Penjual Kenangan

Saturday, July 21, 2007

TIDAK LAGI MENCARI UTARA

Suatu kali, screen server HP saya tulisi “tidak lagi mencari utara”.
Seorang teman saya mengomentari.

“Wah, bagus lo, Wied. Tidak lagi mencari utara.”

“Heh?” saya sedikit kaget. Saya pikir dia mikir “sesuatu”.

“Kan semua orang mencari utara, tuh. Kesannya utara tuh hebat banget. Sampe-sampe ada istilah ‘mengutarakan’. Iya, kan? Nah, bagus-bagus, lo gak nyari utara.”

“He-he,” saya tanggapi dengan tawa sekadarnya. Dalam hati bilang, “Bener juga”.

“Kenapa coba, Wied, ada istilah ‘mengutarakan’? Kenapa gak ‘menselatankan’? Eh, ‘menselatankan’ atau ‘menyelatankan’?

“’Menyelatankan’ kalo gak dibikin pengecualian kayak ‘mensosialisasikan’”.--via kamuz.

“Kenapa gak ‘menimurkan’? Eh, aneh yak kedengerannya?”

“He-eh. Tapi, kalo ada, lama-lama enak-enak aja kali.”

“Kenapa juga gak ‘menenggarakan’?”

“Ada sih, yang deket-deket ama itu, ‘menengarai’. Tapi, g-nya satu.”

“Eh, iya. Apa sih arti ‘menengarai’?”

“Menunjukkan; memberi tanda atau firasat. Banyak yang make sekarang. Tapi, tau deh tepat apa gak maknanya.”

“Eh, balik lagi, ni, Wied. Ama utara yang tadi. Apa utara sedemikian hebatnya? Kita tuh kaya diperbudak ama si utara,” si teman saya ini mulai hiperbola.

“Apa lagi sih? Cuma ‘mengutarakan’ doang, kan?”

“Coba, deh. Dikit-dikit, utara. Apa-apa, utara. Lo aja ampe bikin ‘tidak lagi mencari utara’ kan?”

“Iseng aja mah. Lucu aja kedengerannya. He-he. Itu kali, kita kena dampak ‘pengutaraan’, kayak ‘pembaratan’ gitu.” Ah, saya mulai lagu lama, mulai jayus.

“Gue penasaran, nih, Wied. Dulu kenapa kali. Jadi, ada istilah ‘mengutarakan’. Kenapa, Wied? Masa lo gak tau?”

“Ye, nonton TV aja kalo lagi nunggu nasi bungkus di warung padang doang.”

“Gak ada hubungannya, Wied!”

Mari kita lihat di sinih.

1 utara n mata angin yg arahnya berlawanan dng selatan; mata angin yg arahnya sebelah kiri jika menghadap ke timur (matahari terbit)
2 utara, mengutarakan v melahirkan (pendapat, pikiran, dsb); mengemukakan; menyatakan; mengatakan; menceritakan

(sumber: KBBI, 2001, hlm. 1256—1257)

“Apa dong, Wied?”

“Ada hubungan antara terbit (dalam matahari terbit) ama lahir. Kali,” saya ngaco.

“Masa, sih?”

“Ntar gue cari-cari lagi, deh, di internet. Yah, kalo enggak, ndak masalah juga. Namanya juga bahasa. Arbiter. Sama aja kayak kenapa gue bukan suka lo, tapi [sic!] suka dia.”

“Hah? Waduh, waduh, maksud lo apa, nih, Wied? Coba diutarakan!”

“Ha-ha-ha, kan gue udah gak mencari utara lagi.”

“Ya, udah. Coba diselatankan atau dibaratdayakan.”

“Udah, ah. Ada-ada aja, sih,” ujar saya [tersipu-sipu, kayaknya].

“Atau ditenggarakan, Wied.”

“Gue sama deh sama hubungan antara ‘utara’ dan ‘mengutarakan’. Mana-suka-gue-lah. Dah, yak. Gue banyak kerjaan, nih.”

“Wah, ada yang lo sembunyikan, nih. Eh, Wied. Coba perhatiin, sem + bunyi + kan. Artinya jadi, apa? Menjadi tidak kedengeran. Wah, sem + mata + kan, jadinya tidak kelihatan, Wied. Eh, gue liat kamus lo, ya .... Nah, semata-mata, artinya belaka. Bisa masuk juga niy, Wied ....”

Udahan, ah. Semakin ngaco, nih.

[....]

* (beberapa hal dalam percakapan ini direkayasa demi kepentingan penulis ^_^)

Sunday, July 15, 2007

Hilang Bersama Musim

Nak, musim telah berkali-kali berganti. Tapi, tidak seperti dulu. Sejak tak kulihat lagi punggung kalian saat melangkah, malam berubah menjadi begitu panjang-panjang. Daun-daun begitu cepat mengering dan tak sempat memekarkan bunga. Apakah di sana juga? Di sini, suara jangkrik kadang terdengar begitu jauh. Masih selalu membuat air mataku jatuh. Dan lagi-lagi, yang tertinggal, hanya aku dan ruang.

LinkWithin

Blog Widget by LinkWithin