Penjual Kenangan

Wednesday, June 17, 2009

aku dan matahari bertengkar





waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

("Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari"--Sapardi Djoko Damono)



namun, kali itu, aku dan matahari bertengkar; tak percaya ia yang ciptakan bayang-bayang.

Gunung Ciremai, 2007

Tuesday, June 16, 2009

Dear....




Dear all,
Buat para pembaca Kucing Melulu & Cerita Cinta (Me)Lulu, makasih, ya udah beli dan baca--dan suka "ceritanya" Lulu. hehe.

Terima kasih juga buat peserta yang udah berpartisipasi dalam “SAYEMBARA KUCING MELULU & CERITA CINTA (ME)LULU; Antara Kamu, Gebetan, dan Peliharaan.” Ada banyak naskah yang masuk ke meja redaksi GagasMedia, dan mohon maaf kami terpaksa mengundurkan pengumuman pemenang.

Tapi, pemenang lomba tersebut pasti akan diumumkan, yaitu pada 29 Juni 2009. Pengumuman resminya dapat dilihat di kandang gagas.

So, Check it back, ya!

Sekali lagi, makasih, ya, buat partisipasinya. (^_^)


Buat yang merasa nggak suka kucing, jangan khawatir. Deborah A. Edwards, D.V.M., bilang, "People that don't like cats haven't met the right one yet."

So, mungkin, langkah pertamanya adalah pergi ke toko buku, beli, lalu baca Kucing Melulu & Cerita Cinta (Me)Lulu--promosi melulu :P. Jangan takut kalau kamu-kamu merasa "mulai" mencintai makhluk lucu ini. Then, temukan "the-right-one"! ^_^

Heart you all.

--Iwied--



gambar di sini!

Monday, June 15, 2009

November Itu--Hujan Turun Menderas





Membaca surat Ibu Prita Mulyasari—dan juga melihat berita yang wara-wiri, saya jadi ingat kejadian yang menimpa kakak saya, sekitar dua tahun yang lalu. Kakak saya masuk rumah sakit dalam keadaan tidak sadar, tetapi pihak rumah sakit menyatakan bahwa tidak ada ruang ICU yang kosong. Akhirnya, kakak saya ditempatkan di Ruang HiCare. Di ruangan ini, tidak ada alat bantu pernapasan otomatis. Bantuan pernapasan dibantu dengan alat pompa manual.

Saya begitu ingat kejadian saat kondisi kakak saya masuk fase kritis. Mungkin, saat itu belum terlalu malam, saya dan sahabat saya baru saja makan malam. Saat baru mulai makan, ponsel saya berdering, mengabarkan kakak saya kritis. Saya dan sahabat saya segera berlari-lari menyeberang jalan ke arah rumah sakit itu.
Sesampai di ruangan, semua wajah tegang. Seorang dokter muda—yang ternyata masih dokter koas—tampak berkeringat memfungsikan alat pompa. Bingung mencari detak jantung di dada kakak saya, detak yang harus dipancing dengan tangan.

Setelah masa kritis itu lewat, alat bantu pernapasan tersebut (yang dipompa) tidak boleh dilepas, harus terus dipompa. Kalau tidak, detak jantungnya berhenti. Malangnya, yang diminta memompa adalah keluarga pasien, termasuk saya, yang tergagap-gagap dengan alat itu—takut salah pegang, takut salah pompa.

Malangnya lagi, alasan suster jaganya adalah dia capek. Jadilah saya beradik kakak yang gantian. Bukannya kami tidak mau—kami mau melakukan apa saja asalkan saudara perempuan kami yang punya tiga anak itu (saat itu, anak-anak itu berusia 16 tahun, 10 tahun, dan 3 tahun) sehat kembali. Tapi, kami awam dengan alat itu dan takut memfungsikannya. Selain itu, kalau bisa sendiri, kenapa juga kami harus ke rumah sakit yang cukup besar di kawasan Jalan Raya Fatmawati itu? Kami butuh pertolongan.

Mengingat kejadian itu, begitu memilukan hati. Saat itu, saya ingin mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang sepertinya tidak “menganggap” hanya satu nyawa—tetapi, kami hanya berserah pada takdir. Mungkin, “hanya” satu nyawa bagi mereka, tetapi bagi kami, dia bukan “hanya”. Dia seorang ibu, seorang istri, seorang kakak, seorang adik, seorang anak, dan ... ah, terlalu banyak jika disebutkan satu per satu.
Dan, saat membuka-buka file lama di komputer, saya menemukan catatan panjang saya tentang kisah itu, catatan yang saya buat pada November 2007, setahun setelah kejadian itu.

November Lagi

November. Rinai-rinai hujan di bulan ini membawa kembali berbagai cerita. Juga cerita tentangmu, Ni.

Rasanya, semua masih begitu jelas terjalin di sudut teraman benakku. Semua masih ada di sana.

Malam itu, aku mendapat SMS kabarkan kau dirawat di rumah sakit di bilangan jalan raya Kebayoran Lama. Tiba-tiba saja, pikirku. Selama ini, kau hanya mengeluh sakit pinggang. Kami katakan, kau terlalu bekerja keras. Itu hanya sakit karena kecapaian. Ternyata, sakit yang tak berkesudahan. Datang. Pergi. Datang. Dan, pergi lagi. Kau sudah sempat ke dokter. Berobat jalan. Tapi, sakit itu tak hilang-hilang juga. Dan, pikiran macam-macam muncul di pikiranmu. Tapi, kau, ingat, kami semua membantah. Kita tahu itu hanya akibat terlalu banyak kerja. Kau memang pekerja keras. Tidur malam tidak pernah kau tebus dengan mengambil waktu pagi—tidak sepertiku. Aku ingat, saat menginap di rumahmu, kau tidak pernah mengusik tidurku yang terlalu berlebihan kadang. Bahkan, saat bangun, aku telah menemukan segelas teh hangat dan juga nasi uduk di meja.

Sakit pinggangmu pindah-pindah, ceritamu. Tapi, kami semua merasa, itu karena kau terlalu memikirkan rasa sakit itu. Bahkan, karena aku sibuk dengan kerjaku, aku lupa tentang sakit pinggangmu itu. SMS itu mengagetkanku. Kau dirawat di rumah sakit. Kebetulan, hari itu, aku libur kerja—izin sakit selama tiga hari. Esok paginya, aku langsung menuju rumah sakit itu. Bahkan, di depan rumah sakit, aku sempat menelepon ke ponselmu. Mengonfirmasi nomor kamar. Aku melihatmu duduk di tempat tidur. Pucat. Tapi, aku merasa lega, wajah sakit biasa. Di sana, sudah ada kakak perempuanku yang lain. Malam itu, aku disuruh jaga. Untunglah, izin sakitku masih dua hari.

Malam itu, kau tidak bisa tidur. Tengah malam kau terbangun. Batuk-batuk. Dan, bahkan, semua makan malam—yang serbasedikit kau makan—keluar lagi. Kau muntah-muntah. Suster yang aku panggil datang setelah semua makanan di perutmu habis. Kau juga mengeluhkan sakit kepala. Kau sampai memegangi kepalamu. “Sakit, sakit,” katamu. Sakit kepala hebat menyerangmu. Aku kebingungan. Hanya bisa memintamu menyebut-Nya; dan aku segera minta obat pada suster. Lalu, suster itu memberiku sebutir Panadol—Entah karena tengah malam atau mereka tidak tahu seberapa hebat sakitmu itu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Yang kutahu, kau sangat butuh obat.

Badanmu juga panas. Suster menyarankan aku untuk mengompresmu. “Bisa ngompres?” tanyanya padaku. Aku seperti orang bodoh di sana. Kelimpungan dan segera mengangguk. Tengah malam itu, para suster itu memberiku sebuah wadah dan handuk kompres. Lalu, mereka berlalu. Aku kebingungan. Lho, bukankah mereka susternya? Ah, sudahlah, aku cuma ingin panasmu turun dan sakit kepalamu hilang.

Malam itu, kita hampir tidak tidur. Aku segera terjaga saat suster-suster itu mengantarkan makan pagimu. Saat diberi obat, aku ulangi kembali tentang sakit kepalamu. Aku minta tambahan obatnya. Lagi-lagi, Panadol yang diberikannya—obat itu juga ada di warung-warung rokok pinggir jalan.

Malam itu, aku masih berjaga. Gita, sahabatku, datang dan menemaniku. Batuk-batuk dan sakit kepala hebatmu datang lagi malam-malam.

Esoknya, Ni Nur—saudara perempuan kita yang nomor 10 dari 12 orang saudara kandung—dan Ibu datang dari Padang. Kami menjagamu bersama. Malam itu, kau terlalu mengkhawatirkan anak-anakmu.

“Ah, Riyan, masih aja bandel,” katamu. “Puput susah banget nangkap pelajaran.” “Untunglah, Shiva dikirim untuk pengobat hati,” lanjutmu. Ya, Shiva—Cipa—itu begitu mencuri hati semua orang, seperti berkah dari arti namanya, pengobat hati.
“Anak segede Riyan emang lagi masa-masanya ngebantah, Ni,” kataku. “Puput juga, asal rajin les, pasti juga bisa. Waktu SD, Iwied juga gak pernah belajar, Ni.” Aku hanya bisa menghibur. Ketakutan Uni akan anak-anaknya terlalu berlebihan, menurutku. Namun, begitulah ibu, selalu punya ketakutan yang berlebih untuk anaknya, seperti rasa sayang yang juga pasti selalu tak pernah kurang.

“Put, Put, bawa kue kaleng ini pulang. Bang Iyan suka,” panggilmu pada Puput, putrimu yang masih duduk di kelas lima SD itu, saat anak itu hampir mencapai pintu keluar. Ah, begitulah kasihmu, sang ibu.

Aku hanya bisa menemanimu hingga hari ke-3. Selanjutnya, aku hanya menelepon. Pekerjaan menunggu di kantorku. Seminggu kemudian, yang aku tahu, kau sudah pulang. Kau masih pucat, tapi suasana rumah sakit juga tidak akan membuatmu ceria. Hanya perlu sentuhan rumah. Uni Nur, yang kebetulan juga seorang dokter, pun mengiyakan saat kau ingin pulang ke rumah. Tiga hari berikutnya, Ni Nur kembali ke Padang. Pekerjaan menunggunya. Ibu tinggal untuk menjagamu.

Seminggu kemudian, aku—bersama Gita—baru bisa menjengukmu lagi. Aku membawa sekotak donat dan foto wisudaku. Ada juga foto kau dan Cipa, bocah tiga tahunmu itu. Senyummu dan senyum Cipa dalam foto itu seakan abadi—begitu indah sehingga aku merasa perlu untuk memperbesar dan membingkainya.

Kondisimu masih lemah dan banyak diam. Kau tidak mau makan donat yang kubawa. Tapi, saat aku membolak-balik foto wisudaku, kau bilang, “Coba Uni liat,” ucapmu pelan. Apakah yang kau lihat saat itu? Mungkin, tak percaya bahwa adik yang dulu selalu kau cucikan bajunya dan kau bilang, “Mandi sana, badanmu bau,” sudah beranjak melangkah. Ah, Uni, kau selalu ada untukku sejak dulu. Semoga kau cepat sembuh, aku hanya bisa ucapkan itu untukmu saat itu.
***

Malam itu, aku diberi kabar, kau masuk rumah sakit lagi. Saat itu, aku akan bersiap-siap naik gunung bersama teman-teman, melantik anggota baru organisasi pencinta lingkungan kampusku dulu. Aku sempat ragu. Namun, aku pikir—dengan egoku sendiri. ah, bodohnya aku!—kondisimu pastilah sama dengan waktu dulu. Wajah orang sakit biasa. Lalu, aku memutuskan untuk tetap ikut. Tiga hari ponselku tidak aktif. Dan, ternyata itu membuat panik semua orang rumah. Saat sudah turun dan dapat sinyal, aku langsung menelepon Elok—saudara perempuan kita yang ke-8. Dari suaranya, aku tidak terlalu merasa bersalah ikut naik gunung. Sudah ada ibuku dan Ni Nur di sana. Aku merasa lega.

Saat naik mobil omprengan untuk pulang, aku mendapat telepon dari Ni Nur.

“Wid, di mana? Kok HP-nya nggak bisa dihubungin? Kirain ada apa-apa sama Iwied.”

“Kemaren lagi keluar kota, ni. Gimana Ni Ros ni?” tanyaku.

“Iwied cepetan pulang. Uni Ros udah nggak sadar …. Iwied juga bikin khawatir aja,” nada suara Ni Nur marah.

Aku tersentak kaget. Belum lama, suara Elok baru saja membuatku lega. Namun, kabar yang ini.... Oh, Tuhan, sekarang, rasa bersalah itu menyergapku. Sangat. Aku segera minta maaf pada Ni Nur, sambil menyembunyikan tangisku di depan anggota baru organisasi.

Aku sudah sampai di rumah sakit besar di bilangan Jalan Raya Fatmawati itu. Aku menunggu di luar. Di dalam ruangan itu sedang ada tiga orang keluarga kita. Kami harus bergantian. Aku resah melihat orang harus memakai pakaian khusus untuk masuk. Begitu khususkah ruangan ini?

Saat memasuki ruangan itu, di sebelah kiriku, seorang pasien tampak sangat parah. Laki-laki tua dengan selang di mana-mana setiap bagian tubuhnya. Lalu, dibatasi dengan tirai kain, di sebelahnya, kau tampak terbaring. Dan, aku menangis. Benarkah itu kau, Ni? Tak kukenali lagi wajahmu. Selang-selang pun telah meraja di setiap tubuh dan wajahmu. Ibu sedang mengelus-elus kakimu. Aku? Aku hanya terpaku. Bagaimana mungkin kau bisa seperti ini? Diam disakiti selang-selang itu.

Ruang HiCare—kata mereka menyebut tempat kau dirawat. Seharusnya, kau dirawat di ruang ICU. Tapi, ruang itu penuh hingga kau tidak bisa mendapatkan perawatan yang sewajarnya. Aku tidak tahu. Kata seorang temanku, saat saudaranya dirawat, mereka juga bilang ruang ICU penuh. Entah siapa yang telah mem-booking tempat itu. Atau, entah siapa yang berani membayar tinggi untuk berada di tempat itu. Kami—yang hanya orang biasa—tidak bisa ke sana.

Aku masih percaya kau akan sembuh. Dan, aku jadi benci pada Ni Nur yang selalu menangis. Seharusnya, dia jadi pegangan keluarga kami. Jadi dokter yang selalu memberikan senyum dan meyakinkan kami akan selalu ada harapan. Tapi, Ni Nur malah selalu menyeka ujung matanya.

Namun, semua jadi berubah. Di ujung lorong rumah sakit itu, Ni Nur menceritakan segalanya. Aku hanya bisa menangis. Tapi, aku masih percaya kekuatan doa. Kau akan sembuh. Belum saatnya kau pergi, Ni. Namun, entah kenapa, kanker yang telah mengerogoti otakmu itu menggangguku dan tidak membiarkan aku dapat berdoa dengan khusyuk.

Kanker otak. Katanya, dokter baru menemukan virus itu menjalari otakmu. Begitu cepatnya. Begitu cerobohnya. Sebelumnya, hasil CT-scan dari rumah sakit internasional yang ada dekat stasiun teve swasta di Kebon Jeruk itu dinyatakan normal. Tidak ada apa-apa.

Namun, nyatanya, hasil itu dapat berubah dengan cepat—dengan waktu singkat, hasil diganosis yang—katanya—normal itu menyatakan informasi lain, dan para dokter itu baru menemukannya. Ada sesuatu yang telah menggerogoti otakmu. Menjalar dari pinggang, lalu ke otakmu. Ah, pantas saja kau katakan kepalamu begitu sakit. Dan, dengan baik hatinya, suster di rumah sakit yang sebelumnya memberikanmu Panadol, obat berlogo biru itu. Namun, aku tetap percaya kau akan sembuh. Toh, baru saja semua diagnosis itu dapat berubah-ubah, bukan? Bahkan, dalam waktu singkat pula.

Saat itu, aku dan Gita sedang makan malam di seberang rumah sakit. Nasi goreng itu masih tinggal setengah saat ponselku dihubungi. “Wid, cepetan ke sini. Ni Ros gawat.” Dan, seperti dalam film-film, aku dan sahabatku itu berlari. Meninggalkan sendok nasi goreng yang hampir masuk ke mulut.

Di ruangan itu, seluruh anggota keluarga diminta berkumpul. Segala alat kejut telah mampir ke dadamu. Bahkan, denyut jantungmu nol. Saat itu, tidak ada dokter yang muncul. Dari curi dengar telepon sang Suster, sang Dokter bilang, bukan dia yang sedang jaga, jadi dia menolak untuk datang. Dan, saat itu, Ni, napasmu sedang berkejaran dengan nyawamu. Dan, dokter itu bilang, dia tak bisa datang karena bukan giliran jaganya—ah, tidak adakah dalam “kode etik” mereka untuk hanya “sekadar” menolong sesama yang sedang membutuhkan?

Hanya seorang dokter koas yang ada. Kak Koas—begitu panggilan suster di sana kepadanya—yang bahkan tidak begitu mengerti letak alat pompa pernapasan dengan benar. Ni Nur sempat membetulkan cara dia memegang alat itu. Masa kritis—yang telah diwarnai doa dan tangis—itu memang lewat. Namun, kau terpaksa memakai alat pompa pernapasan manual. Aku dan dokter koas itu memfungsikan alat itu sampai pagi—butuh satu orang untuk meletakkan corongnya di mulutmu dan satu lagi untuk memompa pompa—napas buatan itu—untukmu. Suster yang sebelumnya memegangi alat itu merasa tangannya pegal. Tentu saja, ia meminta keluarga pasien yang menggantikan. Memang sangat manual untuk mempertahankan detak jantung dan tekanan darahmu. Ah, semua ini gara-gara ruang ICU tidak pernah kosong!

Aku dan dokter koas itu sempat bercakap—mengisi jeda yang kosong di antara malam itu—ternyata, dia baru masuk kuliah di universitas swasta pada tahun 2000—hanya beda setahun saat aku, yang masih fresh graduate ini—masuk kuliah di Fakultas Sastra. Dan, katanya, dia baru saja koas di bagian penyakit dalam. Kepadanya nyawamu dipertaruhkan dalam masa kritis tadi—anak angkatan 2000 yang baru saja koas itu. Baru saja.

Malam itu, sang dokter sempat mampir—dengan lenggang yang begitu biasa. Dia tak tahu bahwa kita baru saja melewati saat-saat yang kupikir hanya ada dalam adegan di film-film. Dia melihat-lihat sejenak, lalu malah menanyakan riwayat penyakitmu. Bukankah itu ada dalam catatan yang selalu diperbaharui setiap pagi-sore oleh dokter dan suster yang bertugas. Lalu, kenapa dia malah bertanya kepada keluarga pasien yang bahkan sulit mengingat apa yang barusan terjadi?

Esoknya, ruang ICU dinyatakan ada yang kosong. Kau dipindahkan ke ruang ICU. Sore hari. Lagi-lagi, adegan dalam film kami lakukan. Kau dibawa dengan dengan brankar yang didorong gerakan cepat—berlari, tepatnya. Alat pompa pernapasan tetap harus dipompa dalam keadaan berlari itu. Betapa sulitnya adegan ini karena kita tidak tahu kapan “Sutradara” mengatakan “Cut!” dan aku berdoa jangan sampai “Dia” mengucapkan itu. Dan, berapa berisikonya alat itu terlepas karena arah yang berbelok-belok.

Sampai juga kita ke ruang ICU. Alat bantu pernapasan otomatis ada di situ—tidak perlu empat tangan untuk memeganginya (untunglah). Tak lama, alat itu telah terpasang dengan baik. Namun, hal itu memperburuk penampilanmu. Mulutmu seperti tercabik karena alat itu. Bahkan, saat melihatmu, Puput, putri kecilmu yang rambut panjangnya selalu kau sisiri itu, langsung menangis di ruang tunggu. Pelukan ayahnya tak dapat meredakan tangis itu. Malah, hal itu ikut melarutkan tangis sang Ayah.

Wajahmu tampak begitu kesakitan dengan alat-alat itu. Namun, keajaiban itu datang. Esoknya, kondisimu pulih. Wajahmu tampak segar. Darah mengalir di pipimu. “Uni sudah baikan,” aku mengabarkan pada kakak pertama kita, yang sedang berada di rumahnya, lewat ponsel. “Alhamdulillah,” jawabnya—kemarin, kakak laki-laki kita itu baru saja datang dan sangat jelas, air mata itu menggantung di matanya. Aku pun ikut mengucap syukur. Namun, tak beberapa lama kemudian, ternyata, aku terpaksa memberi kabar lagi.

Kejadian itu begitu cepat. Aku baru saja selesai membacakan Surah Yasin saat saudara laki-laki kita yang nomor 9 menyuruh aku dan Gita menebus obat ke apotek di seberang. Lalu, seorang kakak laki-laki kita datang dan menyuruhku segera kembali. Kami berlari. Obat telah berhasil kudapat.

Aku masuk ruangan dan segera menyerahkan obat yang barusan kutebus. “Pasien gawat,” bisik-bisik para dokter yang telah berkumpul di dekatmu, Ni. Tekanan darah turun. Detak jantung melemah. Padahal, alat otomatis membantumu. Tidak ada tangan-tangan yang pegal memegangi pompa napas buatan. Dan, mereka—para dokter itu—telah berdiskusi sejak tadi. Aku tidak tahu, ternyata, mereka telah memperkirakan kepergianmu, Ni. Obat yang kubawa masih ada dalam plastiknya. Dan, jantungmu telah berhenti berdetak…. Alat-alat itu tak lagi menangkap kehadiran segala detak. Waktu pun berhenti untukmu. Benar-benar berhenti.

“Uni sudah pergi,” ucapku lewat telepon genggam pada kakak tertua kita itu. Padahal, baru saja aku kabarkan ia tentang wajah Uni yang dialiri darah. “Sabar, sabarlah ...,” kata kakak kita itu dari jauh.

Aku mencari bahu untuk dipeluk. Dan, aku menemukan Ibu.

“Sudahlah, Nak…,” kata Ibu. “Lihatlah, Amak. Amak sudah sering dilamun ombak. Tapi, Amak tetap bertahan. Sudahlah….”

Hanya itu kata-kata Ibu. Tangisnya juga pecah. Namun, dia mencoba tetap membuatku kuat. Amak memang kuat. Tiga buah hatinya telah pergi dengan cara yang meminta air mata untuk tumpah.

Belum lagi, kepergian Bapak… dan banyak lagi kepergian yang telah disaksikan Amak. Dan, sekarang, Amak tetap berdiri dengan tangan yang mendingin. Dinding menyangga tubuhnya yang merapuh. Air matanya tak tampak. Entah pada kepergian yang mana air matanya itu habis.

Di luar, tangis Puput seakan-akan menembus sampai ke ruang tempat kau tutup matamu, Ni. Dan, aku tak bisa membayangkan wajah bingung Cipa—yang saat itu sedang senang-senangnya bernyanyi “Citak-Citak Dindinding” sesuai lafal lidahnya—saat tak menemukanmu lagi di pagi hari saat dia terjaga. Dan, aku tak bisa membayangkan reaksi Riyan yang saat ini masih berada di sekolahnya.

“Pukul 14.05,” kata dokter, “saya nyatakan pasien meninggal dunia,” lanjutnya.

Ah, seadainya dapat memilih, aku tidak mau jadi tokoh dalam cerita ini.

Ini terlalu sedih untuk menjadi akhir cerita.

Dan, lanjutan cerita masih juga cerita sedih….

Tuhan, maaf jika aku juga ceritakan kisah ini dalam cerita sedih. Maafkan aku saat ini. Aku tidak bisa berdiri dari sudut yang berbeda dan melihat kisah ini dalam warna yang berbeda. Bukan hanya hitam dan abu-abu. Maafkan aku saat ini.

—tapi, aku tahu ada yang Kau sembunyikan dari kisah ini—


gambar di sini!

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin