Penjual Kenangan

Monday, April 25, 2011

pulanglah






kapan pun kau kembali, mereka selalu merengkuhmu hangat--tanpa kau minta. 
keluarga, orang-orang menyebutnya. 
ketika langkah tak tentu arahnya, pulanglah, 
ke tempat akarmu tumbuh. 

ada cinta di sana. 

tak bersyarat. :)



#i owe the pic!#

blueberry heaven pancake, kita, dan senja patah






"kok tahu?" tanyaku.

keningmu mengeryit, kembali menyesap cokelat hangat dalam cangkir putih itu.

"kok tahu aku suka pancake?" jelasku, menyembunyikan senyum dalam satu potongan besar pancake yang masih hangat, yang akan mendingin dengan cepat karena es krim di atasnya. blueberry heaven pancake, entah mengapa namanya selalu mengingatkan aku padamu.

"kamu kan pernah bilang," ucapmu, seakan-akan hal itu sama sekali tak penting untuk kita percakapkan. "lagi pula, kalau melihat cara makanmu sekarang, orang-orang juga akan tahu kau sangat suka panekuk itu." kau tertawa, membuatku memberengut dengan seketika, tentu saja.

"aku cuma takut pancake ini keburu dingin. es krimnya lumer ke mana-mana." aku menghapus sisa asam saus blueberry yang terasa di sudut bibirku, membuang pandangan ke juntaian lampu hias di seberang, menggantung dari langit-langit gedung tempat kita sedang berbincang di salah satu sudut cantiknya.

"kali lain, ajak aku ke sini lagi, ya," ucapku sebelum perpisahan kita petang itu. matahari tidak terlalu memerah kali ini, tak sesempurna harapku. tapi, kau-aku telah lama tahu, tak semua harus mewujud dalam setiap helai benang-benang harap yang sering kusut dan kita sendiri tak bisa urai kembali. dan, kita tak lagi mencari kata sempurna di antara bingkai senja yang sering patah di satu sisinya. senja patah, kita menamai senja itu, dan berjanji merekatkan patahannya suatu ketika--ketika temukan warna yang sama.

"kali lain?" kau berucap setelah hitungan langkah kita hampir sampai di ujung jalan. "kalau kau sedang tak berbahagia, kau boleh menghabiskan dua, bahkan tiga porsi panekuk itu." kau menghentikan langkah, seperti mencari-cari sesuatu di wajahku. atau, itu hanya kilasan sudut mataku?

"enak saja!" ujarku, memukul pelan lenganmu, teringat ucapanmu, juga ketika matahari sedang tak sempurna dalam merahnya, sedang tak bahagia, rupanya, ucapmu sekenanya kala itu. "kau selalu saja menebak-nebak." sial, kau kembali membuatku salah tingkah. aku tak yakin apakah warna merah dadu itu kembali berkhianat di pipiku atau tidak. yang pasti, aku jadi mencari-cari benang lepas di keliman ujung lengan bajuku.

"kau saja yang selalu mudah terbaca," ucapmu dengan tawa kecil, entah untuk apa.

aku memberimu senyum lebar. "aku selalu bahagia. kau selalu tahu itu, kan?" menjawabmu dengan seringai lebih lebar lagi. (memaksamu) meyakini ucapanku.

"ya, aku tahu kau selalu memborong bahagia sama seperti ketika kau membeli semua benda-benda tak penting itu." kau tertawa kecil lagi, tetapi matamu menyipit. seakan-akan mendendam akan sesuatu, mungkin, masa lalu(?)--itu, kalau ada yang bertanya pendapatku. bukan masa mendatang, pastinya, karena masa mendatang terlalu pandai menyembunyikan seperti apa jejaknya kelak.

"sepotong pancake saja sudah membuatku bahagia, bagaimana lagi?" aku mencoba mengucapkannya dengan kesombongan yang dititiskan di dalam darah seorang putri raja. "aku tak bisa menyalahkan diriku karena aku memborongnya, kan?" imbuhku. kesombongan sang putri seketika menguap. dan tiba-tiba saja, aku merasa ada sesuatu yang salah di ujung kuku ibu jariku, menatapnya berlama-lama, tetapi tak menemukan apa-apa.

"itulah," katamu. "kau memborongnya, dan tak menyisakannya untukku." matamu mengarah pada sudut senja yang patah. aku bertanya-tanya apakah kau sudah menemukan warna yang sama untuk direkatkan di patahan itu.

"sedang tak berbahagia, rupanya," ucapku, meniru ucapanmu begitu saja.

kau mengedikkan bahu. "sedang tak bahagia karena berharap seseorang sedang tak berbahagia. pasti membuatmu tak bahagia, kan?"

kau seakan tak bertanya kepadaku. jadi, aku pun hanya ikut mengedikkan bahu.

besok, kalau kau mau, kita makan pancake lagi saja, biar kau temukan bahagia dalam hangat kue dadar itu, mungkin juga terselip di antara pasta blueberry-nya atau di satu-dua butiran kismisnya.

kita berpisah petang itu. dan, kau tak sempat menjawab ajakanku. aku menengok ke belakang, menemukan bayang-bayang yang memanjang: sesuatu yang tak jadi/belum kuucap itu.

kau tahu, lebih mudah menemukan jejak bahagia di dalam pancake itu ketika aku duduk dan mengiris potongannya pelan, sambil bercakap kosong, dengan seseorang. kalau kau tahu, pastilah kau yang akan memborong bahagia dan tak menyisakannya untukku.

"sedang tak berbahagiakah?" ucapmu, lalu secara ganjil kita berada dalam sebuah ruang percakapan yang menyenangkan--seperti dua bocah kecil sedang membuat sebuah istana di pantai. menumpuk-numpuk pasir membentuknya. hanya saja, kita menumpuk-numpuk bahagia, lalu meninggalkannya hingga pasang laut menerpa sampai dasarnya.

aku mempercepat langkah, menengadah pada semburat tak sempurna matahari petang itu. senja masih patah. dan tiba-tiba, secara ganjil pula, aku merasa sedang tak berbahagia.

blueberry heaven pancake, aku sudah menentukan pesananku dari sekarang. jadi, kala bertemu lagi, kau tak akan mati kebosanan saat menungguku memutuskan pesanan pilihanku, seperti yang selalu kau guraukan.

kau, tentukan pula pesananmu sekarang, agar kita tak menghabiskan waktu hanya untuk membicarakan menu. senja masih patah. kita harus menemukan patahanannya segera, merekatkan warna yang sama. oh, ya, tak masalah juga kalau memutuskan untuk memilih pesanan yang sama dengan pilihanku. biar kita tak saling iri dengan bahagia yang kita temukan di dalam lembaran panekuk itu.

tapi, kalau kau memesan pilihan yang lain, tentu saja aku lebih mendukungnya. kita bisa berbagi tentang bahagia yang disembunyikan pasta-pasta dalam setiap lipatannya. sepertinya lebih menguntungkan, kalau kita bicara hitungan dagang.

jadi, apa pilihanmu? itu pertanyaan, bukan ancaman. tolong jangan dipertukarkan. :p


#the pic: pancake dalam ruang percakapan kosong kita kala itu#

Sunday, April 17, 2011

Terlalu Pagi Kala Itu





Kita bertemu di sebuah persimpangan. Masih terlalu pagi kala itu, matahari pun belum menyala. Pertemuan kita di persimpangan itu secara tak sengaja, mungkin—tapi, rasanya, Dia telah menyisipkannya lama di gurat-gurat takdir persimpangan itu.

Lalu, entah bagaimana, kita tiba-tiba saja menyusuri jalan yang terbentang di hadapan. Mencoba menyamakan langkah. Kita berbincang panjang. Rasanya, percakapan tak akan habis-habis sampai perjalanan ini selesai. Tentang harapan. Terselip juga tentang hangatnya rumah dalam selipan-selipan kisah masa lalu. Mimpi-mimpi yang kita kumpulkan seakan tumpuk-menumpuk begitu saja di dalam mangkuk kaca. Menunggu dengan sabar untuk didiangkan di perapian. Satu per satu. Menyenangkan membayangkannya.

Lalu, di sebuah persimpangan—mungkin, persimpangan kedua atau ketiga, tak aku perhatikan—matahari tiba-tiba saja menyala. Kita berada di bawahnya. Dalam gumam, kau bilang, mimpimu ada di sana. Dan, kau seolah menghilang dalam bias nyalanya, kala itu. Aku hampir menggumamkan tawa, tetapi menyimpannya menjadi senyum kecil. Ah, maafkan, aku tak lagi bermimpi tentang matahari. Panasnya masih membekas di lenganku, dan sakitnya sampai terasa ke sudut jauh hatiku. Tapi, itu membuatku tahu bahwa mimpi tak harus sampai ke matahari. Aku tak mampu memadamkan nyalanya, tentu saja—aku sudah lelah merasa terlalu angkuh untuk berkata bahwa aku tak akan menyerah untuknya. (Kau tahu, aku sudah menyerah—tak beberapa lama sebelum pertemuan kita. Tapi, menyerah tidak selalu berarti kalah, bukan?)

Lalu, kita mengambil langkah sendiri-sendiri di persimpangan itu. Kau memilih persimpangan menuju matahari, sementara aku berjalan menuju pagi—aku rindu titik-titik embun yang mampu mengirimi aroma pagi yang menenangkan sampai ke dalam sudut-sudut mimpi para ibu, yang berdoa panjang untuk bahagia anak-anaknya; yang mampu memadamkan resah angin yang sedang menimbang-nimbang arah langkahnya.

Kau tahu, saat kau melangkah, aku sempat ingin menengok ke belakang. Tapi, tak jadi kulakukan. Kata mereka-mereka, ketika kau menengok ke belakang, berarti kau masih menyimpan harapan untuk sesuatu di belakang sana. Dan, bukannya aku tak lagi berminat pada harapan, hanya saja aku pikir, mimpiku tak lagi menuju matahari. Lagi pula, aku tak ingin lagi merasa khawatir dengan masa lalu—aku tak ingin mengecilkan hati masa lalu, seakan-akan tak memercayai mereka; mereka bisa menjaga diri mereka sendiri, aku rasa.

Lalu, selamat tinggal, kalau begitu. Semoga sampai kau pada matahari, :)



p.s. Kau tahu, aku suka caramu tertawa, sudah pernahkah kubilang? Aku suka mencurinya ketika kau lengah dan menyimpannya di dalam botol kaca—hampir sebotol penuh yang sudah kukumpulkan. Kalau mau, kau boleh membawanya untuk bekal dalam perjalanan menuju matahari. 
Dan, aku sempat berpikir suaramu mampu menenangkan badai dalam malam kelam. Sempat. ;)



#i owe the pic!#

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin