Penjual Kenangan

Sunday, May 11, 2008

KITA BERLAGU

Wajah-wajah yang lucu.
Aku teringat kupu-kupu yang lucu,
yang mengayun-ayun di ranting yang rapuh.




"Jablai gopek," terdengar teriakan suara kalian.
Hah? Benarkah itu kalian yang bersuara?

Ah, wajah-wajah yang lucu.
Mari sini,
kita berlagu saja, tentang kupu-kupu yang lucu.
Kupu-kupu yang mengayun-ayun tanpa lelah
di ranting-ranting itu.

Mari kita berlagu saja,
/kupu-kupu yang lucu/
/ke mana engkau terbang/
/hilir mudik mencari/
/bunga-bunga yang kembang/

Mudah, bukan?
Mari, wajah-wajah yang lucu.
Kita berlagu saja.

MATA AIR HARAPAN DARI CIBEDUG

Anak-Anak Harapan dari Ulu Cai
Anak-anak yang ada di dalam foto di bawah ini adalah siswa SMP Sekolah Mandiri, Cibedug, Bogor. Mereka sedang mengikuti acara pengenalan pentingnya air pada 25—26 April 2008, lalu, di Camp Ulu Cai—ulu cai: ‘mata air’.

Mereka anak yang bersemangat, ceria, dan punya rasa ingin tahu yang besar. Semangat kebersamaan mereka pun terasa erat. Anak-anak yang “benar-benar” anak-anak. Begitu mudah tertawa, mengalir bagai mata air yang jernih dan segar dari desa itu. Namun, masihkah mata air itu membawa harapan?—saat air-air dari desa itu semakin banyak dikemas.
Anak-anak SMP ini sekolah pada siang hari, mulai pukul satu hingga pukul empat. Bukan mereka memilih masuk siang, tetapi karena pagi hari “ruang kelas” digunakan oleh adik-adik mereka yang masih duduk di SD.
Kebanyakan jarak rumah para siswa ini ke sekolah cukup cukup jauh, di “bawah” sebut mereka menyebut daerah tempat tinggal mereka. Biasanya, mereka jalan kaki. Ada juga yang naik ojek, tetapi jarang karena ongkosnya mahal.
“Sekitar setengah jam, Kak,” jawab mereka ketika saya tanya berapa lama waktu yang diperlukan untuk jalan kaki ke sekolah.
Buat mereka yang tinggal di “bawah”, tanjakan tajam—mungkin mirip “tanjakan setan” di salah satu gunung—menuju sekolah ini mungkin sudah bukan masalah lagi. Mereka adalah anak-anak yang bersemangat.
Hari Senin ini, 5 Mei 2008, siswa SMP yang kelas 3 (Kelas VIII) akan mengikuti UAN. Mereka ikut ujian di “induk”, sebutan sekolah negeri tempat mereka “numpang” ujian. Namun, saat marak diberitakan bahwa banyak siswa yang berdebar-debar takut tidak lulus karena nilai kelulusan yang tinggi, debar itu mungkin juga begitu kuat di antara siswa-siswa kelas 3 sekolah ini—apalagi, mereka belajar dengan guru dan fasilitas yang ada saja.

“Lulus SMP”, mungkin, adalah cita-cita yang akan mereka tulis jika ada orang yang memaksa mereka menuliskan apa cita-cita mereka.
“Doain saya lulus, ya, Kak,” ujar salah satu siswa perempuan, sebut saja Ida.
Ia sangat berharap lulus agar tidak membebani orangtuanya. Namun, ia tidak akan melanjutkan ke mana-mana. “Lulus SMP saja sudah untung, Kak,” ujarnya, “kakak saya saja cuma sampai SD, itu juga tidak lulus.”

Kalau melanjutkan ke SMA, orang tua Ida tidak punya biaya—apalagi, ada empat orang anak lagi di bawah Ida. Dan, sayangnya, saat ini, belum ada SMA Terbuka—konon, hal itu karena negara kita hanya mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun.
Dan, Ida tidak sendiri. Ada banyak teman sekelasnya yang seperti itu. Mungkin, saat nanti mereka lulus—semoga, ya, Allah—mereka tidak akan bingung-bingung untuk membuat pilihan. Pilihan mereka hanya satu—ironis kalau ini disebut pilihan, maaf—tidak ke mana-mana. Kembali ke rumah. Ke sawah membantu orang tua—yang bukan milik orangtuanya. Atau, jika rumah dan orangtua tidak dapat “mengikat” mereka, mereka akan ke pinggir-pinggir jalan, bergerombol dengan anak-anak yang sudah duluan di sana: memainkan gitar dengan lagu-lagu “populer”.
Mungkin, tak lama berselang, anak perempuan “menganggur” pun segera dinikahkan. Berkeluarga. Beranak-pinak. Dan, mengirim anak-anak mereka ke “lingkaran-tanpa-pilihan” itu lagi.
Ah, tampaknya, bukan nilai keluluasan yang tinggi itu yang membuat jantung mereka berdebar-debar kencang. Toh, jika mereka pun mengulang di kelas 3 SMP, biaya untuk sekolah di Sekolah Mandiri itu tidak perlu dikhawatirkan—mereka tidak perlu membayar “uang-sumbangan-sekolah”. Mungkin—ini hanya pikiran yang konyol saya—mereka akan senang jika tidak lulus karena berarti masih bisa sekolah, berstatus pelajar. Mereka jadi tetap punya tempat untuk belajar, membaca buku-buku di rak buku sekolah itu—yang baru sedikit dan senang hati menerima sumbangan buku jenis apa saja, yang penting menambah pengetahuan anak-anak.
Bayangan akan lulus dan tidak melanjutkan ke mana-mana mungkin lebih menghantui mereka. “Ya, pengennya ngelanjutin, Kak ….. Tapi, gak ada uangnya. SMA kan mahal, ya, Kak ….” Wajah yang menunduk itu, sepertinya, tak akan bisa menuliskan cita-citanya pada selembar kertas. Mimpi-mimpinya tidak pernah sampai ke mana-mana, terhenti di “jalan menanjak” desa itu.
“Tapi, saya bersyukur bisa sekolah di Sekolah Mandiri ini, Kak,” wajahnya mencoba sumringah.

Sekolah Mandiri: Kesahajaan Pak Ali dan Bu Tini
Sekolah Mandiri. Sekolah yang berlokasi di Jalan Pesantren, Kampung Cibedug, RT 01/04, No. 7, Desa Cibedug, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang didirikan oleh Pak Ali dan Bu Tini ini mengalirkan harapan bagi anak-anak usia sekolah di Desa Cibedug itu. Ada sekolah gratis untuk mereka. Tempat menapak dan mengawali langkah menuju masa depan, meraih cita-cita.
“Kita gak pernah bayar apa-apa, Kak, di sekolah. Kadang, buku juga dikasih,” cerita salah satu siswa Sekolah Mandiri ini.
Ya, sekolah ini memungut biaya apa pun kepada siswanya. Gratis. Sekolah ini terdiri atas TK, SD, dan SMP.

Namun, jangan bayangkan sekolah ini terdiri atas tiga bangunan, apalagi bertingkat, dan punya ruang-ruang kelas. Sekolah ini hanya sebuah rumah—tempat tinggal Pak Ali dan Bu Ali—yang disulap jadi sekolah pada pukul 07.00—16.00 WIB. Ruang kelas mereka adalah gabungan ruang tamu, garasi, dan teras. Meja rendah. Tanpa kursi. Hanya menggunakan karpet sebagai alas duduk—tapi, mungkin masih lebih nyaman dibandingkan dengan sekolah-sekolah roboh di daerah Indonesia. Di sana, anak-anak belajar dengan antusias—meski awalnya masih malu-malu.

“Waktu itu, waktu Ibu lagi jalan nyari udara segar, Ibu heran melihat banyak anak-anak usia sekolah yang berkeliaran pagi hari. Itu gak cuma sekali, tapi hampir tiap hari. Ibu nanya mereka dan mereka bilang gak sekolah. Trus, Ibu nanya-nanya sama ibu-ibu dekat sini. Ternyata, anak-anak daerah sini jarang yang sekolah,” Bu Tini membuka cerita tentang sekolah ini.
Ia dan suaminya, Pak Ali, sorang pensiunan sebuah bank swasta, pindah ke Desa Cibedug sekitar dua tahun lalu. Mereka ingin melewatkan masa pensiun mereka di daerah itu.

Daerah Cibedug yang cukup padat itu cuma 75 km dari Monas. Jadi, bukan daerah terpencil atau sebagainya.

“Mereka bilang karena gak ada biaya. Di sini, kan rata-rata kan petani. Jadi, ya, mereka cuma cukup buat makan hari ini—itu juga syukur. Trus, faktor lainnya, juga karena pikiran para orangtuanya juga. Mereka pikir sekolah atau gak sekolah sama saja, toh, nanti juga jadi seperti mereka,” lanjut Ibu Tini, pensiunan dari perusahaan asuransi.

Penduduk Cibedug rata-rata memang petani—tapi lahan-lahan sawah itu kebanyakan bukan milik mereka lagi. Pengaruh modernisasi—atau kredit motor murah?—membuat mereka memutuskan menjual tanah-tanah mereka dan menjadi tukang ojek. Namun, ternyata, penghasilan sebagai tukang ojek tidak lebih menguntungkan—malah mungkin merugikan. Tarikan sepi—ya, tentunya, penduduk sana mikir dua kali buat naik ojek, lagi-lagi karena masalah uang.

“Ibu sedih dengar kayak gitu. Anak-anak di sini banyak. Ibu pikir, hidup mereka bakal kayak gini-gini aja kalau mereka gak sekolah. Trus, Ibu bujuk Bapak buat bikin TK. Kan, Ibu juga tidak punya kerjaan. Alhamdulillah, Bapak setuju. Trus, Bapak ama Ibu nyari-nyari informasi tentang sekolah mandiri. Akhirnya, setelah ke sana-sini, alhamdulillah, kita bisa bikin TK.

Awalnya, muridnya cuma sedikit. Maklum, penduduk sini masih mikir ini dan itu. Yah, banyak juga tantangan dari lingkungan sini. Tapi, Alhamdulillah, lama-lama, banyak juga yang ngebolehin anaknya sekolah di sini.

Dari 100 orang anak, yang wisuda TK ada 50 orang. Dua kali seminggu, Ibu ngadain pengajian ibu-ibu yang nungguin anaknya TK. Biar ibu-ibu sini juga punya kegiatan.

Trus, Ibu mikir, ke mana mereka setelah TK. Akhirnya, Bapak dan Ibu bikin SD. Ya, kelasnya di ruang tamu ini. Mereka duduk seadanya saja. Oh, ya, Ibu kaget juga, ternyata sekolah mandiri kayak gini ada sekitar 17. Alhamdulillah, Ibu dan Bapak gak sendiri.

Setelah itu, Ibu mikir lagi, kasihan anak-anak kalau cuma sampe SD. Ibu dan Bapak pengen buka SMP. Alhamdulillah, ada rezeki dari anak Ibu, akhirnya, jadilah teras di luar itu. Jadi lebih lega dan bisa buat kelas SMP. Karena keterbatasan guru, anak SMP masuk siang. Awalnya, cuma Ibu ama Bapak yang ngajar. Kalau sekarang, Alhamdulillah, kita sudah ada guru lain. Semuanya sukarelawan. Bahkan, ada yang dari Jakarta. Tapi, dia ngajar dua kali seminggu, ngajar matematika. Trus, ada juga lulusan Gontor yang kebetulan dapat suami orang sini. Dia ngajar bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Ya, meski sukarelawan, Bapak ama Ibu gak enak kalau gak ngasi mereka apa-apa. Yah, kita usahin buat sekadar ongkos meskipun mereka bilang mereka ikhlas ngajar. Katanya, sih, dari Induk ada bantuan buat guru. Tapi, yang ditunggu-tunggu itu gak pernah ada. Setelah ditanya-tanya, baru turun 100 ribu. Akhirnya, itu dibagi-bagi barang sedikit buat guru-guru.”

Menurut cerita Pak Ali dan Ibu Tini yang tampak selalu tersenyum bahagia, dana rutin mereka berasal dari dua orang anaknya dan juga adik-adik Bu Tini dan Pak Ali. Dari sukarelawan, belum ada yang rutin. Mereka juga sudah memasukkan proposal-proposal, tetapi tidak pernah (belum) ada yang tembus. Pak Ali dan Ibu Tini itu begitu bersahaja—asal lahirnya Sekolah Mandiri—dan mereka sangat terbuka dengan orang-orang baru. Mereka akan dengan senang hati membagi “jalan kebahagiaan” dengan siapa saja.

“Kalau ada yang mau jadi guru di sini, Ibu dan Bapak sangat senang. Tapi, kami tidak mau kalian repot juga karena jarak yang jauh. Ya, bantuan itu kan gak cuma uang. Ibu ama Bapak juga mengharapkan ide-ide untuk sekolah ini. Kalaupun tidak ada ide, Ibu dan Bapak mengharapkan doa biar Ibu dan Bapak selalu sehat dan bisa mengurus sekolah ini,” Bu Tini berkata dengan senyum cerianya kepada kami.

“Wah, kalau cuma doa, berarti itu sudah sampai tahap selemah-lemahnya iman, tuh,” celetuk salah seorang teman saya. Kami tergelak, tersentil.

Menurut cerita Bu Tini dan Pak Ali, yang sungguh bijaksana itu, mereka juga resah memikirkan nasib anak-anak yang akan lulus SMP. Namun, apa daya, mereka baru bisa membuka sekolah sampai SMP—masalah ruang, biaya, guru, dan lain sebagainya.

“Sekarang, yang SD ada 35 orang. Harapan Ibu sekarang ini anak-anak SD ini pakai seragam. Ibu pengen liat mereka pakai seragam soalnya selama ini mereka belum punya. Pasti mereka senang sekali,” tambah Ibu Tini tentang harapannya.

Saya dan teman-teman ikut membayangkan anak-anak SD itu pakai seragam Sekolah Mandiri. Ah, betapa akan senangnya mereka mempersiapkan baju baru itu untuk esok pagi. Melenggang ke sekolah dengan seragam baru mereka itu. Mencium baru khas baju baru. Dan, menukar baju sehari-hari yang mereka kenakan—yang terkadang mungkin belum kering atau sudah “bau matahari”—dengan seragam itu. Betapa akan senangnya anak-anak SD itu.

Cerita Ibu Tini dan Pak Ali “merebut hati” kami yang mendengarnya. Betapa tulusnya niat mereka. Betapa mulianya. Betapa ikhlasnya. Betapa sabarnya. Betapa sangat berguna. Betapa bahagianya jika dapat membantu mereka, membantu anak-anak itu ….
Menurut teman saya, mendengar cerita Bu Tini dan Pak Ali seakan-akan melihat dan mendengar cerita di acara “K!ck Andi”.
“Namun, yang ini, begitu nyata tanpa halangan kaca. Keharuannya lebih saya rasakan,” katanya.
Ya, cerita Ibu Tini dan Pak Ali memang bukan cerita yang, hendaknya, “mampir” di hati kita, dan tidak hanya meresap dan hilang begitu saja. Itu adalah cerita tentang anak-anak yang bersemangat. Anak-anak masa depan. Anak-anak yang ingin tumbuh dengan cita-cita—dan berani menuliskannya di kertas atau mengucapkannya dengan lantang. Itu adalah cerita mata air harapan, yang akan kering jika “hujan” tak pernah lagi jatuh. Itu adalah cerita yang ingin berakhir bahagia. Semoga ….
***
P.S
Saat ini, saya dan teman-teman sedang mengumpulkan dana untuk mewujudkan harapan Ibu Tini—Ibu yang selalu tersenyum bahagia itu—dan, tentunya, harapan terpendam anak-anak SD Mandiri itu. Kami sedang mengumpulkan dana untuk baju seragam SD—bukan seragam merah-putih, tetapi seragam Sekolah Mandiri—kaus kaki, sepatu (jika memungkinkan), dan untuk ATK (jika dana untuk seragam berlebih). Namun, yang terpenting adalah pengumpulan dana untuk seragam.
Mungkin, cerita Ibu Tini dan Pak Ali ini juga “merebut hati” teman-teman. Dengan senang hati, kami menerima sumbangan untuk anak-anak Sekolah Mandiri, Desa Cibedug.
Untuk informasi lebih lanjut, teman-teman dapat menghubungi kami.
Iwied/Gita (iwied_bae@yahoo.com)

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin