Penjual Kenangan

Wednesday, September 23, 2009

cinta sedang deadline


: akan aku tuliskan inisialmu di sini pada saatnya itu.


kau tahu,
cinta sedang deadline.
puzzle-puzzle itu harus utuh seperti ini, dalam setahun?
bagaimana menurutmu?
apakah kita bisa menyusunnya dalam hitungan yang tak seberapa itu?
aku tahu kau akan ada karena kau tahu aku tidak akan bisa menyelesaikannya sendiri.
ah, tidakkah aku bilang agar kau tidak berjalan terlalu jauh sehingga aku akan selalu melihat jejakmu?--jejak yang kutemukan akhir-akhir ini bukanlah milikmu, aku tahu.

kau (harus) tahu?
kini tiba-tiba saja potongan puzzle itu harus utuh, sementara benang merah masih terlalu kusut.
jangan berdiri terlalu jauh lagi, kita diburu waktu.
dengarkan hatimu. bawa langkahmu ke sini.

puzzle kita belum selesai.

TO ME, YOU ARE PERFECT


Apakah aku pernah mengenalmu, dahulu mungkin?
Kau tak asing.
Ya, mungkin, kita pernah dalam satu perjalanan pada kehidupan sebelum ini.
Tapi, kenapa kita baru bertemu hari ini?

Ah, aku teringat sebuah fragmen dalam film favoritku, yang menjadi scene favoritku juga.

“TO ME, YOU ARE PERFECT”. Seorang laki-laki membawakan karton bertuliskan kata-kata itu, hanya menunjukkannya pada seorang gadis, tanpa ucapan apa-apa. Adegan yang membuat hati banyak orang meleleh, mungkin saja ;P--hmm, tapi aku tak yakin kau pernah menontonnya.



Bertemu kau. Aku teringat adegan itu. Ada-ada saja. Hehe.
Mungkin, kita akan bertemu lagi pada suatu hari nanti--di kehidupan yang berbeda (?).
Ah, sudahlah. Selamat jalan. Hati-hati. :)

Friday, September 18, 2009

Sebelum Ramadhan Melepaskan Genggaman


Assalamuaikum,
Hari ini, aku mengetuk pintumu.
Sedang tak di rumah, ya?
Kalau begitu, besok aku datang lagi—jika tak ada halangan.
Semoga kau temukan maaf yang kuselipkan, dibungkus dengan segenap cinta, yang masih hangat.

“Maafkan atas segala khilaf, segala kata yang terucap, segala laku yang menyakitkan.”

Selamat Lebaran. Semoga kita bertemu Ramadhan tahun depan.



Wassalam,
Pada suatu hari ketika genggaman Ramadhan terasa semakin tak erat.

--Iwied--

Tuesday, September 15, 2009

dua cerita

"cipa bisa begini," kata cipa, bersemangat dengan pose barunya.






"ani juga," timpal ani, tak mau kalah.


Friday, September 11, 2009

Suatu Malam [kau tahu, aku orang yang juga takut kehilangan. sangat]



Ramadhan kali ini, aku terlalu sibuk dengan pikiranku saat seorang perempuan mengetuk pintu membawa kabar,

“Seorang gadis telah hilang,” katanya, “hampir setahun lalu.”

Aku mengeryit spontan. “Siapa?” Pertanyaan untuk gadis dalam ceritanya dan untuk dirinya juga—siapa perempuan ini, tiba-tiba saja datang.

“Ia begitu marah pada dirinya sendiri kala itu dan pergi, mencoba menghilang dari siapa saja. Ia marah karena tak menepati janjinya kepada seseorang yang begitu ia sayangi. Ada yang bilang orang itu sahabatnya, ada yang bilang orang itu kerabatnya.”

Aku masih berdiri kaku, bingung.

“Kau tahu, ia berjanji untuk selalu memberi orang itu tawa setiap hari, tapi malah sebaliknya. Tawa semakin mengikis. Dan, hanya ada sekarung tawa yang tersisa kala itu. Ia pun membenci dirinya. Akhirnya, diam-diam, ia pergi, berjalan dengan sekarung tawa di pundaknya, yang ia pikir akan cukup sebagai bekal di perjalanan. Niat hatinya, ia akan menemukan cara untuk membuat berkarung-karung tawa lagi setiap hari. Akan ia bawakan kembali untuk seseorang itu, setiap hari. Sayang, sekarung tawa itu telah tercecer di sepanjang jalan dalam pelariannya. Tak menyisakan satu pun. Ia semakin membenci dirinya. Dan, gadis hilang itu hanya menemukan kesedihan dalam pelariannya selanjutnya. Bahkan, setiap helai daun yang ia raih menjelma tangis. Gadis hilang sempat jatuh cinta, dan seharusnya bahagia. Namun, tetap saja tangis yang menjelma, juga dalam tawa yang ia coba semburkan dari bibirnya.” Perempuan yang berdiri di depan pintu rumahku yang setengah terbuka tiba-tiba saja bercerita panjang.

“Kenapa kau kabarkan padaku?” Aku bertanya dengan kepala penuh tanya, meski mungkin saja terdengar menarik, aku tak berminat pada cerita itu. Aku sedang sibuk dengan pikiranku. Ini dan itu sedang tidak berada tepat di benakku.

“Katanya, ada tumpukan tawa yang kau simpan di kamarmu,” sahut si perempuan. “Mungkin bisa kau bagi dengannya.”

Aku mendengus dalam diam. Perempuan ini menghina? Aku tak menyembunyikan apa-apa di rumahku, di sudut mana pun. Tawa, apalagi.

“Ini Ramadhan,” kata perempuan itu lagi, “berbagi akan semakin membuatmu berbahagia.”

Aku memejamkan mata. Meredakan amarahku sendiri. Aku harus bicara baik-baik pada perempuan ini, mungkin ia salah alamat. Ya, aku tahu ini Ramadhan. Aku tahu…. Sial, sesak itu lagi! Jangan biarkan sesak itu mengaburkan mataku lagi dan membuatnya harus menjatuhkan air yang membuat perih itu. Ya, ini Ramadhan, bulan penuh ampunan, aku tahu. Tapi..., apakah masih ada ampunan buatku?

“A-aku... tidak menyembunyikan apa-apa,” kataku, benar-benar tak mengerti apa yang bisa kubagi untuk si gadis hilang. Aku menggeleng pelan, menyingkirkan amarah yang sering bersarang dalam benakku. “Kalau kau mau, masuklah, cari sendiri apa yang bisa aku bagikan untuk gadis hilang itu.” Aku membuka pintu lebih lebar.

Si perempuan masuk, melonggokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan tidak sungkan.

“Silakan.” Aku mencoba sopan. Entah apa yang bisa ia dapatkan di ruang rumahku ini. Hanya ada tiang kayu penyangga atap, sebuah dipan kayu tua, meja kusam tempatku menulis—ah, entah apa yang kutulis. Dan, di sana, di sudut, hanya ada kotak-kotak yang semakin berdebu. Tak pernah kubuka lagi sejak setahun yang lalu. Sejak.....

“Aku boleh melihat-lihat sekeliling?” tanya si perempuan.

Ah, aku tahu matanya berkata, “Rumahmu kosong sekali.” Terserahlah dia mau bilang apa. “Silakan,” sahutku dan untungnya tidak sempat menambahkan, “Kau tidak akan menemukan apa-apa.”

Aku merasa sungkan dalam rumahku sendiri dan akhirnya, aku duduk di dipan kayu milikku. Duduk di atasnya dengan menggenggam tangan yang rasanya juga sungkan menjadi bagian dari tubuhku.

“Memangnya, gadis hilang itu sudah kau temukan?” Tiba-tiba saja aku bertanya, padahal aku tak ingin ikut campur urusan perempuan ini. Apa peduliku, aku sudah terlalu banyak masalah dengan hidupku.

“Hmm....” Perempuan itu tidak segera menjawab. Ia malah berdiri kaku di depan tumpukan kotak-kotak berdebu.

“Maaf, aku tidak sempat membersihkannya.” Entah kenapa, aku merasa wajib minta maaf. Ah, apa pedulinya kalau kotak-kotak itu berdebu, toh itu milikku dan aku saja tidak peduli.

“Apa isinya?” tanya si perempuan sambil berjongkok dan meraihnya salah satu tutup dari kotak itu.

Aku mengedikkan bahu. Entahlah. Aku sudah lupa. Aku terlalu banyak masalah, tak sempat memikirkan apa yang ada di sana. Lagi pula, aku tidak peduli.

Perempuan itu terdiam cukup lama di sana. Ia tidak mengajakku bicara lagi. Untunglah. Semoga saja ia bisa cepat pergi. Ada pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Ada masalah yang harus segera kuatasi. Dan, ah, sial, ada kesedihan yang harus kutangisi lagi malam ini. Aku duduk dan mencoba mengatur napas, mencoba memilah permasalahan hidupku satu per satu. Mendahulukan ini. Melanjutkan dengan itu. Ya, aku pasti bisa.

“Ini siapa?” tanya si perempuan bersuara lagi.

Aku diam saja.

“Dia mirip kau,” lanjutnya sambil mendongakkan kepala ke arahku, tepat ke mataku.

Aku berusaha keras menaikkan ujung bibirku, mencoba bersikap baik. Tapi, aku tidak peduli apa yang ia bicarakan.

“Benarkah ini kau?” katanya sambil berdiri dan berjalan ke arahku, membawa sesuatu yang yang cukup tebal, berwarna putih, seperti buku. Aku lupa apa benda itu. Buku harianku?

Lalu, ia duduk di sampingku. “Hei, gadis dalam foto ini mirip sekali dengan kau,” ulangnya, mencoba membawa benda putih itu ke depan mataku. Album foto. Aku baru menyadarinya.

“Kau tak mau melihatnya?” kata perempuan itu lagi.

Aku hanya menelan ludah, terasa pahit di tenggorakanku.

“Aku tidak melihat apa-apa dari album yang kau tunjukkan ini,” kataku. Kenapa pula aku jujur pada perempuan yang tiba-tiba saja mengetuk rumahku ini. Ya, aku tidak bisa melihat apa pun dari sana. Kosong.

Ia tersenyum. Sial, dia mengejekku lagi. Aku memejamkan mata, meredakan amarahku kembali.

“Lihatlah, di sini, kau terlihat berbe—“

“Apa pun yang kau lihat, itu bukan aku!” Aku memotong ucapannya seketika.

Perempuan di depanku tidak tampak kaget, hanya menoleh cepat ke arahku.

“Kau terlihat berbeda.” Ia menyelesaikan ucapannya.

Aku menghela napas.

“Ini Ramadhan,” lanjutnya.

Aku memejamkan mata.

“Saat yang tepat berbagi—”

“Aku tak mengenalmu.” Aku memotong lagi ucapannya.

“Saat yang paling tepat juga untuk memaafkan,” ia masih saja berbicara tanpa kuminta, sambil menyerahkan album foto itu ke pangkuanku.

“Kau tahu,” katanya lagi sambil berdiri, “orang yang di dalam foto itu juga mirip dengan si gadis hilang, yang tak menyisakan lagi tawa di pundaknya, juga untuk dirinya sendiri.” Ia beranjak. “Ya, aku sudah menemukannya.” Ia berjalan menjauh, yang telihat hanya punggungnya.

Aku nanar.

“Gadis hilang itu sudah capek menangis, asal kau tahu.” Ia mendekati pintu.

“Tapi—“

“Ia tak perlu menyesali sekarung tawa yang terserak itu, yang ia hilangkan itu. Sudah terjadi.” Suara si perempuan masih bisa kudengar. Mataku mengabur. Sial, aku menangis lagi.

“Ini Ramadhan,” kata si perempuan, yang telah mencapai daun pintu, “saat yang tepat untuk memaafkan, juga memaafkan dirimu sendiri.”

Aku terdiam. Air mataku jatuh. Bergulir pelan di atas album foto yang terbuka. Aku menelan ludah. Menyadari air mata tak membuat penglihatanku kabur. Mendapati foto empat orang perempuan sedang berebut tempat di frame lensa kamera. Ah, benarkah itu aku yang sedang tertawa, merangkul akrab, hangat, lengan seseorang di sebelahku.

Aku membalik album foto itu lagi. Masih ada aku. Teman. Sahabat. Tawa. Aku. Tawa. Sahabat. Tawa. Aku. Sahabat. Tawa. Aku. Keluarga. Tawa. Tawa. Aku. Sahabat. Keluarga. Tawa. Tawa. Tawa. Tawa. Sahabat. Cinta.

“Gadis hilang telah kau temukan, bukan?” Suara perempuan itu lagi. “Ia tak pernah hilang.”

Aku kelu. Lidahku seakan-akan bisa patah saking kakunya.

Ya, ia selalu bahagia, tak pernah kehilangan tawa, seharusnya. Ah, ia hanya terjebak dalam pelarian, yang semakin jauh jika ia tak mencoba kembali.

“Kau tahu, tawa tak akan pernah habis meski kau cecerkan berkarung-karung. Pun jika kau buang ke samudra sekalipun,” suara perempuan itu menggema di telingaku, seperti berasal dari tempat yang sangat-sangat jauh. “Tawa tak akan habis,” katanya lagi, “karena kau punya cinta. Di sini, di tempatku. Di hatimu.”

Thursday, September 10, 2009

2




“Masih jadi favoritmu, kan?” tanyamu lagi, sebelah tanganmu menarik turun selimut perca tua hingga menutupi kakimu yang telanjang. Bersandar pada kursi kayu yang warnanya sudah memudar, melapuk—ah, terlalu lamakah aku pergi. Waktu kutinggalkan, warnanya belum sepudar ini, bukan? Kau menyesap minumanmu dengan santai. Kenapa aku tak bisa relaks sepertimu. Atau, kau semakin lihai menyembunyikan emosimu.

“Masih,” sahutku, lagi-lagi tersenyum, mencoba membuat kau tak menyadari perasaan tidak nyaman yang bersarang sejak aku melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahmu ini, rumah kita—dahulu. Bahkan, aku merasakan jari-jariku kaku, tiba-tiba tak nyaman dalam bentuknya.

Dalam diam, aku ikut menyesap pelan cokelat hangat itu, takut-takut. Dan, aku tahu aku akan merasakan kembali sensasi yang sama—jika tidak, aku tidak akan pernah membuat diriku fobia pada minuman ini. Memaksa diri fobia, tepatnya. Kau tahu, aku suka cokelat hangat seperti ini. Terlalu suka. Cokelat hangat yang kau buatkan dalam mug besar yang selalu kita beli dua, dengan warna yang sama. Untukmu dan untukku. Dan, kau ingat, kita selalu bertengkar, merasa mug kita selalu tertukar. Ya, aku tahu, saat kita telah lama memiliki sesuatu, bahkan, hanya dengan melihat kelebatannya, kita akan menyadari ikatan tak terlihat di antara kita dan sesuatu itu.

Dalam diam, aku menelan pelan manis sempurna yang kau racik. Tetes-tetes cokelat hangat yang membasahi kerongkonganku mengusik tumpukan kenangan yang kupurukkan di sudut hati, semua mendesak begitu saja, mencecerkan kembali percakapan kita sebelum aku memutuskan pergi. Menjauh. Darimu.

“Mau memberiku kesempatan untuk itu?” Kala itu, kau meraih kedua tanganku, menyembunyikannya di genggaman tanganmu yang lebar, yang hampir bisa menghilangkan seluruh jemariku di sana. Aku hanya diam, menghindari tatapanmu yang entah kenapa terlihat begitu jauh, ke masa lalu. Jangan rangkaikan keping-keping kenangan itu di matamu. Kau tahu, aku orang yang terlalu mudah menyerah pada apa saja yang bisa membuatku terharu.

1

Kita duduk di depan perapian itu. Hangat cokelat dari mug berwarna cokelat tanah itu terasa di sela-sela jemariku.

“Kenapa tak diminum?” tanyamu saat menyadari aku hanya mempereratnya di genggamanku.

Aku mengedikkan bahu, tersenyum.

Wednesday, September 02, 2009

"hari masih hujan," katamu




"siapa kau?" tanyamu.

aku terdiam. jangan bertanya lagi, tak bisakah kau cukup mempersilakanku duduk di teras rumahmu ini, hanya sekadar berteduh.

"siapa kau?" tanyamu lagi, mengulang dengan diksi yang sama.

aku menggigit bibirku, menahan cairan hangat yang menggantung begitu saja--sial!
dan, tiba-tiba, pikiran itu datang begitu saja. aku berbalik badan, berjalan.

"hei, hari masih hujan," katamu.

aku tetap melangkah. mempercepat langkah, bergegas meninggalkan kau dan teras rumahmu yang hangat--yang aromanya begitu kukenal. entah karena apa. mungkin, aroma itu yang kita pilin jadi tali ikat di kelingking kita. yang akan mengembalikan langkah pada mula. mungkin saja.

"hei, kau, kau...." suaramu hilang di antara hujan. "siapa kau?" samar masih kudengar.

ah, cairan hangat itu jatuh, berbaur di antara hujan. untunglah. jadi, kau tak tahu siapa aku dan tak akan menjulukiku lelaki yang menangis dalam hujan.

"hei, siapa kau?" suaramu dibawakan hujan ke telingaku. ah, itu lagi yang kau tanya.

jangan tanyakan lagi. aku pun tak mengenali siapa yang menjelma diriku kali ini. yang kutahu, dia selalu tak bisa menahan air matanya. dan memilih bergegas jauh, menghilang, berharap air matanya juga menjelma hujan--yang hanya turun, tanpa jutaan sesak yang memburu dalam helaan napas. ia berharap air matanya seperti hujan.

dan sekarang, tiba-tiba saja aku berharap menjelma hujan. dan menghilang.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin