Penjual Kenangan

Tuesday, July 22, 2008

Hilang di Surya Kencana



Jumat kemarin, saya dan empat orang teman—termasuk Gita—berangkat lagi ke Gunung Gede, Jawa Barat. Dari Depok, kami menuju Terminal Kampung Rambutan. Saat itu, waktu sudah merangkak ke pukul setengah sembilan malam. Calo-calo di terminal itu tentu saja langsung mendekat saat kami turun dari angkot merah itu. Untunglah, ada Ardi—yang-enggak-kalah-serem-sama-calo. Hehe.

Kami naik bus yang masih kosong menuju Gunung Putri. Harga lima belas ribu turun jadi empat belas ribu—berkat Ardi yang baru saja menjelajahi jurang-jurang Gunung Leuser. (Di terminal, tawar-menawar diperlukan dan, tentu saja, didampingi teman yang terlihat sangar juga--jauh lebih--diperlukan.)

Saat menapakkan kaki di tepi jalan masuk ke Gunung Putri itu, angin dingin langsung menyambut. Sudah dini hari. Angkot berwarna biru sudah menanti kami. Setelah tawar harga—lagi-lagi tugas Ardi—kami segera naik. Jalanan berliku itu cukup menanjak tinggi untuk harga empat ribu rupiah. Namun, sepertinya, memang itulah harga standar angkot menuju kaki gunung yang akan kami jajaki itu.

Kaki gunung itu sudah dipenuhi para pendaki—terlalu banyak, malah. Seorang penjual menggelar dagangannya di dekat kami berdiri. Sarung tangan, kupluk, syal, berjajar rapi. Saya dan Gita membeli sarung tangan tipis—cukup penting, biar nanti, mau pegangan di mana saja hayo. Setelah ditawar, dua pasang jadi 20 ribu—beda sepuluh ribuanlah sama yang di emperan.

Dingin mulai menyergap. Perut terasa lapar. Warung yang ada di sini hanya menjual roti-rotian. Padahal, kami ingin makan nasi. Untunglah, di warung atas—searah tempat kami mulai menanjak—ada warung nasi yang buka.

“Cuma tinggal telor, Neng,” ucap si Ibu penjual nasi.

Tidak masalah. Jadilah saya dan teman-teman makan nasi dan telur dadar plus kecap. Rasa keliyeng-keliyeng di kepala segera beranjak. Alhamdulillah.

Kami mulai mendaki pukul dua pagi. Lapor di pos yang penjaganya masih “fresh”. Segala peraturan masih begitu dia hafal dn disampaikan dengan cara yang kurang bersahabat. Tidak boleh bawa sabun dan odol. Tidak boleh bawa MP3 atau iPod. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan pakai pisau dapur—yang saya bawa, yang katanya terlalu besar, tapi tak masalah—buat nulis-nulis di pohon. Bla-bla-bla. Yah, tentu saja hal itu tidak akan kami lakukan. Wong, udah terlalu banyak juga ukiran di pohon-pohon dan batu-batu di atas gunung itu—heran, kenapa, sih, orang-orang itu seenaknya saja merusak!

“Ngejar apa, sunset atau sunrise?” tanya teman saya di kosan—setelah kami pulang.

“Enggak ngejar apa-apa,” sahut saya. Ya, kami cuma numpang tidur dan makan di padang edelweis itu.

Entah kenapa, ada yang hilang di perjalanan kali ini. Mungkin karena saat mendaki terlalu banyak orang berkeliaran. Seperti di pasar, bukan gunung. Bahkan, orang-orang yang berseliweran banyak yang saltum—menurut laporan pandangan mata saya dan Gita. Hehe. Yah, masa ke gunung pake tas slempang dan celana jeans ketat begitu—Haha. Iri ajah, niy, kami!

Porter berkeliaran dengan pikulan yang berisi tas dengan beragam bentuk. Orang-orang melangkah dengan santai, dengan keluhan-keluhan—padahal tanpa beban apa-apa di pundaknya.

Lalu, di tengah jalan, ada percakapan yang tidak sesuai latar. Hehe.

Ibu-ibu yang juga mendaki: “Jualan, ya, Bang?”

Mamang Tukang Nasi Uduk: “Iya, Bu. Nasi uduk. Tapi, udah abis. Saya mau turun dulu.”

Ibu-ibu yang satu lagi: “Oh, ada cincau, nggak, Bang?”

(Kayaknya) Anak si Ibu: “Rujak ada nggak, Bang?”

Saya: Halah! Ada-ada aja siy tu si ibu-ibu dan anak-anaknya. Eh, jangan-jangan ada beneran. Hihi.

Mamang Tukang Nasi Uduk: “Wah, nggak ada, Bu.”

Ibu-ibu yang juga mendaki: “Tapi, kan, si Abang mau turun. Ya, udah, nanti bawa aja ke atas. Kita kemah di Padang Surya Kencana itu, kok.”

Ibu-ibu yang satu lagi: “Iya, ke sana, aja. Pasti kita beli, kok. Cincau, ya, Bang.”
(Kayaknya) Anak si Ibu: “Rujak juga jangan lupa, ya, Bang.”

Saya: Dih!

Mamang Tukang Nasi Uduk: “Ya, kalau ada, ya, Bu.”—(Kelihatan bingung.

Ibu-ibu yang juga mendaki: “Tenang aja. Nanti, pasti kita beli, deh.”

Dih! (lagi). Mesennya enak banget, kayak si Mamang tinggal pergi ke dapur dan bikin pesenan mereka. Pasti mereka bayar, sih. Tapi, bukan itu kale masalahnya. Bayangin aja, tuh si Mamang mesti turun naik gunung setinggi 2.958 meter cuma untuk es cincau dan rujak buat mereka. Halah!

Saya tidak mendengar lagi apa kesepakatan mereka. Tanjakan-tanjakan Jalur Putri masih menanti langkah-langkah kaki.

Saya dan teman-teman hanya sampai Surya Kencana. Tidak berminat ke puncak. Bahkan, untuk foto-foto saja, saya dan Gita kehilangan selera—awalnya. Entah kenapa. Tapi, tentu saja teteup ada foto-foto—akhirnya. Hehe.

Pulangnya, saat lapor di pos, kami malah kena denda. Ternyata, kami telat satu hari dari jadwal—di kertas pendaftaran tertulis, kami turun tanggal 19 (Sabtu). Namun, kami baru sampai pos pada Minggu, pukul satu siang. Padahal, itu kesalahan penjaga pos pendaftaran yang salah menulis tanggal kami turun. Masa, sih, kami cuma daftar buat dua hari? Ogah, deh, naek trus langsung turun lagi!

“Trus, kalau mereka tau kita belum turun dari kemaren, kok, mereka nggak nyariin kita, Piz?” tanya saya dan Gita.

Apiz yang habis diceramahi (tadi, dari luar, sayup-sayup, kami mendengar kalimat-kalimat yang nadanya seperti nasihat) di dalam pos tak menggubris.

“Padahal, itu, kan, kan, dah lewat 1 x 24 jam,” lanjut kami sewot.

Yah, wajar, sih, mereka enggak nyariin. Wong, kami baru mulai naik pukul 02:30 dini hari—udah masuk hari Sabtu. Masa udah turun lagi sorenya atau malamnya.

Kami berjalan dengan hati yang tidak begitu riang.

Kali ini, sepertinya, ada yang hilang di Surya Kencana.


Gunung Gede, 18—20 Juli 2008.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin