Penjual Kenangan

Thursday, August 30, 2012

seorang laki-laki dan jendela kupu-kupu

gambar dari sini!



ia datang, pada petang yang hampir menghilang. 
kala itu, aku hendak meraih sebelah jendela kayu rumahku, menutupnya sebelum kelam membawa angin dinginnya yang kejam masuk ke ruang-ruang rumah tua ini.

ia berdiri meraih sebelah jendela kayu yang hendak menutup sebelah. "tunggu," ucapnya dengan mata yang tak pernah berani aku tatap. ia bilang, ia bawakan aku kisah, yang diceritakan dengan terburu-buru. ada kapal yang dia bilang menunggunya, segera berangkat sebelum malam.

laki-laki ini, ia pernah bercerita kalau ia telah lama jatuh cinta pada jendela kupu-kupu. jendela itu, kau tahu, katanya, ia bagaikan perempuan paling setia di dunia ini: tak pernah mengeluh, tak pernah merasa lelah—menunggu. telah lama aku merasa iri kepada jendela kupu-kupu itu, yang memiliki tempat yang begitu luas dalam hati laki-laki ini.

apa ceritamu hari ini? tanyaku. 
ada degup dari sudut hatiku yang tak mampu kusembunyikan kala bersamanya. 

hari ini, katanya, aku akan pulang. ada perempuan yang menungguku, katanya. mungkin, masih sangat lama kita akan kembali bertemu. ia berkata, dan aku tak berani menerka isyarat apa yang ada di dalam senyumnya.

aku hanya menjawab dengan senyum separuh, yang separuh lagi berupa sesak di sudut mataku. akhirnya, memang akan sampai pula hari ini. 

apakah yang membuatmu jatuh cinta pada jendela kupu-kupu? telah lama aku menyimpan tanya ini, dan akhirnya aku sampaikan juga. kusembunyikan jauh rasa iri dalam sudut terjauh hati.

kau tahu, katanya, jendela kupu-kupu itu, tak pernah lelah berseteru dengan waktu. tak pernah lelah menungguku meski aku sendiri tak lagi memercayai diriku akan kembali. jendela itu, mengingatkannya pada seorang perempuan dari masa lalu. ia bercerita dengan tatapan yang seolah menembus ruang waktu, begitu jauh.

siapa? tanya itu kukulum kembali. aku terlalu banyak bertanya, sementara kelam semakin cepat menyergap malam. laki-laki ini, ia harus segera pergi, aku tahu.

bukankah kau harus segera pergi? kataku, tak ingin ia terlalu lama di sini, takut ia membaca harap dan—ah—resah di mataku. aku harus segera menutup kedua belah jendela kayu ini, angin malam terlalu dingin.

baiklah, katanya, membantuku meraih jendela yang satu lagi. ia terpaku dengan tangannya masih di kisi jendela.

seorang ibu, katanya pelan. aku berada ribuan jarak darinya.
dan, kau tahu, aku begitu merindunya.
aku takut tak sempat sekadar melihat senyumnya lagi, yang selalu kumungkiri selalu membuatku tenang, pun setelah mimpi terburuk.

dan, kau tahu apa yang membuatku meninggalkannya selama ini? karena aku takut kehilangannya—jadi lebih baik aku tak pernah punya banyak kenangan bersamanya. tak masuk akal, bukan? ah, entahlah, aku hanya belajar dari masa lalu. seorang laki-laki yang aku sayang begitu cepat meninggalkanku, tanpa pamit, tanpa memperingatkanku terlebih dahulu. bahwa tak ada yang abadi.

aku terpaku. bukankah kasih sayang abadi? ingin kuutarakan kepadanya, tetapi ragu menyergapku terlebih dahulu.
laki-laki ini, ia bagai sebatang pohon yang kukuh, tetapi ada kerapuhan dalam di dirinya. aku berharap bisa menggenggam tangannya, memberikan sedikit kekuatan, entah apa—cinta, mungkin.

laki-laki ini, bercerita dengannya seperti duduk di kursi kayu langkan rumah masa kecilmu. kau merasa tak asing, tetapi tahu bahwa masa kecil itu hanyalah memori yang tak dapat lagi kau susuri. kau tahu bahwa hanya memori yang bisa kau miliki.

laki-laki dan jendela kupu-kupu. ia kembali membuatku jatuh cinta, entah kepadanya atau kepada jendela kupu-kupu yang ia kisahkan, di antara petang yang semakin ditelan malam yang—entah bagaimana—tiba-tiba menghangat.

aku menatap punggungnya yang menjauh, menutup kedua belah daun jendela kayu rumahku. 
dan menunggu,
berharap aku mampu menjelma jendela rumahku, sebuah jendela kupu-kupu.

Monday, August 13, 2012

12|08|

i owe the pic!


bersamamu, waktu beterbangan, menghangat,
menjelma bahagia, kau tahu?

entahlah, mungkin ini hanya semacam jeda dalam hidup, agar kita menyadari bahwa hati tak melulu harus berbagi tentang luka. hati harusnya tentang cinta, dan sayang, bukan?

jika ini cinta, mungkin kita perlu menunggu. tapi, apakah waktu akan berpihak?

kau dan aku, kita tak akan pernah tahu. 

Menjelma

i owe the pic!




Ramadhan kali ini, begitu banyak berkah yang Dia jatuhkan ke tangkupan tanganku yang membuka dalam doa.

Ia menjelmakannya. Bahkan, doa terdahulu pun ternyata telah sampai kepada-Nya, mewujud nyata. Ya, Dia memang tak pernah berpura-pura tak mendengar bukan, bahkan sekadar lirih hatimu.

Dan, kau tahu, entah bagaimana aku jadi takut… Aku takut dengan semua yang aku dapatkan, meski terkadang aku tak merasa bersalah untuk terlalu banyak meminta. Dan, bukankah saat mengucapkannya, aku tak sekadar meminta?

Namun, saat sesuatu yang kau harap berada di depan matamu, kau merasakan sebuah rasa takut menyelinap diam-diam. Pernahkah kau merasakan seperti itu?

Aku merasakannya pada Ramadhan kali ini, lalu kubilang kepada sahabatku, “Kau tahu, tiba-tiba, aku merasa tak percaya, yah mungkin juga merasa tak layak, menerima semua berkah ini. Banyak sekali, Tuhan, jika 'doa yang itu' juga mewujud kali ini. Aku merasa malu karena ternyata Dia begitu mencintaiku, sementara aku bersibuk diri dengan waktu, sibuk dengan harap, sibuk dengan hatiku….” 

Kau tahu—ah, sahabatku ini memang selalu menjadi peri dalam hidupku—sahabatku itu bilang, memarahiku, “Ah, kau, seharusnya kau bilang, ‘Ya, Kau, aku siap menerima semua berkah dari-Mu.’ Kalau kau sendiri tidak yakin, bagaimana Dia ‘memercayaimu’? Kau, siapkan hatimu, dan percayalah, kau layak untuk apa pun.”

Ah, benar, mungkin terkadang, bukan Dia tak menjawab harapmu. Mungkin saja, kau mengucapkannya terlalu lirih—entah karena merasa terlalu tinggi harapmu ataupun karena kau merasa tak layak. Atau kau mengucapkannya terlalu terburu-buru.

Ya, mungkin benar seperti itu…

Ramadhan kali ini, ada sebuah harap yang kuucapkan lagi—kepada Dia. Namun, aku hanya ucapkan lirih dalam hati, saat mataku memejam, menjelang lelap.

Bukan merasa tak layak, hanya saja, entahlah….
Aku hanya tak berani mengucapkannya lantang—meski hatiku yakin akan harap ini.

Ya, entah bagaimana, aku ingin ini mewujud. Aku sudah tuliskan dengan jelas, bukan? :)

Monday, August 06, 2012

Persimpangan Hati*

gambar dari sini!



“Hati-hati melangkah, Nak. Ingat. Kalau jatuh, kamu harus segera bangun lagi karena perjalanan masih panjang. Dan, kamu tidak mau melewatkan kejutan yang di depan sana, bukan?” Ibu tersenyum; antara senang dan khawatir melihat anak perempuannya yang tampaknya mulai merasakan cinta kembali setelah cinta masa remaja.

Rubina terpaku sejenak, lalu mengangguk. Ya, Bu, aku akan hati-hati melangkah, ucap hatinya.


*a novellete

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin