar ketel yang baru kujerang berbunyi. aku angkat dengan cepat. ada jawaban doa di dalamnya, aku tersenyum. cepat sekali doaku matang. :)

aku sedikit tercekat, terlintas tak sengaja: apakah benar ini jawabannya? aku sempat meragukan jawaban-Mu, benarkah?

lalu, hati berbisik untuk inginkan jawaban sebaliknya. Tuhan Yang Mahabaik, maafkan….

kenapa tak kau jerang kembali? bisik hati.

“yang sudah matang kau jerang kembali,” aku teringat ucapan seorang kawan, “hati-hati hangus.” 



# i owe the pic!

Friday, May 27, 2011

Luka





Kau mengetuk pintu rumahku, tidak keras, hanya perlahan. Entah ketukan keberapa aku baru mendengarnya, entah berapa lama kau sudah berada di sana; aku tak tahu.
 
Kau, aku masih mengenalimu meski beribu-ribu masa telah menyamarkan wajahmu.

"Aku singgah," katamu memulai. Lalu terdiam dalam jeda yang begitu lama. Tanganmu resah dengan sebuah tas tua di bahumu. "Aku singgah," katamu lagi. 

Apa kau berharap aku menyambutmu dalam peluk hangat dan isak penuh kerinduan? Begitukah?

Kita kembali dalam jeda yang sangat lama. Aku hanyut dalam diam; seketika mengulang kembali sebuah kisah cinta dalam benakku: benarkah itu kita yang berbagi tawa? Terlalu samar wajah mereka. Bukan kita, aku rasa. Bukankah hanya luka-luka yang menggurat dalam langkah kita?

Dan, kau tahu, langkahmu pun masih selalu meninggalkan jejak luka di sini. Terlalu dalam jejaknya. Tahun-tahun pun menyerah untuk membesarkan hatinya, atau sekadar membuatnya lupa.

"Aku singgah," katamu. Bahumu semakin jatuh, tampak terlalu berat dibebani tas tua di bahumu itu. Bukankah sudah kusarankan agar kau campakkan ia?di ujung dunia, jika bisa, agar ia tak lagi temukan jalan kembali bersamamu, dan membeban di bahumu.

Kau menatapku lekat, seolah membiarkan aku membaca gurat-gurat kisah yang selalu kau sembunyikan, bahkan dari dirimu sendiri. Di matamu, di sana kau selalu menyimpannya, mencoba merahasiakannya.
Kau, ya, aku masih mengenalimu meski beribu-ribu masa telah menyamarkan wajahmuah, beribu-ribu bulir air mata, tepatnya.

"Ya," katamu, "aku singgah lagi. Dan masih luka yang kubawa dalam tas tua ini. Maafkan."

Lalu, kau menghilang dalam satu lagi hari yang menyenja. Meninggalkan satu lagi jejak luka di halaman rumahku.

"Jangan singgah lagi," ucapku, "pun jika cinta yang kau bawa."

Kau tak berpaling, tahu bahwa kau tak akan pernah bisa (lagi) membawakanku cinta.

Cinta, kita sama-sama menjadi saksi mata tanpa alibi untuk menyelamatkan diri, telah kita campakkan pada suatu masatanpa memberi kesempatan baginya, bahkan untuk menyampaikan sebuah pledoi sederhana: "bukan aku yang membawa luka," katanya, "ia lahir dari rahim yang bernama 'tak percaya', bukan dari rahimku." Pembelaannya tak pernah kau-aku dengarkan.

"Kalian saja yang bodoh," tambahnya.

Kita gelap mata. Lalu, dengan membabi buta, kita patahkan lehernya dan kita benamkan iake neraka.

Di sanalah ia kini berada,
yang dahulu kita namakan cinta.


#i owe the pic!#

Thursday, May 26, 2011

matahari menghilang


  


dari tempat aku duduk sekarang, matahari sedang menyala dalam merah tembaga. selalu indah dalam warnanya itu, seakan-akan mampu menyerap setiap resah dalam butiran warnanya.
tapi, dia tampak semakin jatuh, seakan-akan ditarik begitu pelan oleh tangan-tangan yang tak kasatmata.

kita pernah menunggu matahari merah tembaga seperti itu, dulu. 
dalam percakapan-percakapan panjang. 
dan, tanpa kita sadari, matahari tiba-tiba saja menghilang.

dan, sekarang, kau tahu, hanya beberapa kilas dalam pandanganku, ia juga sudah menghilang; pulang.
tanpa ada jejaknya di sana hingga aku pun tak akan bisa menyusurinya, untuk menemukan dan menanyakan kabarnya.

sudahlah. esok dia akan berada di sana lagi, bukan?

matahari merah tembaga tak berada di tempatnya lagi. matahari menghilang.
dan, aku pun tahu aku harus beranjak dari sini, 
pulang.




#i owe the pic!#

Wednesday, May 25, 2011

Kala Itu



Hujan jatuh tiba-tiba, menghentikan langkahku. Membuatku menunggu. 

Kala itu, hujan juga jatuh. Kita buru-buru berhenti. Di tepi jalan itu, tergesa-gesa aku meraih ke dalam tas sandangku. Kau menatapku, lalu mengulurkan sebelah tanganmu, membantu memasangkan baju penahan hujan itu ke lenganku. Kau tahu, sepertinya, aku sempat mencuri senyummu kala itu.

Hujan rintik bertambah deras. Kita menyusurinya. Angin dingin menerpa kita. 
“Kita berhenti saja?” tanyaku samar, khawatir beribu rintik itu menyamarkan arah dari kacamatamu yang--selalu membuatku ingin berkomentar--entah bagaimana bisa begitu pas berada di pola wajahmu itu, kau tahu. 

“Tak apa,” katamu, “aku suka hujan.”

"Aku juga," sahutku di antara senyum, yang sepertinya hilang ditelan suara hujan dan deru. 

Hujan jatuh tiba-tiba kali ini, menghentikan langkahku.
Membuatku menunggu--dan waktu menjadi sangat lamban dalam detaknya.
Aku teringat kau, juga percakapan panjang kita. Bercerita denganmu dapat membunuh waktu. Tidak perlahan-lahan. Begitu cepat.
Aku suka. Sudah aku bilang belum, ya, padamu?

 #i owe the pic#

Sunday, May 22, 2011

(meng)isi ketel hari ini


kau tahu, azan subuh baru saja menyusup melalui tingkap dinding kamarku. sudah pagi, rupanya. tiba-tiba saja perutku terasa lapar dan sakit kepala kurang tidur menyerang. deru di luar, di jalan margonda raya (yang pasti akan kurindukan) terdengar sunyi. hanya satu dua terdengar suara di sana. saat-saat seperti ini memang penuh godaan sekali untuk memejamkan mata.

tapi, kau tahu, azan subuh baru saja menyusup di tingkap dinding kamarku. aku mengirimkan sebuah doa (berharap khusyuk) kepada-Nya barusan, lalu menantikan kabar balasannya--seperti yang pernah aku bilang juga, ibarat memasukkan air ke dalam ketel, lalu tinggal menunggu ketel berbunyi. cuma satu doa, kali ini. maaf tidak aku titipkan doa buatmu, aku takut dibilang terlalu banyak tuntutan. hehe.

mungkin setelah azan subuh esok. antara azan dan ikamah, katanya itu salah satu waktu mustajab doa-doa. jadi, akan kuucapkan satu doa di antara waktu itu untukmu, besok ya. ;)
 


#i owe the pic!#

Saturday, May 21, 2011

[Mereka Bicara: Penghargaan dalam Sastra]

lagi nyari-nyari file di kompi, malah nemu file ini. hehe. ini dibikin buat majalah Gaung--majalahnya anak Sastra Indonesia FIB UI--dengan tema "Penghargaan dalam Sastra Indonesia", tapi waktu itu belum sempet terbit lagi. jadi, cuma ngendon di kompi saya. tertanda di kompi saya, 13 September 2005. hehe.

oh, iya, inget waktu itu ada kejadian yang agak bodoh (atau malu2in). :p

kejadiannya, waktu lagi wawancara ke rumah sitok (srengenge). ceritanya, kalau ga salah, waktu itu saya, gita, ma andri yang ke sana. naik ojek. ujan-ujan juga klo ga salah. (lupaaa, itu udah lebih dari lima tahun lalu ya?).

jadi, waktu wawancara sitok, beliau bilang ga usah direkam, diinget aja. terus, kami mengamini. tapi, karena saat itu banyak yang disampein dia, dan ngerasa kapasitas otak (saat itu) masih terlalu kecil buat mengingat semuanya, saya berinisiatif (diam-diam) menyalakan tape recorder--kayaknya atas usul gita ma andri juga de. :p

lalu, bodohnya, kami tidak melihat cermin yang ada di dinding rumah sang narasumber. lalu, hiks, "nggak usah direkam," kata yang empunya rumah. dan, tau kan gimana kagetnya waktu kita ketauan melakukan suatu hal secara diam-diam? hiks. kaget dan malu. hahaha.





MEREKA BICARA: PENGHARGAAN DALAM SASTRA

Akhir-akhir ini, penghargaan dalam Sastra Indonesia semakin banyak ragamnya. Bahkan, ada komunitas yang memberi penghargaan pada orang yang ada dalam komunitas itu sendiri. Dari mereka untuk mereka.

Sebenarnya, tradisi “award” dalam dunia Sastra Indonesia sudah ada sejak dulu. Tahun 50-an, misalnya, ada Hadiah BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), salah satu penerimanya, antara lain, Pramoedya Ananta Toer. Tahun 60-an, ada Hadiah Yamin (Yamin Foundation). Selain itu, ada juga Hadiah Sastra Chairil Anwar yang diberikan Dewan Kesenian Jakarta, penerimanya antara lain Mochtar Lubis dan Sutardji Calzoum Bachri.

Saat ini, salah satu penghargaan yang cukup bergengsi dalam Sastra Indonesia adalah Penghargaan Khatulistiwa Award yang digagas oleh Richard Oh. Beberapa pemenangnya adalah Remy Sylado (Kerudung Merah Kirmizi), Hamsad Rangkuti (Bibir dalam Pispot), Seno Gumira Adjidrama (Negeri Senja), dan Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto). Lalu, ada Hadiah Sastra Lontar—seperti  namanya, yang memberikan hadiah ini adalah Yayasan Lontar atau The Lontar Foundation. Joko Pinurbo (kumpulan sajak Celana) dan Gus Tf Sakai (kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta) merupakan dua di antara para pemenangnya.

Mengenai banyaknya penghargaan dalam sastra Indonesia akhir-akhir ini, apa pendapat orang-orang yang banyak berkecimpung dalam dunia Sastra Indonesia?


Ayu Utami—Penulis
“Setiap penghargaan itu selalu bagus ya, memberi tenaga kepada masyarakat. Masyarakat tetap butuh otoritas-otoritas tertentu yang mengatakan sesuatu itu bagus atau tidak. dengan adanya otoritas ini, dia memberi energi perkembangan sastra.”

Dampaknya untuk dunia sastra?
“Dengan demikian, dengan adanya energi, maka seperti mesin, dia jalan. Membuat orang semakin banyak orang tertarik untuk mengapresiasi dan nulis. Probabilitas untuk sastra yang bagus semakin besar.”

Yanusa Nugroho —Penulis
“Tentu saja, jawaban saya, baik sebagai penulis fiksi, maupun sebagai manusia awam, berbahagia sekali melihat banyaknya hadiah sastra. Sebagaimana kita ketahui, hadiah sastra yang ada saat ini begitu beragam; baik cerita maupun jumlah hadiahnya. Apalagi, di bidang sastra daerah, kita juga mengenal ada hadiah sastra Rancage di Jawa Barat, yang memberikan hadiah bukan hanya kepada sastrawan berbahasa Sunda. Pak Suparto Brata (Jawa) pernah mendapat penghargaan tersebut. Jadi, ya, bahagia sekali, di zaman ‘edan’ begini masih ada orang yang mau meluangkan waktu, memberi gairah dan penghargaan ke dunia sastra.”

Sapardi Djoko Damono—Sastrawan, Akademisi
“Mendorong orang-orang untuk menulis secara kreatif. Dan, menghargai.”

Dampak penghargaan terhadap Sastra Indonesia?
 “Tergantung kesusastraan itu karena menang belum tentu diikuti orang dan yang tidak menang belum tentu diikuti orang. Yang dihargai, pencapaian penulisan seseorang. Jadi, dampaknya bukan pada kreativitas seseorang, melainkan terhadap profesi pengarang. Profesi kepenyairan atau kepujanggaan itu dihargai lagi. Hal itu memperlihatkan menjadi pengarang tidak sia-sia karena dihargai. Hadiah untuk profesi, bukan untuk orangnya. Mungkin bisa berdampak juga pada penjualan buku ada pengaruhnya. Mendorong orang-orang untuk membeli buku. Dan, penjualan itu dampaknya macam-macam, misalnya membuat orang-orang ingin menulis. Yang kita perlukan adalah penghargaan untuk yang muda, seperti yang dulu pernah diadakan DKJ. Namun, prosesnya itu mahal.”


Melani Budianta—Akademisi
“Buat saya sebagai akademisi makin banyak penghargaan makin baik. Semakin banyak semakin banyak diversifikasi. Meski banyak cara-caranya, tidak menjadi masalah. Itu hanya perbedaan cara, masalah selera. Kebutuhan (diakui, red) pasti ada. Tidak perlu dilihat sebagai hal yang negatif. Karena waktu yang akan menguji dan masyarakat yang menilai. Penilaian sastra tidak lepas dari selera. Berpulang pada cita rasa.”

Dampak penghargaan terhadap Sastra Indonesia?
“Jika pengarang dapat dukungan, kehidupan kesusastraan makin sehat. Namun, ini relatif. Hal ini juga merupakan kritik sastra. Dalam hal ini, ada apresiasi sastra, menguji penilaian kita. Menghidupkan melatih apresiasi kritik sastra (dengan adanya debat), berargumentasi. Keterbacaan semakin kuat. Sastra mendapat tempat dalam masyarakat dengan adanya penghargaan. Apa yang dilakukan pengarang dihargai dianggap penting.”


(Reporter: Iwied, Gita, Andri, Risia, Yuna, Fifi, Nulur [13/09/05])


#i owe the pic!#

Cara Mudah Bikin Seseorang Jatuh Cinta

[cipa--tiga tahun silam]



Tokoh
Nte Wied (NW)
Pekerjaan: penjelajah deadline
Kelebihan & Kekurangan: (+): keren ;)  (--) jarang berhasil kalau jualan
Usia: sudah beberapa tahun lulus kuliah ;p

Cipa (C) 
Pekerjaan: pelajar, makan(?)
Kelebihan & Kekurangan: (+): lucu: kadang tingkahnya kayak Pippi Lotta :) (--) mengidap gejala suka ngambek akut (ouch!)
Usia: 7 tahun lebihlah

Latar
Di sebuah rumah di Kemanggisan, Malam Lebaran (kalau nggak salah ingat), menjelang tidur, suasana santai, lampu temaram.


AWALNYA, OBROLAN MENJELANG TIDUR ITU HANYA SEPUTAR PELAJARAN DI SEKOLAH, CARA MUDAH LANCAR MEMBACA, BUKU BACAAN, DOs AND DON’Ts AT ELEMENTRY SCHOOL. LALU, PERCAKAPAN YANG HAMPIR SELESAI ITU KEMBALI BERLANJUT.

C: (memecah keheningan) Iya, ada anak cowok di sekolah Cipa. Nggak cakep. Botak gitu.
NW: Oh.. (mengantuk)
C: Iya, dia suka main sama cipa (tersenyum, memainkan jari, menatap lampu yang temaram, pandangan tiba-tiba melayang)
NW: Hmm, emang Cipa suka dia? (iseng daripada nggak nyahut, masih tampak mengantuk)
C: (tersipu-sipu) Enggak... (senyum-senyum)
NW: Boong... (kedip-kedip iseng)
C: Enggak suka. (menarik napas panjang) Tapi…, Cipa belum pernah main ke rumah dia (mata kedap-kedip, tatapan kembali mengawang)
NW: (terdiam, sambil mikir *maksudnya?* tiba-tiba tidak lagi mengantuk)
C: Abisnya dia dijemput ibunya mulu.
NW: (mengikuti alur) Ya udah, Cipa kenalan aja ma ibunya.
C: (senyum malu-malu) Iya, tapi malu...
NW: (bicara dalam hati: *heh!* semakin tidak mengantuk)
C: Tapi, dia nggak cakep sih, botak gitu.. Item juga…
NW: (narik napas panjang, mencoba memahami perkembangan zaman pertumbuhan manusia dengan dominasi Junk food) Cipa kan juga item….
C: *ketawa ngakak* (tampak seakan-akan senang menemukan persamaan itu)
NW: Jadi, Cipa suka sama dia?
C: (mengangguk malu-malu)
NW: *hampir pingsan* Terus, kenapa suka dia?
C: Abisnya, kalo dia lewat depan rumah Cipa, dia suka manggil-manggil, 'CIPA! CIPA!' gitu....
NW: (bengong sesaat) Terus gara-gara itu Cipa suka?
C: (mata berbinar, mengangguk-angguk mantap)
NW: *pingsan*


Amanat:  
Berdasarkan percakapan tersebut, kita ketahui bahwa memanggil-manggil seseorang di depan rumahnya itu bisa jadi cara ampuh bikin seseorang suka. Jadi, cara itu bisa kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Mana tahu aja si doi (hayah!) jadi suka. :p

Wednesday, May 11, 2011

Iwan, Namanya




Mulai mengalami insomnia lagi. Oh, no! :(

Malam ini sudah dini hari—dan meski sudah berusaha memejamkan mata dengan sedemikian rupa plus minum susu cokelat—aku masih saja tidak bisa tidur. Semakin mata dipejamkan, semakin pikiran menjejak ke mana-mana. Kadang terjebak ke tempat yang tak tepat. Kali ini, aku ingat masa kecilku di kampung halamanku di Pariaman sana. Aku menghabiskan delapan tahun usiaku di sana, sampai kelas dua SD sebelum akhirnya gadis kecil lucu, imut, tembam, dan memiliki tatapan sangat polos itu :p (tak sadar) merantau ke Jakarta hingga saat ini. Urang rantau. Namun, sayangnya, dalam masa usiaku sampai kurang lebih delapan tahun itu, tidak banyak yang bisa kurekam.

Tapi, ingatanku masih cukup kuat tentang seseorang di kampung kami itu. Iwan, namanya. Dia lebih tua daripada aku—seumuran kakak laki-laki di atasku, sekitar beda dua-tiga tahunan denganku. Iwan lumpuh sejak kecil. Dan, ah, dengan mudahnya sebutan Iwan Lumpuah—Iwan Lumpuh—melekat padanya ketika orang-orang merujuk kepadanya. Kakinya mengecil dan sama sekali tidak bisa digunakan. Namun, seingatku, tangannya berfungsi dan dia menggunakan tangan itu sebagai pengganti kaki. Bahkan, aku ingat sekali bahwa saat berjalan dengan tangan itu, tangannya diberi alas sandal. Saat aku kecil, aku sering main ke lingkungan rumah mereka yang berada di ujung desa kami. Ujung Tanjung, namanya.

Meski lumpuh, Iwan menjalani hidupnya seperti anak-anak lainnya, ikut bermain bersama kami. Main gundu, main ayunan, dan sebagainya. Dia berjalan dengan beringsut dengan bantuan tangannya. Gerakannya cepat. Kaki dan celananya selalu dikotori tanah, tetapi dia selalu aktif ikut bermain ataupun sekadar jadi suporter. Sedih membayangkannya. Sayangnya, tampaknya, saat aku kecil itu, aku tidak terlalu penasaran bagaimana perasaan Iwan dengan keadaannya. Bagaimana kisahnya dan semacamnya. Maaf, tampaknya, kala itu, aku cuma bocah kecil yang beriang-riang bermain dan terkadang takjub dengan kemampuan Iwan ikut serta bermain bersama kami.

Suatu hari, beberapa tahun silam, aku sedang mengobrol dengan Amak—ibuku—yang sedang ke Jakarta. Aku menanyakan kabar orang-orang di kampung kami—yang kebanyakan sudah tidak berada di rumah mereka lagi. Sebagian mereka—lumrahnya orang Minang—merantau ke segala penjuru arah.

Lalu, aku teringat Iwan kala dalam percakapan kami itu.

"Kalau Iwan, Mak, di mana sekarang?" tanyaku.

"Oh, ikut sanaknyo," kata Amak, "jadi kasir di rumah makan."

Aku lupa di mana tempatnya, entah di Pekanbaru atau di Baturaja karena di sana cukup banyak juga orang-orang kami merantau. Kata amak, di rumah makan itu, Iwan dibuatkan kursi tinggi di belakang meja kasir khas di rumah makan ala Padang itu—dengan meja yang biasanya setinggi dada pelanggan. Jadi, dia duduk di sana melayani pembayaran pembeli. Yang terlihat dari luar hanya sebatas dada sampai kepala. Sudah tumbuh dewasa pasti tetangga kami di kampung itu.

Ah, aku jadi ingat lagi. Sejak kecil, Iwan sering mendapat jatah zakat pada Hari Raya. Dia sudah yatim piatu sejak yang aku tahu, sering ikut tinggal bersama sanak saudaranya. Dan, terakhir yang aku ingat, dia tinggal bersama nenek jauhnya di Ujung Tanjung itu. Namun, dia sering pergi ke sana kemari—sepertinya, kadang tinggal di surau juga untuk menimba ilmu agama—dan sesekali pulang kampung sana, dan tinggal dalam waktu cukup lama.

"Suatu hari," aku teringat cerita Amak lagi. "Suatu hari saat Iwan jaga di kasir," kata Amak. "Lalu, ada peminta-peminta di luar rumah makan itu. Masih muda. Masih sehat bana badannya.” Begitu cerita Amak—pasti Amak juga mendengar cerita itu dari orang lain.

Amak bilang, peminta-minta itu berdiri  lemas di depan rumah makan itu, menunggu belas kasihan. Lalu, Iwan yang lumpuh sejak kecil itu turun dari kursinya, keluar dari meja kasirnya, mendekati pengemis itu untuk memberinya uang. Namun, tiba-tiba saja, pengemis itu langsung beranjak pergi tanpa melihat lagi. Tanpa mengambil uang yang diangsurkan Iwan, yang sudah berbaik hati menghampirinya ke depan rumah makan.

Kata Amak, kondisi Iwan masih seperti dulu, dengan kaki yang benar-benar tak bisa difungsikan apa-apa. Namun, aku lupa bertanya, bagaimana cara Iwan berjalan sekarang? Apakah masih beringsut dengan kedua tangannya itu ataukah sudah pakai penyangga. Apakah dia beringsut mendekati peminta-minta yang--katanya--sehat bana badannya itu? Jika, ya, bisa dibilang, sungguh sial hari sang Peminta-minta tersebut pada kala itu. Tapi, aku lupa menanyakannya kepada Amak. Namun, kalau pakai penyangga, tidak mungkin juga dia bisa menopang tubuhnya dan berjalan. (Nanti aku tanyakan lagi kepada Amak tentang ini).

Begitu mencelos hatiku mendengar kisah Iwan dan pengemis itu…. Iwan yang lumpuh masih bersemangat bekerja. Bersemangat dengan hidup yang diberikan Tuhan kepadanya. Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu untuk dia. Seingatku, wajahnya selalu ceria. Bersemangat. Merasa cukup dengan dirinya. Dengan hal yang dia punya dan dia dapatkan.

Sementara aku, terkadang masih saja merasa tidak cukup dengan segala yang aku punya. Padahal, lengkap semuanya. Dan, berlebih sangat banyak karunia yang aku dapatkan. Tak terhitung jumlahnya. Dengan segala karunia-Mu yang ada, ah, aku masih saja melupa.

Maka, nikmat-Nya mana lagi yang akan kita dustakan?

Astagfirullahalazim...


[Margonda Raya, 03:30]


#i owe the pic!

silamkan




dia tampak terburu-buru, dengan bungkusan besar di bahunya.

"hari ini paling lambat," katanya, "kapal besar akan membawakannya ke pulau yang di sana segala sesuatu bisa silam tanpa jejak." dia mempercepat langkah.

"hei," panggilku, "apa isi bungkusanmu?"

dia berhenti. "masa lalu," jawabnya.

seulas senyum harap pasti kentara di bibirku, "boleh kutitipkan satu?"

 

#i owe the pic!

Sunday, May 08, 2011

bukan ke utara, tentu saja




kau pernah mendengar kisah pipit yang (pernah) jatuh cinta kepada angin utara? angin utara yang katanya juga jatuh cinta kepada pipit kecil, tetapi berkali-kali menjatuhkan helai-helai bulu rapuh pipit kecil dalam pusaran arahnya. yang pernah mencoba menantang takdirnya.

pipit kecil itu mencoba mengepakkan sayapnya yang semakin luruh, dan  menunggu kelam datang sebelum pulang ke sarang, agar dia tak bertemu dengan angin utara. mereka tak ditakdirkan bersama. ya.

sudahlah, toh, memang bukan mereka yang menggenggam takdir, bukan?--telah dia khatamkan kisah itu.

lagi pula, dia juga sudah sampaikan kepada angin utara, tak semua harapannya harus mewujud dalam nyata. harapan yang tak mewujud, sudahlah, kita purukkan saja dia ke dalam karung kenangan, yang akan dilemparkan ke perapian. tak semua harus berada dalam genggaman pada saat yang sama, katanya. kenangan, dia akan selalu lepas dari genggaman. dan tentu harus kita tinggalkan di belakang sana. pilihan, mereka menyebutnya--itu yang harus kau rekatkan erat dalam genggaman.

tapi, kau tahu, angin utara (selalu) menunggunya di persimpangan, dan membawakan kisah-kisah cinta. "kau memiliki setiap sudut dalam sesuatu yang dinamakan renjana dalam diriku, melebihi segalanya," lirih angin utara kepada pipit kecil, lalu menghilang dalam pusaran arahnya. dan, tak pernah mengantarkan pipit pulang ke sarangnya. membiarkan pipit kecil membawa luka, tetapi tetap mengintai terbangnya.

selalu ada cinta untukmu pipit kecil, lagunya selalu dititipkan pada nyiur-nyiur yang tak akan pernah bisa lama merahasia. selalu kusimpankan potongan besar renjana untukmu, ucapnya seperti merapalkan mantra.

dan, kau tahu, setiap kata dalam mantra itu selalu menjelma luka dalam sayap pipit kecil, yang mencoba tak lagi rapuh meski sayap-sayapnya luruh beberapa. menjelma luka, yang tak samar. tetapi, jangan berikan tatapan duka dalam itu, kau tahu, pipit kecil pun menolak menukarkan hidupnya, sekalipun dengan raja-raja.*

aku membenci mantra-mantra, telah diucapkan pipit kecil secara jelas kepadanya. mengaraklah ke arahmu, ke arahmu dan bayanganmu untuk ditakdirkan bersama.

suatu hari, pipit itu tidak sedang terbang jauh dari sarangnya. lukanya belum terlalu sembuh (tapi, sayap-sayap kecil baru muncul di tubuhnya. tumbuh satu setiap dia menyimpan satu luka).

lalu, saat kembali, dia menemukan sarangnya telah hancur, merepih-repih di antara kerisik. jelas, dia menangkap sosok yang sengaja untuk menghancurkan sarangnya. berdiri menghadangnya. pipit kecil terpaku dalam mata dingin yang coba dia sembunyikan dalam sayap kecilnya.

dan, kali ini, dia tak hanya diminta menyimpan luka, juga diminta merahasia. 
merahasia tentang sarang yang telah hancur, merepih-repih di antara dedaun kering, dalam senja yang kehilangan indahnya.

kau tahu,
bayangan angin utara itu yang berdiri di hadapannya, yang menyimpan--ah, tentu saja--bukan renjana kepada pipit kecil. 
takdir, katanya, jangan kau coba belokkan arahnya.

pipit kecil terpaku. 
tentu saja, dia tak pernah ingin membelokkan arah takdir, yang arahnya saja dia tak tahu ke mana. 
tentu saja, dia akan merahasia tentang semuanya. 
dia telah terlatih untuk luka. 
juga untuk rahasia, tentunya.

angin utara, lirihnya. tak ada gusar atau geram. yang ada hanya luka--yang ganjilnya, tiba-tiba saja menumbuhkan beribu-ribu sayap baru di tubuhnya. indah. dan, bukankah keindahan memang puncak segala kesedihan?** 

jangan lagi simpankan potongan besar renjana untukku. 
sudah aku bilang, kan? 
sudahlah, tak apa, aku telah terlatih dalam menyimpan luka,

tak terucap kata-kata itu. 
dia merahasia, juga pada senja, yang kala itu kehilangan indahnya.

lalu, seketika, dia menghilang dalam satu kepakan kecil, 
bukan ke utara, 
tentu saja.





----------------------------------------
* membaca kata renjana, mengingatkan saya pada sajak apik seorang sahabat, yang berjudul "membakar renjana" :)
* "That then I scorn to change my state with kings," dalam sajak "When In Disgrace", Shakespeare. 
** teringat sebuah ulasan di Horison tentang John Keats. 

#i owe the pic!#

Friday, May 06, 2011

menunggu kereta




menunggu kereta,
seseorang, berdiri dalam hening, dengan sebuah tiket resah di tangannya. jelas arah dan tujuannya di sana. 
seketika, sebuah kisah menguar dalam heningnya.

kau tahu, cinta telah lama dia tinggalkan, di stasiun kereta, dalam sebuah perjalanan. jika tak percaya, di sana, kau bisa bertanya kepada seorang perempuan tua yang menyusun duka dalam bakulnya. perempuan itu tahu di mana cinta dia tinggalkan.

juga kepada laki-laki yang duduk di sudut peron, yang bernyanyi dalam diam, dalam mata yang tak menemukan di mana warna cahaya. hanya kelabu, lirihnya.


mungkin, sampai kini, kisah-kisah yang dinyanyikan laki-laki itu juga masih sama, tentang masa lalu yang tak pernah kembali. juga tentang rindu yang selalu terjatuh, genggaman selalu merasa asing dalam jemarinya.  

lagu laki-laki itu selalu ikut mendesak, di antara derak rel, di antara reriungan penjaja. lara. 
seorang laki-laki yang memang tak pernah sempat mengenal warna dalam matanya. tapi, jika kau bertanya, dia juga tahu di mana cinta telah ditinggalkan.


lalu, kereta pun tiba.

"kau tahu," kamu seolah memecah kisah itu dalam dinginnya udara, "arah kita sama, aku menyimpan tiketnya di sakuku,” katamu, lalu melangkahkan kaki ke dalam kereta.

seseorang, masih berdiri dalam hening, diam-diam memastikan arah yang tertera di tiketnya. :)


#i owe the pic!

Thursday, May 05, 2011

I Heart This Song. The Singer Too. ;)

"And never lose hope
'Cause Allah is always by your side"





Every time
You feel like you cannot go on
You feel so lost and that you're so alone
All you see is night
And darkness all around
You feel so helpless you can't see which way to go
Don't despair
And never lose hope
'Cause Allah is always by your side

Insha Allah
Insha Allah
Insha Allah
You'll find your way

Every time
You commit one more mistake
You feel you can't repent and that it's way too late
You're so confused
Wrong decisions you have made
Haunt your mind and your heart is full shame
But don't despair
And never lose hope
Coz Allah is always by your side

Turn to Allah
He's never far away
Put your trust in Him
Raise your hands and pray
Ya Allah
Guide my steps, don't let me go astray
You're the only one who can show me the way
Show me the way
Show me the way
Show me the way

Insha Allah
Insha Allah
Insha Allah
We'll find the way


Lyrics: Maher Zain & Bara Kherigi
Melody: Maher Zain
Arrangement: Maher Zain & Hamza Namira
© Awakening Records 2009

this song is dedicated to me ^^

There's a whole world around us,
just waiting to be explored


--Ok, I'm so ready to the new journey. :)






You'll never enjoy your life,
living inside the box
You're so afraid of taking chances,
how you gonna reach the top?

Rules and regulations,
force you to play it safe
Get rid of all the hesitation,
it's time for you to seize the day

Instead of just sitting around
and looking down on tomorrow
You gotta let your feet off the ground,
the time is now

I'm waiting, waiting, just waiting,
I'm waiting, waiting outside the lines
Waiting outside the lines
Waiting outside the lines

Try to have no regrets
even if it's just tonight
How you gonna walk ahead
if you keep living blind

Stuck in that same position,
you deserve so much more
There's a whole world around us,
just waiting to be explored

Instead of just sitting around
and looking down on tomorrow
You gotta let your feet off the ground,
the time is now, just let it go

Don't wanna have to force you to smile
I'm here to help you notice the rainbow
Cause I know,
What's in you is out there

I'm waiting, waiting, just waiting,
I'm waiting, waiting outside the lines
Waiting outside the lines
Waiting outside the lines

I'm trying to be patient (I'm trying to be patient)
the first step is the hardest (the hardest)
I know you can make it,
go ahead and take it

I'm waiting, waiting, just waiting I'm waiting
I'm waiting, waiting, just waiting
I'm waiting, waiting outside the lines
Waiting outside the lines
Waiting outside the lines

You'll never enjoy your life
Living inside the box
You're so afraid of taking chances,
How you gonna reach the top?



[Songwriters: Palacios, Marcos /Clark, Ernest /Bellinger, Eric /Cox, Aaron Michael /Chance, Greyson]

Wednesday, May 04, 2011

bukankah sudah aku sampaikan kepadamu?




mari belajar tentang setia
pada ranting-ranting yang menunggu pucuk tumbuh
ditunggunya sampai menghijau
jikapun akhirnya daun luruh
itu karena musim telah berganti

mari belajar tentang setia
pada rintik yang selalu temani gerimis
pada kelam yang selalu sertai malam
setia yang tidak pernah pertaruhkan janji
 

—“mari belajar tentang setia”, 2004


setiap pilihan ada risikonya, begitu kata mereka-mereka. 
dan, kita tak bisa memiliki semua yang kita inginkan, bukankah sudah aku sampaikan kepadamu?

kau tahu, di depan sebuah satu-satunya toko di sebuah kota, aku pernah melihat bocah kecil menangis karena ingin memiliki pita yang dimiliki anak lain, yang sebayanya. padahal di tangannya, ada segulung pita berwana merah--dia sendiri yang memilih potongan pita itu dan menghabiskan segulungan besar untuk dirinya sendiri. lalu, dia inginkan juga pita yang dimiliki anak sebayanya itu, yang berwarna biru. dan, meraung sejadi-jadinya karena pita biru itu tinggal itu saja--yang tinggal seutas, hanya satu atau dua depa--dan sudah diambil sang anak yang melangkah jauh bersama ibunya.

kau tahu, ada banyak pita lain juga di toko itu, berdepa-depa. memang bukan warna biru. tapi, kalau warna yang dia inginkan, kancing-kancing warna biru masih banyak di toko itu, berbotol-botol. dia bisa mengambil seraup yang dia mau, begitu yang aku dengar dari bujuk sang ibu dalam bisiknya. dan banyak pilihan warnanya pula, kalau dia permasalahkan warna. tapi, yang mengherankan--sebenarnya, lebih ke arah mengesalkan--sang anak hanya mau pita, yang berwarna biru.

pemandangan yang lucu, bukan? hanya karena pita, dia meraung-raung sejadi-jadinya.
hanya sebuah pita, yang berwarna biru.

suatu ketika, saat dia besar, dia akan mendengar apa yang sudah aku sampaikan kepadamu,
setiap pilihan ada risikonya, begitu kata mereka-mereka. 
dan, kita tak bisa memiliki semua yang kita inginkan.

tapi, apa perlu aku sampaikan juga kepada bocah kecil itu? begitu mungkin, ya?


#i owe the pic#

maaf, terkadang, aku lupa kalau ada kamu ;)









#belajar motret [1]#

Monday, May 02, 2011

Berbahagialah




jalan bahagia itu bercabang.
asal kau percaya, tak harus ke utara pun, kau akan bahagia.
jalan bercabang itu, tak harus penuh dengan daun kering yang kau suka; akan membawa bahagia juga—asal kau jeli memilihnya.

dan, asal kau percaya.
 
—28 Maret 2010


Mengapa kita harus resah? Mengapa kita harus menyusah-nyusahkan diri dengan segala yang ada di dunia? Dan mengapa kita berlama-lama menyesali pilihan yang (rasanya) kurang tepat di sebuah persimpangan?  Mengapa harus bersedih untuk masa silam yang tak akan lagi menjelma di hadapan? Sesuatu sedang menunggu di depan sana, jadi mengapa kita mengkhawatirkan hal-hal yang telah lenyap di belakang sana?
(Itu pertanyaan-pertanyaan ketika saya berpikiran jernih. Yah, terkadang, pikiran saya juga tidak jernih. Namanya juga manusia). :p

Hidup ini sangat singkat. Belum selesai kau menghitung langkah, tiba-tiba saja Dia telah lebih dulu menyelesaikannya untukmu. Lalu? Kita pun tak sempat lagi, bahkan untuk menyesal. Jadi, mengapa kita harus resah, mengapa harus menyulit-nyulitkan diri? Hidup itu seni, yang harus kau nikmati dengan cara cerdas. Jika matamu tak jeli melihat liuknya yang indah, kau hanya akan menemukan deretan lima huruf yang membosankan: h.i.d.u.p.  

Hidup itu seni-Nya, dan kau butuh lebih dari sepasang mata untuk menemukan indahnya. Mata hati, kau butuh dia. Jika tidak, kau hanya akan lebih dulu mati kebosanan sebelum kau mati dalam muara-Nya. Dan hanya temukan dirimu hanyut begitu saja, tak sempat nikmati liku, yang membahagiakan. 

"Hidup ini terlalu berharga jika tidak dilewati dengan penuh kebahagiaan," tulis sosok pimpinan panutan dalam salam perpisahan dengan saya. 

Ya, bukankah tujuan hidup itu untuk menikmati setiap momennya? Kita perlu berlapang dada melewati setiap undak tangga-Nya.

Dan, ketika kau lewati dengan berlapang dada, bahkan surga menantimu di Sana. Bahkan, sahabat Nabi pun dibuat iri dengan orang macam itu, yang hanya berlapang dada sebelum dia memejamkan mata menuju tidurnya. Ya, hanya berlapang dadakalimat sederhana, tetapi sungguh sedikit yang mampu melakukannya. Berlapang dada, sangat berharap saya mampu menyatakan hal itu dalam hidup: agar selalu bahagia. Karena hidup itu singkat. "Karena hidup itu indah," kata penyair favorit saya.

Terkadang, kita resah dengan takdir di depan sana. Sibuk kita mencuri baca guratannya dalam garis-garis samar dalam genggaman kita, berharap takdir memang ada di sana, di dalam genggaman. Kita tetap berlama-lama, padahal telah lama tahu takdir tak ada dalam genggaman. Jadi, untuk apa bersusah-susah "menjaga" sesuatu yang bukan dalam zona jagamu. Menjaganya tetap dalam jalur, sementara kau tak punya kuasa. Hanya nikmati saja. "Let it be," kata sebuah lagu lawas.  

Biarkan Dia yang menggerakkan tali-talinya, kita hanya perlu mainkan peran dengan sebaik-baiknya, sebelum layar ditutup. Agar tak ada sesal. Karena sesal tiada guna, pepatah itu tentu bosan selalu disebut-sebut namanya. 

Namanya h.i.d.u.p, ah betapa mulia kita bisa diberi waktu untuk mengenalnya. Mari habiskan dengan bijaksana. Sebelum lonceng berbunyi. Sebelum kita menjadi Cinderella yang tak meninggalkan sepatu kaca. Tanpa berdansa dengan sang Pangeran, pula.

Ya, mungkin hidup itu juga bagai Cinderella dengan pukul dua belasnyalonceng akan berbunyi pada waktu yang Dia tentukan (dan, pukul dua belas kita bisa kapan saja).

Jadi, mari berdansa dengan sang Pangeran, lalu tinggalkan sepatu kaca. Habiskan waktu yang kita punya sebaik-baiknya.

Berbahagialah. :)


#i owe the pic!#

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin