Penjual Kenangan

Tuesday, September 25, 2007

Belajar Membaca Arah

Kita akhiri di sini saja. Apa lagi yang dipertaruhkan? Semua sudah selesai. Matahari telah diselamatkan. Jadi, apa lagi yang kau-aku tunggu? Di malam yang tak hujan, kau bilang ceritamu tak akan habis sampai jutaan tahun. Tapi, "kita tak punya waktu hingga sejuta tahun"*, bukan?
Persimpangan juga tak menarik lagi untuk diperdebatkan. Dan, ceritamu selalu kutahu akhirnya--meski dahulu selalu kudengar. Sudahlah. Mungkin, ini akhir dari pertaruhan yang selama ini kau-aku pertanyakan.
Selamat tinggal, aku yang mengucapkannya kali ini. Tidak dengan lambaian. Tidak dengan tolehan--pun sejenak. Agar tidak ada harapan yang tertinggal, kata mereka-mereka.
Peta menuju rumah masih tersimpan di selipan buku-buku di rak kamarku. Belum begitu buram kurasa. Aku akan belajar membacanya. Belajar membaca arahku sendiri. Bukan arah kau-aku.


*dari Paris Je t'aime--fragmen-fragmen cinta yang memesona--

Sunday, September 02, 2007

Di Depan Masjid Raya




Pada Yang Mahasegala ....
ya,
aku melihatnya


Besuki, Jawa Timur, 21 Agustus 2007

MENINGGALKANNYA


semakin jauh di belakang, kami meninggalkannya
lapangan terbang peninggalan zaman Belanda
yang dibangun oleh jengkal-jengkal lelah bangsa Indonesia,
mereka yang kemudian tak sempat bertemu kembali dengan wajah-wajah pucat--orang-orang tercinta--yang mungkin menunggu di kaki gunung, di sudut-sudut kengerian
mungkin kesakitan atas peluru yang menembus tubuh-tubuh kering mereka tak sempat lagi terasa,
di sana, tampaknya mereka akan terlalu merindukan kehangatan tungku perapian rumah dan senyum hangat perempuan-perempuan mereka
semakin jauh di belakang kami,
ada sisa-sisa, tanda-tanda, adanya pembangunan
sebuah lapangan terbang,
konon.
--Cibunar, Argopuro/Agustus 2007--

dalam perjalanan




"aku tak akan memintamu mengambilkan bulan, Bu,"

aku mendengar gumam tawanya






di antara derit kereta Jakarta--Surabaya, 20 Agustus 2007

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin